Fajar telah menyingsing, saat Patih Suroto hampir tiba di tempat Prabu Arjunasasrabahu bertapa. Suasana masih senyap, walau malam telah lenyap. Matahari sudah mengintai, membuka datangnya pagi yang permai. Lembah, tempat Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati berada, terasa damai. Semadi Prabu Arjunasasrabahu memancarkan daya cipta Batara Wisnu, membuat lembah itu tertahan dari riuh rendah kekejaman perang. Peperangan terjadi di sekitar lembah itu. Tapi daya damai Batara Wisnu telah menjadi selimut dan perisai alam, yang melindungi lembah itu terjauh dari hiruk pikuk kekejaman perang. Memang karena daya damai itu, peperangan seakan terjadi jauh di sana, sehingga tak sedikit pun terasa dan terdengar pengaruhnya di lembah tempat Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati melewatkan hari-hari gembiranya.
Pagi pun tiba. Lembah itu kelihatan sangat indah. Berada di sana, Dewi Citrawati dan para putri Maespati tak sedikit pun merasa, tak jauh dari mereka sebenarnya sedang terjadi peperangan dahsyat yang telah demikian banyak merenggut nyawa. Di selatan, ke arah samudra, tampak Prabu Arjunasasrabahu bertapa dalam tidur nyenyaknya. Tak tampak ia sebagai raksasa dahsyat yang sedang melintang, menahan bengawan Gangga menjadi telaga. Dari kejauhan ia tampak bagaikan gunung yang menghijau lereng-lerengnya. Lembah yang berada di sela-sela kakinya juga sedang sejuk merimbun dengan pelbagai pohon-pohonnya. Embun bertetesan di helai-helai bunga pandan dan campaka, menebarkan wangi di pagi yang cerah. Bunga-bunga asoka mekar, berdampingan dengan bunga-bunga katirah. Burung-burung berkicau, menjadikan pagi makin meriah.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 142)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 143)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 144)
Di lembah ini menjauh segala susah. Semua bergembira, bahkan gelagah tak pernah tertunduk lemah, karena angin tak pernah mengembuskan tiupan gelisah. Di atas lembah, tampak awan-awan bergandengan bagaikan tali yang tak akan terpisah. Duka telah pergi, dan di sana hanya ada sukacita yang bagaikan samudra tak bertepi. Dalam sukacita itulah, para putri Maespati bangun menyambut pagi. Sambil berdendang dan bernyanyi, mereka berlomba menaiki tebing yang tinggi. Mereka semua telanjang, karena di lembah itu tak mungkin mata lelaki dapat memandang. Ketika merambati tebing, tubuh-tubuh telanjang itu tampak bagaikan kijang-kijang yang berbaris panjang.
Dipungutnya juga guguran bunga campaka. Ia mencium bunga campaka itu. Harum baunya, pantas bila lebah-lebah ingin selalu hinggap padanya. Seharum itu pulakah tubuhnya, sampai demikian banyak lelaki menginginkannya?
Suasana di tepi telaga Bengawan Gangga terasa tenang. Di sini pun hawa kedamaian Batara Wisnu datang merambah. Hawa itu menjadi tirai tebal yang menolak hawa peperangan yang terjadi di seberang sana. Bahkan ketika banyak rakit raksasa yang tenggelam di telaga, gelombang kematian dan kekerasannya tak sedikit pun terasa di tepi telaga, tempat Dewi Citrawati dan putri-putri istana Maespati mandi dan bermain-main dengan gembira. Ketika mereka mandi, ikan-ikan datang mendekati. Ke sana kemari ikan-ikan itu berenang, ikut bersenang-senang dengan putri-putri jelita yang sedang telanjang. Selesai mandi, beramai-ramai mereka menuruni tebing. Mereka kembali ke lembah yang teduh dengan banyak dedaunan. Mereka lalu bernaung dalam kedamaian dan ketenangan. Di sini kesedihan seakan sudah tidak mendapat tempatnya lagi.
Dewi Citrawati pun merasakannya. Ia tak mengerti, mengapa tiba-tiba kesedihannya pergi. Ia sungguh merasa damai di hati, dan tak ingin kesedihannya datang lagi. Angin berembus agak kencang, menerpa bunga-bunga hingga jatuh berguguran. Dewi Citrawati mengamati bunga-bunga yang gugur itu, dan merasa, ternyata bunga-bunga itu tetap indah, walaupun sudah berjatuhan di tanah. Ia bahkan dicekam rasa bahagia, melihat betapa cantiknya bunga-bunga tanjung ketika sedang berlomba untuk gugur. Dewi Citrawati memungutnya, dan memasangnya pada sanggulnya. Dengan bunga tanjung di sanggulnya, ia tampak makin jelita. Dipungutnya juga guguran bunga campaka. Ia mencium bunga campaka itu. Harum baunya, pantas bila lebah-lebah ingin selalu hinggap padanya. Seharum itu pulakah tubuhnya, sampai demikian banyak lelaki menginginkannya?
Sejenak ia teringat akan Sumantri. Namun ia tidak dapat membayangkan, di mana sekarang Sumantri. Di lembah itu ia demikian terserap dalam rasa damai. Lembah kedamaian itu tak mungkin bisa membawanya ke dalam bayangan, bahwa Sumantri telah mati. Ia tersenyum bahagia, mengenang kembali semua cinta dan segala peristiwa indah yang telah dilewatkannya bersama Sumantri. Matanya memandang jauh ke selatan ke arah lautan. Sayup-sayup didengarnya suara gelombangnya. Ia seperti terhanyut dalam samudra cinta yang tanpa tepi. Dan ketika ia menarik kembali lamunannya, dilihatnya di sana tubuh suaminya, Prabu Arjunasasrabahu, sedang bertapa dalam tidur nyenyaknya. Tubuh itu melintang, memisahkan dia dari samudra tanpa tepi, yang dilamunkannya.
Saat itu Patih Suroto sudah sampai di dekat Prabu Arjunasasrabahu. Ia terheran, bagaimana mungkin Raja Maespati terbaring dalam tidur nyenyaknya, sementara pasukannya, balatentara Maespati porak-poranda, dihancurkan lawannya? Semadi dan tapa telah membuat junjungannya terbebas dari segalanya. Tapi apakah semadi itu harus membuatnya lupa akan negara dan rakyatnya yang dilanda bahaya? Tidakkah dia adalah raja yang harus melindungi rakyatnya, justru ketika rakyatnya sedang berada dalam bahaya?
Patih Suroto merasa kecewa memikirkan hal tersebut. Ia menyingkirkan kekecewaannya, dan mencoba percaya akan kebijaksanaan junjungannya. Siapa tahu, justru dalam semadinya ini junjungannya sudah melihat apa yang sebenarnya terjadi? Kiranya semadi menajamkan mata junjungannya untuk melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Mungkin junjungannya sengaja membiarkan peperangan ini terjadi, demi kebaikan dan kejayaan Maespati di kemudian hari. Mungkin juga, junjungannya sengaja menunggu kedatangan Rahwana, supaya ia dapat memusnahkannya, dan dengan demikian menyingkirkan angkara murka dari muka bumi ini? Apa pun yang terjadi, Patih Suroto merasa, ia harus segera membangunkan Prabu Arjunasasrabahu dari tapanya. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia bisa membangunkannya. Dalam tapanya, Prabu Arjunasasrabahu sedang bertiwikrama dan menjadi raksasa yang seperti gunung besarnya. Digoncang dengan cara apa pun, tubuhnya tak akan merasakannya.