Jangan Masuk Hutan Itu!
Aku melihatnya samar, namun aku sungguh-sungguh yakin itu memang dia. Aku tidak salah orang. Dia ada di sana, sendirian saja.
Aku melihat laki-laki itu dari kejauhan. Tampak pepohonan rimbun di belakangnya. Apakah dia akan masuk hutan itu? Hutan yang kata warga desa ini sangat angker. Tak ada yang kembali begitu masuk di dalamnya. Semuanya lenyap, tak ada yang pulang. Semuanya hilang. Anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, tak ada satu pun yang selamat. Hutan itu melahap semuanya. Tak menyisakan sedikit pun jejak.
Berita di media massa isinya juga selalu seragam. Setiap kali ada pencarian korban di hutan itu, yang tersisa hanyalah jejak sukarelawan pencari orang hilang.
Korbannya sendiri tak pernah ditemukan. Jangankan tubuhnya, rambutnya, atau darahnya yang menempel di bebatuan dan pepohonan-pakaian, ceceran barang, hingga jejak orang yang hilang itu sama sekali tak ada. Semuanya menjadi hilang yang sempurna. Hutan itu menutup rahasianya rapat-rapat.
Dan sekarang, laki-laki itu, orang yang sangat kucintai, berdiri di depan hutan itu. Aku melihatnya samar, namun aku sungguh-sungguh yakin itu memang dia. Aku tidak salah orang. Dia ada di sana, sendirian saja. Tas ransel di punggung, topi bundar, kemeja flanel cokelat lengan panjang, dan jins hitam kesayangannya. Aku mengenali semuanya. Itu memang dia. Aku tahu itu dia. Lututku terasa lemas saat melihat dia berada di sana kebingungan.
Laki-laki itu melihat ke kanan dan kirinya seolah bersiap masuk hutan di belakangnya. Namun, anehnya, dia masih memunggungi hutan itu. Apa yang dia cari? Apakah dia menunggu seseorang atau sesuatu?
Tangisku pecah bersamaan dengan teriakanku saat laki-laki itu berbalik arah. Teriakan paling keras yang pernah aku keluarkan. Aku begitu khawatir saat dia mulai melangkah masuk. Aku tahu dia akan hilang sebentar lagi. Kupanggil dia berulang-ulang, berharap laki-laki itu membatalkan rencananya. Apakah dia tak tahu hutan itu berbahaya? Bagaimana dia sampai tak tahu kalau yang akan dia masuki adalah hutan kematian. Yang kutahu dia selalu tahu segalanya.
Tapi, oh sialan. Aku mulai merasa putus asa. Tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutku. Sama sekali tak ada yang bisa kudengar, kecuali seluruh tubuhku yang gemetaran. Berkali-kali aku berteriak, namun di sekelilingku yang ada hanyalah kesunyian. Aku merasa benar-benar putus asa.
Cerita orang-orang desa memenuhi kepalaku. Tak ada seorang pun yang selamat saat masuk hutan itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Laki-laki itu tak boleh masuk, namun dia sudah berada di bibir hutan. Apakah aku bisa menghampirinya tepat waktu? Bagaimana jika aku terlambat? Apakah aku akan menghilang bersamanya?
Laki-laki itu benar-benar masuk hutan. Aku masih mencoba berteriak sekali lagi meski suaraku tak keluar sama sekali. Pada saat itu aku tahu bahwa entah masih bisa mencegahnya atau mungkin memang sudah terlambat, aku harus menyelamatkannya.
Sekarang aku berlari sekencang-kencangnya, semampu yang aku bisa, untuk menghampirinya. Aku juga tetap berteriak meski aku tahu yang kulakukan adalah kesia-siaan. Aku tetap memohon dengan suara kencang agar dia tak masuk hutan. Aku memanggil namanya sebanyak yang aku bisa. Namun, aku tetap melihat semua upayaku itu sia-sia. Dia tak mendengar suaraku. Dia bahkan tak melihatku yang kebingungan menyusulnya dari belakang. Laki-laki yang kucintai itu tetap saja melangkah memasuki hutan.
Aku sampai di bibir hutan dengan napas memburu. Dadaku rasanya panas terbakar. Belum pernah aku berlari sekencang itu. Kuharap aku tak terlambat menemukannya. Namun, seluruh tubuhku lemas saat kusadari aku kehilangan bayangannya. Dia menghilang seperti orang-orang sebelumnya. Dan itu semua terjadi hanya gara-gara aku kehilangan suara di saat yang tak tepat.
Apakah dia sudah terlampau jauh masuk hutan? Aku bertanya pada diriku sendiri dengan kebingungan waktu kulihat yang ada di sekelilingku hanyalah kesunyian. Sekarang aku sendirian saja di bibir hutan ini. Mengapa langkah-langkahnya begitu cepat? Semestinya dengan kecepatan lariku tadi, aku masih bisa mmenyusulnya.
