Rahwana terkesiap. Berapa pun dan anak panah apa pun yang tadi dilepaskan Sumantri, ia tidak takut. Panah-panah itu menebas kepala-kepalanya, tapi tak membuatnya mati, karena aji Pancasona yang menghidupkannya kembali.
Oleh
Sindhunata
·4 menit baca
Sumantri melepas panah Candrasa. Dengan kedahsyatan bulan, panah itu menebas sebuah kepala Rahwana. Rahwana roboh dengan sembilan kepalanya. Dan begitu ia mencium tanah, ia pun segera bangkit karena aji Pancasona yang dimilikinya. Dengan aji Pancasona itu, Rahwana tak bakal bisa mati, walau kepalanya ditebas berkali-kali. Sumantri segera melepas senjata Nagapawaka, dan seekor naga berapi melesat lalu memagut kepala Rahwana. Sebuah kepala tertebas, dan raksasa itu terguling di tanah. Namun ia segera bangun kembali dengan delapan kepala. Demikian pula yang terjadi, ketika Sumantri susul menyusul melepas senjatanya, kunta Sarutama dan panah Sangkukala, yang menebas kepala Rahwana. Sumantri sempat kewalahan, maka dilepaskannya panah Pancawela, dan tertebaslah lima kepala Rahwana sekaligus. Kepala-kepala Rahwana bergelindingan di tanah. Meski dari badannya sudah terpisah, kepala-kepala itu meringis kejam hendak melampiaskan amarah.
Itukah sesungguhnya daya maut? Tak mungkinkah daya maut itu ditaklukkan? Sumantri bertanya, sambil memandang Rahwana yang tinggal satu kepalanya. Rahwana menggeram mendekati Sumantri. Sumantri mundur beberapa langkah, dan merasa, maut sudah benar-benar di hadapan matanya. Akankah maut menerkam dengan kekejamannya, atau apakah maut akan memeluknya dengan cinta? Ia tidak bisa bertanya pada maut dan membiarkan maut sendiri yang memilihnya. Harus dia sendiri yang memutuskan, apakah maut itu kekejaman atau apakah maut itu cinta.
Sumantri tiba-tiba disapa kembali oleh kerinduannya untuk pulang ke Jatisrana, dan pada saat itulah ia ingin melepas senjata akhirnya, Cakrabaskara. Cakrabaskara itu pernah hendak dibuangnya, selepas ia melakukan bercinta dengan Dewi Citrawati di semak-semak Taman Sriwedari. Panah itu hanya memberinya rasa bersalah, karena dengan panah itu ia telah membuat ayahnya binasa ketika ia meninggalkan Jatisrana. Dan dengan panah itu pula ia tanpa sengaja telah membunuh adiknya tercinta, Sukrosono. Syukur ia tak jadi membuang Cakrabaskara, walaupun saat itu ia tidak tahu, untuk apa lagi ia harus membawa panah yang telah membunuh orang-orang yang dicintainya. Sekarang ia tahu, hanya Cakrabaskara itu pusaka yang ia punya untuk menghadapi maut yang telah dipilihnya menjadi cinta.
Sekarang ia tahu dan tidak ragu lagi, panah itu pasti akan menghantarkannya ke tempat yang dirindukannya. Maka dilepaskannya pusaka Cakrabaskara dengan rasa pasrah.
Ia tidak tahu, apakah panah sakti akan dapat membunuh musuhnya, atau apakah panah itu yang telah membunuh ayah dan adiknya itu akan menghantarkannya pulang ke Jatisrana. Dulu ia tidak tahu, macan itu adalah ayahnya, dan dengan panah itu ia membunuh macan itu. Di Taman Sriwedari itu ia ragu, dan hanya bermaksud menakut-nakuti dan panah itu membunuh adiknya. Sekarang ia tahu dan tidak ragu lagi, panah itu pasti akan menghantarkannya ke tempat yang dirindukannya. Maka dilepaskannya pusaka Cakrabaskara dengan rasa pasrah. Anak panah melesat cepat. Rahwana terkesiap. Berapa pun dan anak panah apa pun yang tadi dilepaskan Sumantri, ia tidak takut sama sekali. Panah-panah itu menebas kepala-kepalanya, tapi tak membuatnya mati, karena aji Pancasona yang menghidupkannya kembali setiap ia menyentuh bumi. Tapi melihat panah Cakrabaskara itu datang, ia demikian dicekam ketakutan. Ia merasa, panah itu akan membuatnya mati, dan aji Pancasona takkan berdaya lagi. Sementara hanya tinggal satu kepalanya. Jika kepala ini tertebas, ia tidak tahu lagi bagaimana menyambungkan nyawanya. Ia hendak lari menghindar, tapi panah Cakrabaskara itu terus mengejar. Dan akhirnya, panah itu benar-benar menghampirinya, menebas lehernya, dan kepalanya terlempar jauh dari badannya. Kepala itu mengerang-erang bukan karena kesakitan, tapi karena hilangnya harapan, tak mungkin kembali kepala itu menyatu dengan badannya. Daya aji Pancasona tak sakti lagi, jika tak ada kemungkinan kepalanya akan tersambung kembali dengan badannya. Ia merasa tinggal menunggu mati. Badan Rahwana sudah tak bergerak, kelihatan tak lagi bernafas. Dan mata di kepalanya yang terpenggal itu mulai meredup. Bulan sedang amat terang bersinar, ketika Rahwana sudah di ujung ajal. Para prajurit Maespati bersorak, dan meneriakkan pekik “Rahwana sudah binasa”. Prajurit Alengka mulai bersiap-siap, hendak melarikan gelanggang perang. Semua mengira, Sumantri telah menang!
Damai telah datang. Dan semua menyongsong damai itu dengan keheningan yang dalam. Keheningan ini membawa semua yang ada di gelanggang menengadah, menatap bulan. Bulan kelihatan tersenyum. Dan tampak dari langit segumpal awan mendekat turun. Sumantri menatap, awan itu sesungguhnya adalah senja bunga-bunga yang pernah dilihatnya. Dan hanya dia yang mendengar, di balik awan itu ada suara yang berkata dan memanggilnya, ”Kinilah saatnya aku akan datang menjemputmu, Kakakku.” Ia yakin itu adalah suara adiknya. Sejenak suara itu membawanya kembali ke Taman Sriwedari, saat ia bersama Dewi Citrawati berada dalam puncak bercinta. “Kakakku, aku tak bisa berpisah denganmu. Akan datang saatnya, aku akan menjemputmu.” Dan suara itu terdengar kembali di telinga Sumantri sekarang. Sumantri mengenal, suara itu adalah suara Sukrosono, adiknya tercinta.