Riwayat Tanah Poyang
Puluhan tahun lalu, saat datuk kira-kira seusiamu sekarang, ayah datuk—poyangmu—pernah membabat tanah seberang untuk dijadikan ladang. Sebelum dibabat poyangmu, pohon-pohon raksasa masih banyak di situ.
Sewaktu kecil, aku sering diajak Datuk pergi memancing di sebuah sungai kecil tak jauh dari kampung kami, bernama Sungai Jering. Dari sanalah aku tahu bahwa saat sedang memancing, Datuk tak suka ada suara-suara bising. Nanti ikannya kabur, bisiknya tiap kali kami memancing dan aku sibuk mengocehkan hal-hal yang tak penting.
Namun, sore itu, sesaat setelah melempar mata pancingnya ke tengah lubuk, Datuk tiba-tiba berkata kepadaku: ”Tanah seberang itu dulu punya poyangmu.”
Aku ingat, saat itu umurku baru tiga belas tahun dan topik seputar tanah masih sama sekali asing bagiku. Tambah pula, perubahan sikap Datuk yang begitu tiba-tiba tak urung membuatku terpana. Maka, alih-alih bicara, aku hanya mengalihkan pandangan dari pelampung pancing di permukaan sungai yang keruh, ke rerimbun belukar dan pepohonan di seberang.
”Dari pohon sialang itu...,” Datuk menunjuk ke sebatang pohon tinggi, besar, bercecabang nun di hilir sungai, ”...sampailah ke lubuk di depan kita ini.”
Aku masih diam.
”Kau mau dengar cerita?” tanya Datuk. Dan, tanpa menunggu persetujuanku, ia pun mulai bercerita.
***
Puluhan tahun lalu, saat datuk kira-kira seusiamu sekarang, ayah datuk—poyangmu—pernah membabat tanah seberang untuk dijadikan ladang. Sebelum dibabat poyangmu, pohon-pohon raksasa masih banyak di situ. Ada meranti, terap, merbau, kulim, beringin, semuanya tinggi-tinggi dan besar-besar.
Waktu itu, banyak yang menasihati poyangmu untuk tak membuka ladang di situ. Kata mereka, pohon-pohon itu berhantu. Tapi poyangmu tak peduli. Berbekal sebilah beliung, ia babat semua pohon itu, lalu ia jual sebagiannya ke orang-orang yang membutuhkan. Sebagian yang lain ia buat menjadi pondok.
Singkat cerita, setelah pondok dibangun, pindahlah kami ke ladang. Lihat pohon terap yang sebagian dahannya meranggas itu? Nah, di situlah pondok kami dulu. Lima meter persegi besarnya. Tujuh anak tangga tingginya. Dari atasnya terlihat semua sudut ladang, juga cemetek* poyangmu kalau bingkas.
Di awal-awal kami tinggal di ladang, semua baik-baik saja. Bibit-bibit padi tumbuh subur, badan datuk tambah gepuk. Sampai di penghujung bulan ketiga tinggal di ladang, sepulang dari mengambil ikan tapah selebar sepuluh jari yang kena cemetek poyangmu suatu hari, tiba-tiba datuk jatuh demam. Mendadak saja.
Tiga hari tak sembuh-sembuh—walaupun poyangmu sudah berusaha mengobati, datuk dibawa balik ke dusun. Di dusun, datuk ganti berobat dengan mantri. Tak kurang lima belas mantri yang dipanggil poyangmu waktu itu. Beberapa berasal dari luar kecamatan, satu-dua bahkan berasal dari luar kabupaten. Tapi tak satu pun dari mereka berhasil mengobati datuk.
Hari berganti hari, bulan bertukar bulan, kondisi datuk tak juga kunjung membaik. Sepanjang hari, datuk yang sudah serupa mayat hidup—tinggal kulit membungkus tulang—cuma bisa terbaring di tempat tidur. Siang demam menggigil. Malam mimpi buruk. Terkadang, kata poyangmu, datuk juga kejang-kejang dan menceracau.
Tapi anehnya, walaupun sakit parah, nafsu makan datuk tak sedikit pun menurun, malah meningkat. Lima piring belunjung setiap kali makan! Bayangkanlah! Dan itu tak pernah bersisa.
Kalau dilihat dari nafsu makan yang gila itu, badan datuk seharusnya tambah gepuk. Tapi nyatanya tidak. Hari ke hari malah kian mengurus. Ke mana perginya makanan yang banyak itu? Wallahualam.
Setelah kurang lebih setahun kondisi datuk begitu, tersiarlah kabar bahwa ada seorang kiai yang mampu mengobati orang-orang yang sakit macam datuk. Kiai Abdullah namanya, bertempat tinggal di Jambi.
Setelah mendapat kabar itu, kau tahu apa yang poyangmu lakukan? Ya, dia berangkat ke Jambi.
Ah, masa-masa itu bukan perkara mudah berangkat ke Jambi. Jalan darat banyak begal, jalan air banyak buaya. Tapi poyangmu yang memang keras kepala tetap memaksa berangkat. Enam hari enam malam ia terkatung-katung di atas perahu. Menghilir, dari lubuk di depan kita ini—ya, lubuk ini—sampai ke Batanghari. Enam hari enam malam lamanya.
Tapi untunglah usahanya tak sia-sia. Setelah beberapa kali berobat dengan Kiai Abdullah, kondisi datuk perlahan-lahan membaik dan akhirnya sembuh total.