Sekarang aku mencoba melihat sekelilingku dengan panik. Berusaha mencermati jejak-jejak yang dia tinggalkan di pinggiran hutan. Namun, seperti juga suaraku, jejak laki-laki itu tiba-tiba saja menghilang. Hutan ini seolah kembali menjadi hutan perawan. Tanah basah yang seolah tak pernah diinjak. Daun-daun yang jatuh berserakan. Ranting-ranting berlumpur. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Lalu apa pilihanku sekarang? Menyusulnya tanpa bekal jejak apa pun? Atau menunggunya di sini saja? Tapi, sampai kapan aku menunggunya di sini? Aku menatap hutan di depanku yang sunyi ditemani bayangan wajahnya yang terus-menerus datang dan terus-menerus menghilang. Kurasa aku memang harus menyusulnya.
Kuberanikan diri memasuki hutan itu. Aku kini tidak perlu berlari karena toh tak ada yang bisa kujadikan pegangan. Laki-laki itu seperti lenyap begitu saja. Aku tak tahu apakah pencarianku akan berhasil ataukah aku akan hilang bersamanya. Tapi, hati kecilku mengatakan kemungkinan yang lain. ”Bagaimana jika aku tak bertemu dengannya dan aku akan menghilang sendirian?”
Bayangan wajahnya datang lagi. Sungguh aku tak bisa bisa membaca rautnya, apa yang hendak dia sampaikan padaku dengan tatapan itu. Kepalaku yang berisik dan hati kecilku yang ramai, mengingatkanku supaya segera pergi dari tempat itu selama masih ada kesempatan, tak kupedulikan lagi. Diam-diam kupanjatkan doa pada Tuhan, semoga aku bisa bertemu dengan laki-lakiku itu. Sekali saja cukup. Kupaksa kakiku melangkah maju. **
Rasanya sungguh asing waktu aku mulai melangkah memasuki hutan ini. Aku sungguh tak suka dengan sekelilingku. Suara angin yang tenang, namun tak bersahabat. Suara burung liar tak seperti yang kudengar di rumah, dan suara tonggeret tanpa jeda. Lalu suara-suara yang tak bisa aku deskripsikan. Bulu kudukku meremang waktu langkahku semakin dalam dan kulihat cahaya matahari sore mulai meredup.
”Kaukah itu?” Tangisku berhenti saat melihat sosokmu duduk sendirian di bawah sebatang pohon. Kamu menunduk sementara tanganmu memeluk erat kedua kakimu. Wajahmu tak terlihat. Aku berlari cepat menghampirimu dengan kelegaaan luar biasa. Sungguh keberuntungan yang ajaib.
”Ayo pergi, Kak. Ayo pergi dari sini. Ini hutan berbahaya. Kita berdua bisa hilang,” kataku berulang.
Laki-lakiku itu mendongak saat mendengar suaraku. Wajahnya tersenyum sebelum kemudian dia menghilang begitu saja dari pandanganku. Tiba-tiba saja aku sendirian lagi. Aku teriakkan namamu kencang-kencang dalam keputusasaan, berharap sungguh-sungguh yang kualami hari ini hanyalah sebuah mimpi. **
”Dan kau memang bermimpi.” Suara suamiku terdengar samar.
Aku membuka mataku pelan. Rasanya sungguh berat. Badanku terasa lengket karena keringat, wajahku juga begitu kusut karena air mata, dan rasanya tubuhku capai seperti habis berlari jauh.
Jam dinding adalah benda pertama yang kukenali waktu mataku terbuka. Pukul satu dini hari. Aku berbaring di ranjang sementara selimutku terlempar ke bawah. Napasku tersengal-sengal. Pikiranku sungguh kacau dan aku benar-benar kebingungan.
”Kau menjerit-jerit tadi. Tenanglah. Tenang please. Itu semua hanya mimpi buruk. Sudah berlalu. Sudah pergi.” Suamiku memeluk erat diriku. Pelukannya menenangkanku. Aku menangis keras-keras tanpa bisa kucegah. Rasanya seperti pulang dari perjalanan yang mengerikan. Begitu lega saat aku tahu bahwa aku sudah kembali ke rumah dengan selamat.
”Apa yang kau pikirkan?” tanya suamiku setelah mengambilkan segelas air hangat untukku. Rasanya begitu lega saat cairan itu mengaliri tenggorokanku.
”Kau menjerit-jerit. Mengulang-ulang kata ‘jangan masuk’ lalu kau menjerit-jerit lagi. Kau menangis sampai aku akhirnya aku terbangun,” tambah dia lagi.
Suamiku memelukku lebih erat saat tangisanku bertambah kencang. ”Sssssshhh… tenanglah. Kalau kau memang belum bisa bercerita, jangan memaksakan diri untuk bercerita. Menangislah saja, setelah itu tidurlah lagi,” kata suamiku. Aku tetap tak bisa berkata-kata setelahnya.
