Hari sudah menjelang fajar. Dan Rahwana tak berhenti melampiaskan amarahnya. Banyak pasukan Maespati binasa. Mereka yang masih hidup lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Memang Sukrosono sudah lama menanti Sumantri di Mega Malang. Baginya waktu terasa sangat panjang, sampai kesempatan ini datang. Di tempat penantian itu, Sukrosono sudah melepas semua milik dan kesaktian yang pernah dimilikinya. Hanya satu yang dipertahankannya, yakni daya yang tersimpan dalam taringnya yang sebelah kanan. Ia rela untuk melepas semua miliknya. Tapi melepas taring itu ia merasa sayang, karena taring itu menyimpan kenangan indah yang tak ingin ia hapuskan, ketika dalam perjalanannya menuju Jatisrana ia berjumpa dengan Dewi Tunjung Biru, dan menyelamatkannya dari kejaran raksasa Kaladaru. Sebagai rasa terima kasihnya dewi jelita membiarkan Sukrosono menyusu pada buah dadanya. Menyusu pada buah dada putri jelita itulah satu-satunya cinta yang pernah dirasakan Sukrosono. Kehangatan buah dada Dewi Tunjung itu lain dengan kehangatan buah dada ibunya yang pernah ia sesap ketika ibunya turun dari alam penantian dan mengunjunginya di hutan Jatirasa. Dewi Tunjung Biru membiarkan Sukrosono menikmati buah dadanya, dan sambil ia memberikan susunya, ia memberikan pula daya kehidupan yang dimilikinya. Perlahan-lahan ia melepaskan buah dadanya dari mulut Sukrosono, lalu ia pergi menghilang. Sukrosono tersadar, dan merasa kehilangan. Namun ia segera merasa, apa yang hilang itu ternyata tersimpan di taring kanannya.Dalam taring kanannya itu tertinggal cinta yang tak akan terlepas darinya, bahkan setelah kematiannya. Maka ketika ia tewas di tangan kakaknya, ia naik ke alam pelepasan Mega Malang, dan telah melepas semua yang dimilikinya, taring itu tetap tertinggal padanya. Taring kanan itu adalah taring cinta, maka taring itu hanya akan terlepas demi cinta pula. Ia terus menunggu, kapan saat cinta itu datang, sehingga ia bisa melepas taring cintanya pula.
Akhirnya saatnya tiba pula di mana Sukrosono boleh melepas taring cinta itu. Ia turun dari penantiannya di Mega Malang, menukik ke muara bengawan Gangga yang tengah menjadi gelanggang perang. Saat itu gelanggang perang sedang dicekam hening. Semuanya terdiam di saat Rahwana hendak melepas napasnya yang terakhir. Kepala Rahwana memang tak kelihatan bergerak. Tak mungkin lagi, raja raksasa itu memberontak. Sumantri mendekati kepala Rahwana, untuk meyakinkan, apakah Rahwana benar-benar sudah binasa. Rahwana sendiri memang benar-benar sudah akan mati, dan tak bisa bergerak lagi. Tapi ketika kepala Sumantri mendekati kepalanya, Rahwana merasa geli di taringnya. Serasa ada sesuatu yang masuk ke dalam taringnya. Memang saat itu Sukrosono sedang menukik dari langit dan menyusup masuk ke dalam taring Rahwana.
Karena rasa geli di taringnya, Rahwana pun tersadar, ia ternyata masih bernyawa. Dan begitu ia tahu, Sumantri dekat pada kepalanya, tanpa berpikir lagi, ia pun menggigit Sumantri dengan taringnya yang sekejap tadi serasa membangunkannya. Demikian cepat gigitan itu terjadi. Sumantri tak mengiranya sama sekali. Ia hanya merasa, taring itu menggigit lehernya dengan penuh cinta. Sejenak terlintas dalam kesadarannya, jika berasal dari taring Rahwana, tak mungkin gigitan itu terasa sebagai cinta. Memang bukan taring Rahwana, tapi taring Sukrosono yang menyusup ke dalam diri Rahwana itulah yang menggigit Sumantri. Dan saat itulah Sumantri binasa. Ia binasa bukan karena taring kekejaman Rahwana, tapi karena gigitan taring cinta adiknya, yang menyimpan cinta Dewi Sri sebelum ia menitis jadi Dewi Citrawati.