***
Sampai di situ, Datuk sekonyong-konyong diam sehingga kupikir ceritanya sudah sampai dipengakhir. Namun, begitu aku hendak bicara, ia tiba-tiba mengangkat telunjuk kirinya. Datuk belum selesai, kira-kira begitulah artinya. Maka kembali kupasang telinga.
”Ini bagian terpenting dari cerita tadi,” ungkapnya.
Bagian terpenting? Aku mengernyitkan dahi. Apa lagi yang lebih penting dari kesembuhannya dari penyakit aneh itu, pikirku.
Dengan suara yang agak berat, Datuk lalu kembali bercerita: ”Di bulan ketujuh datuk sakit waktu itu, tabungan poyangmu terkuras untuk biaya pengobatan datuk. Tapi ia tak menyerah. Tanpa berpanjang-panjang pikir, ia lalu meminjam banyak uang dari seorang tauke getah di kecamatan sebelah. Dari situlah musibah bermula.”
Sejenak Datuk diam, menarik napas panjang, lalu melanjutkan: ”Poyangmu yang buta huruf,” sambungnya, “Ditipu oleh tauke itu. Entah macam mana ceritanya, ia berhasil membuat poyangmu menyetujui surat pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Begitu tahu soal itu, poyangmu tentu saja marah. Tapi ia sudah tak bisa berbuat apa-apa. Si tauke sudah mengatur semuanya. Dan akhirnya, karena utang itu tak kunjung terlunasi, jadilah tanah seberang sebagai gantinya.”
Di bulan ketujuh datuk sakit waktu itu, tabungan poyangmu terkuras untuk biaya pengobatan datuk. Tapi ia tak menyerah. Tanpa berpanjang-panjang pikir, ia lalu meminjam banyak uang dari seorang tauke getah di kecamatan sebelah. Dari situlah musibah bermula.
Aku masih berusaha mencerna ketika Datuk beralih menatapku. ”Nah,” katanya, ”Sekarang, apa kau sudah mengerti?”
Aku refleks menggeleng. Mengerti apa?
Datuk tersenyum, lalu, dengan kesabaran seorang pemancing, ia kembali menjelaskan: ”Poyangmu itu,” tuturnya, ”terkenal keras dan berani semasa hidupnya. Semua orang tahu itu. Bahkan sampai hari ini, masih ada satu-dua orang yang membicarakannya. Tapi tengoklah, sekeras dan seberani apa pun dia, tetap juga ditipu orang. Kau tahu kenapa? Tak lain karena poyangmu buta huruf.”
Datuk lantas menatapku dalam. Semula aku tak mengerti apa maksudnya. Baru setelah ia memiringkan kepala dan menaikkan satu alis, aku mengerti. Ia ternyata sedang menyindirku!
Hari itu, Ibu marah besar kepadaku karena tak mau melanjutkan sekolah. Sudah kucoba memberi penjelasan—dengan membawa-bawa nama beberapa sepupu dan temanku yang setamat SD langsung bekerja alih-alih melanjutkan sekolah, Ibu malah makin marah.
Maka, untuk ”menyelamatkan diri”, aku lantas lari ke rumah Datuk. Dalam pikiranku, Datuk pasti akan mengerti dan memihakku.
Sesampai di rumah Datuk, kudapati lelaki tua itu tengah bersiap-siap hendak pergi memancing. Maka aku pun ikut pergi memancing. Dalam perjalanan ke sungai yang memakan waktu kurang lebih sepuluh menit, kuceritakanlah semuanya.
Sepanjang ceritaku, tak sekali pun Datuk menyela, apalagi membantah. Itu membuatku berpikir bahwa ia benar-benar mengerti dan memihakku. Sampai kemudian ia menyindirku di ujung cerita itu, barulah aku sadar.
Sebagaimana Ibu, Datuk ternyata juga menginginkanku melanjutkan sekolah. Dan lewat kisah poyang yang ia ceritakan waktu itu, ia berusaha membuat pendirianku berubah.
”Tapi aku kan dak buta huruf, Tuk,” kelitku waktu itu. ”Aku bisa membaca, lancar menulis.”
”Betul,” timpal Datuk sambil tersenyum. ”Tapi membaca dan menulisnya lulusan SD, beda dengan membaca dan menulisnya seorang sarjana.”
Baca juga : Hantaran Gulai Ayam
Aku tak tahu harus menjawab apa, maka aku diam saja. Kondisi itu lantas dimanfaatkan Datuk untuk berlama-lama menasihatiku. Beberapa nasihatnya masih kuingat sampai hari ini, beberapa lainnya tidak. Namun yang pasti: ia berhasil membujukku untuk melanjutkan sekolah sore itu.
Dan, di sinilah aku sekarang: menerima gelar sarjana dan menjadi lulusan terbaik dari sebuah kampus ternama. Terima kasih, Datuk. Semoga tenang dan bahagia di alam sana.Bungo, 2022
Keterangan: *Cemetek (dengan e yang tak penuh pada suku kata tek): alat penangkap ikan tradisional serupa pancing, tapi dengan joran yang jauh lebih besar dan panjang, dipasang serupa memasang jerat ayam hutan. Lazimnya dikhususkan untuk menangkap ikan besar.***
Muhammad Syukry, lahir di Muara Bungo, Oktober 1995. Cerpen-cerpennya pernah dimuat oleh Media Indonesia, Kompas.id, Magrib.id, Cendana News, Lensasastra.id, Haluan, dan Medan Pos.