**
Mataku menatap nyalang jam dinding yang terus berdetak. Detik, menit, dan jam terus berlalu. Suamiku sudah tidur lagi, sementara mimpi buruk itu masih membayangiku. Hutan itu. Suara tonggeret. Tanah yang basah tanpa jejak. Wajah pucat laki-laki itu. Semua berputar-putar di kepalaku. Kini, tiba-tiba saja aku mengingat salah satu percakapanku dengannya.
”Hati-hati di jalan,” kata laki-laki itu pada suatu pagi, membalas sebuah pesan pendek dariku. Aku hendak pergi ke luar kota untuk tugas kantor dan kukirim pesan itu padanya, berharap dia tak merasa aneh kalau-kalau aku tak bisa langsung membalas pesan-pesan darinya.
”Itu punya Tulus,” balasku. ”Lagu sejuta umat.”
”Memang. Tapi aku berbeda, Derana. Aku tetap akan mengikutimu. Mana mungkin kubiarkan kau sendirian pergi ke luar kota.”
”Hmm, kuulangi, ya. Aku pergi bersama teman kantor. Aku tidak pergi sendirian. Apa kau berniat ikut? Jangan gila dong, Kak. Aku pergi bersama teman-teman. Akan kutaruh di mana kau nanti,” balasku dengan emoticon tertawa terpingkal.
”Yang gila itu kamu. Tapi sejujurnya, kuharap kau kadang-kadang gila juga, jadi aku bisa ikut denganmu atau kau ikut denganku. Sekarang ini cukuplah doa dariku. Semoga kau bisa enjoy di sana, Derana. Every step you take, I'll be watching you.”
”Kak. Itu 'The Police, Every Breath You Take',” balasku cepat. ”Apakah kau sedang sangat mood untuk bermain tebak lagu?”
Dia mengirim emoticon tertawa dan sebuah foto hall hotel tempat dia mengisi sebuah workshop leadership. Dia masih di Bali rupanya.
Jam dinding menandakan pukul tiga. Aku belum juga tidur. Mimpi buruk kurasakan seperti cat dinding yang tak sengaja teroles di tanganku. Susah sekali hilang. Kucoba memejamkan mata berkali-kali, tapi tetap saja gagal.
Notifikasi ponsel kudengar samar. Aku menatap lagi jam dinding, merasa ragu apakah itu notifikasi pesan ataukah bunyi jam. Keduanya mirip. Badanku belum juga bergerak. Kulirik lagi suamiku yang tertidur pulas.
Aku bergerak gelisah. Keraguanku menebal. Sepertinya tadi itu bunyi notifikasi ponsel. Kalau benar itu tadi notifikasi ponsel, berarti ada orang yang mengirimiku pesan pada dini hari ini. Ah, bagaimana jika itu pesan yang penting? Tak mungkin ada orang yang begitu longgarnya mengirimiku pesan di jam seperti ini kecuali pesan itu sangat mendesak.
Baca juga: Gelang Pembawa Sial
Kupaksa tubuhku bangkit menuju ruang tengah. Ponsel kutaruh di deretan rak buku. Sepertinya aku lupa mengaktifkan setelan mati otomatisku sejak beberapa hari lalu. Ponsel itu menyala ketika beberapa pesan masuk beruntun. Pesan dari laki-laki itu. Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak enak.
”Derana aku sedang di Riau saat ini.” Itu pesan pagi tadi. Aku merutuki diriku sendiri. Hari ini, aku nyaris tak menyentuh ponsel. Pekerjaan di kantor membuatku tenggelam.
”Derana, teman-teman mengajakku mengeksplorasi hutan di sini. Kau pasti takjub melihat sungai dan hutan di sini. Tak ada yang mirip dengan hutan di Jawa. Di sini benar-benar seperti hutan perawan. Eksotis.” Pesan itu datang agak siang.
”Derana, sinyalku buruk sekali. Apakah kau menerima pesanku. Kau sibuk ya. Semoga kau enjoy di sana. Ah andaikan ada kamu di sini.” Pesan itu datang sore hari.
”Derana, kurasa kami tersesat.” Malam hari pesan itu masuk ponselku.
”Derana, aku mencintaimu.” Pesan ini aneh. Tak ada penanda waktunya. Apakah ponselku error? Pesan ini sungguh ganjil. Aku membaca lagi pesan itu. Hatiku berdesir aneh, mirip yang kurasakan waktu aku melihatmu duduk di bawah pohon di hutan itu.
”Kak, lekaslah kembali,” balasku setelah beberapa kali membaca ulang pesanmu. Centang satu. Gelisahku makin menjadi.
”Kak, aku juga mencintaimu.” Rasanya seperti berbicara dengan dinding kosong, menggema, lalu suaraku aku telan kembali.
Centang satu lagi.
”Kak, aku sangat-sangat mencintaimu. Temui aku, please.”
Masih saja centang satu.
Aku terduduk lemas. Hutan itu. Suara tonggeret. Tanah yang basah tanpa jejak. Wajah pucat laki-laki itu. Semua berputar-putar lagi di kepalaku.
***
Ayu Prawitasari. Penyuka buku, baju, dan sepatu. Jurnalis yang tinggal di Solo.