Sumantri tidak lagi melihat Rahwana sebagai raksasa seram yang akan membunuhnya, tapi sebagai maut yang mengajaknya pulang ke Jatisrana. Ia merasa maut itu adalah suara lemah yang memanggilnya di senja bunga-bunga.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Sumantri terkejut dan dalam sekejap ia diliputi rasa takut. Sekarang ia benar-benar berhadapan dengan maut. Ia melihat, wajah maut itu sungguh mengerikan. Matanya melotot keluar, merah, menyala dengan sorot-sorot amarah. Rambutnya mengurai panjang, menghelai dengan lidi-lidi tajam. Giginya meruncing laksana batu-batu karang di lautan. Taringnya menjulur serupa sebilah pedang panjang. Tangannya yang banyak bergerak-gerak siap menerkam. Sumantri sungguh berhadapan dengan wajah yang seram dan menakutkan. Berhadapan dengan maut yang demikian seram, tak mungkin ia menghindar. Ke mana pun ia lari, maut itu pasti bisa menangkap dan menerkamnya. Tapi ia segera sadar, jika maut sudah menjemput, tak ada gunanya lagi ia menghindar. Ia tinggal menyerahkan diri saja, terserah ke mana maut hendak membawanya. Ia tahu, maut pasti menghantarkan dia untuk mati. Namun tidakkah tadi ia sudah sadar diri, ia tak membedakan lagi antara hidup dan mati. Siapa tahu, dengan mati, maut hanya hendak membawa dia pergi untuk dilahirkan kembali?
Ia tiba-tiba tersenyum bahagia, karena melihat di seberang maut itu seperti ada Jatisrana, di mana Sukrosono yang mencintainya sudah lama menantinya. Bukan maut lagi tapi Jatisrana yang dilihatnya. Maut tak lagi dirasa sebagai kekuatan dahsyat yang akan mengakhiri hidupnya, tapi jalan masuk menuju ke kebahagiaan di tempat yang ia bayangkan sebagai Jatisrana. Dan ketika ia berkata dengan penuh harapan, ”aku mau ke sana”, maut pun berubah wajahnya. Taringnya yang tajam jadi gapura, yang mempersilakan ia masuk ke taman bunga. Gigi-giginya yang runcing adalah biji-biji mentimun kaustubha yang berkilauan indah. Matanya yang memerah marah adalah sinar matahari senja yang mengundangnya beristirahat dalam kedamaiannya. Tangannya yang kejam hendak menerkam adalah sulur-sulur gadung yang memberinya pegangan untuk menikmati taman bunga. Dan rambut yang keras bagaikan lidi mengurai menjadi pelangi-pelangi yang melengkung berambatkan bunga-bunga tanjung. Di sana, langitnya cerah, di balik awannya yang memerah, seperti terdengar suara yang memanggil-manggilnya. Ia merasa dapat terbang ke sana dengan sayap bunga padma secepat cahaya. Cahaya jerami dan kapa-kapa merah tumbuh di sana menjadi rumput-rumputnya. Di pelataran itu candi-candi dari bunga wungu tinggi membubung, memancarkan cahaya merah lembayung, memberi keteduhan untuk bernaung.
Senja sudah tiba, meraung indah suara garengpung, memanggil pulang burung-burung. Inilah saat semuanya akan menjadi urung, dan tak ada gunanya lagi bagi hidup untuk bertarung. Bunga-bunga kemuning, nagasari, bana, dan campaka, berguguran bersama daun-daun bunga tanjung. Justru karena gugur, bunga-bunga itu memberi bau harum. Sumantri terbawa masuk ke dalam senja di mana bunga-bunga berguguran, dan ia merasa dirinya akan mati bersama mereka. Ia merasa, saat itu maut ternyata menyapanya dengan amat lemah, tak terdengar suara marahnya, malah maut terasa memeluknya dengan penuh cinta. Di senja bunga-bunga itu, ia merasa, apa yang dulu dikejarnya dengan segala tenaga, sekarang tak memberi sedikit juga rasa bahagia. Dulu ketika semua susah, ia bisa berbahagia, karena yakin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya. Sekarang di senja bunga-bunga itu ia tak akan bahagia, juga seandainya ia mempunyai seribu tenaga untuk bisa mengejar cita-citanya. Dan maut pun berbisik di telinganya, hanya satu yang akan membuat kamu bahagia, yakni melepas hidupmu yang telah demikian lelah kaubebani dengan pelbagai cita-cita. Dan telinganya makin tajam mendengar, di balik awan senja bunga-bunga itu ada suara memanggil-manggilnya. Ia mengenal suara itu sebagai suara yang dikenalnya sejak ia dilahirkan di Jatisrana. Ia ingin mendekati suara itu, dan makin ia merasa, inilah saatnya ia harus pulang ke Jatisrana.
Maut pun menyisip di antara terang bulan, dan memberi terang agar siapa yang hendak berpulang tak usah melewati kegelapan.
Dengan perasaan itu, ia menghadapi Rahwana yang bertiwikrama menjadi raksasa besar tiada tara. Ia sama sekali tidak takut. Dan ia tidak lagi melihat Rahwana sebagai raksasa seram yang akan membunuhnya, tapi sebagai maut yang mengajaknya pulang ke Jatisrana. Dan maut itu sudah tiada lagi cengkeramannya, ketika ia merasa maut itu adalah suara lemah yang memanggilnya di senja bunga-bunga. Memang, senja sudah menyapa di medan pertempuran antara dia dan Rahwana. Tak mungkinlah menunda pertempuran ini, walau sebentar lagi malam akan tiba. Rahwana pun ingin menyelesaikan pertempuran ini sekarang juga. Ia ingin menghabisi Sumantri secepatnya. Akan mudahlah Sumantri dibinasakannya, bila kegelapan segera bertakhta. Maka dengan geram ia memanggil malam, namun malam ternyata datang dengan membawa bulan. Maut pun menyisip di antara terang bulan, dan memberi terang agar siapa yang hendak berpulang tak usah melewati kegelapan. Dengan mudah Sumantri melihat sekarang, siapakah musuhnya yang hendak dilawan. Dia bukan raksasa yang berdasamuka, tapi maut yang harus dihadapinya dengan cinta. Pada cinta itulah ia akan menyerah, bukan pada Rahwana yang sedang marah.
Maka tak sedikit Sumantri gentar, ketika tubuh Rahwana menggetar, dan dari bulu-bulunya keluar api seperti halilintar. Para prajurit mengira, api itu pasti akan menyambar Sumantri, dan melumat dirinya sampai habis terbakar. Tapi dengan cekatan Sumantri mengulurkan tangan, mengeluarkan daya Bayu Bajra, yang mengeluarkan badai dan air bah. Dalam sebentar, badai dan air bah itu menghantam tubuh Rahwana, menjatuhkannya sampai terkapar. Badai bah itu terus menerjang, Rahwana tenggelam dan termegap-megap dalam air yang dalam. Ia akan menjadi raksasa yang karam, bila Sumantri tak menarik daya Bayu Bajra yang dilepaskannya. Sekejap air pun surut, dan terlihat raksasa yang luar biasa besarnya itu basah kuyup. Rahwana malu tak terkira, ia pun bangkit dan menyeringai dengan sepuluh mukanya. Sepuluh muka raksasa dengan sepuluh murkanya menyerang Sumantri bersama-sama.