Tak ada maksud Sukrosono untuk membalas dendam. Ia menggigitnya, hanya karena hendak mengajaknya pulang ke Jatisrana untuk selama-lamanya. Karena itu Sumantri tak merasa binasa karena gigitan maut yang kejam. Ia merasakan gigitan itu sebagai sapaan cinta yang mengajaknya berpulang, sapaan lembut kematian yang ia rindukan. Demikianlah, mereka yang sedang berperang mengira Sumantri binasa karena digigit dengan kejam oleh Rahwana, padahal Sumantri mati karena digigit cinta.
Sejenak medan laga itu penuh dengan bunga-bunga. Harumnya menyisihkan anyirnya bau darah. Dan ketika bau harum ini tiada lagi tercium, sepasang cahaya itu menghilang di balik awan.
Prajurit Maespati maupun Alengka sama sekali tak mengira peristiwa itu bisa terjadi. Mereka menyangka Rahwana sudah binasa, ternyata sekarang Sumantrilah yang tak bernyawa. Mereka tertegun, apalagi ketika menyaksikan, tiba-tiba tubuh Sumantri lenyap. Dan terlihat, sepasang cahaya indah naik ke langit. Bulan makin terang, dan hujan bunga tiba-tiba datang. Sejenak medan laga itu penuh dengan bunga-bunga. Harumnya menyisihkan anyirnya bau darah. Dan ketika bau harum ini tiada lagi tercium, sepasang cahaya itu menghilang di balik awan. Entah ke mana sepasang cahaya itu pergi. Mereka yang berperang tak bisa melihatnya lagi.
Waktu sepasang cahaya itu menghilang, bulan pun tak lagi memberi terang. Gelanggang perang diliputi kegelapan. Dan tak lama kemudian, terdengarlah suara keras menggeram. Suara itu ternyata meraung dari mulut Rahwana, yang hidup kembali setelah menggigit Sumantri. Segera kepalanya dengan mudah menemukan kembali tubuhnya yang tadi terpisah. Sekarang Rahwana benar-benar menjadi maut yang menyeramkan. Ia tidak peduli akan bulan yang tiada lagi memberi terang, karena ia sendiri adalah kegelapan. Begitu kepala dan tubuhnya menyatu, ia bertiwikrama. Daya tiwikrama itu menyedot kembali kepala-kepala yang tadi tertebas oleh senjata Sumantri. Kepala-kepala itu menggelinding di antara kaki-kaki prajurit yang melompat-lompat ketakutan untuk menghindar. Lalu kepala-kepala itu kembali menyatu ke dalam tubuh Rahwana, dan menjadikannya Dasamuka, raksasa dahsyat bersepuluh muka.
Rahwana kembali seperti semula. Namun lebih dari semula, sekarang ia menjadi maut yang marah. Ia menggeram, dan keluarlah beratus-ratus tangannya. Ia menggeram lagi, dan dari tangan-tangan itu keluarlah obor-obor menyala. Gelanggang perang menjadi terang seketika dengan api amarah Rahwana. Ia pun mengamuk. Dan banyak bala tentara Maespati yang binasa karena terbakar oleh nyala apinya. Ia membabibuta, siapa saja yang kelihatan menghalanginya, dihajarnya tanpa belas kasih sedikit jua. Karena amarahnya yang buta, ia tak bisa melihat mana lawan dan mana kawan. Maka, bahkan banyak raksasa Alengka pun menjadi korban murkanya.
Hari sudah menjelang fajar. Dan Rahwana tak berhenti melampiaskan amarahnya. Banyak pasukan Maespati binasa. Mereka yang masih hidup lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Mereka bingung, karena ke mana pun, maut bisa mengejarnya dan menelan mereka. Jika dibiarkan demikian, pasti pasukan Maespati akan musnah semuanya. Menyadari ini semua, Patih Suroto lari sekencang-kencangnya, menuju ke muara bengawan Gangga. Ia berpikir, hanya junjungannya, Prabu Arjunasasrabahu, yang dapat menyelamatkan pasukan Maespati dari amukan Rahwana.