Tanpa Sukrosono, ia bukan siapa-siapa. Tapi mengapa ia justru mencampakkannya? Sukrosono telah menghantarkan dia pada cita-citanya untuk menjadi satria utama. Tapi mengapa ia malu mengakui dia sebagai adiknya yang berwajah raksasa, karena dia berada di jalan kesatria? Jangan-jangan kekesatriaan yang halus, tampan, dan mulia itu memang tak sudi dan tak mau bertemu dengan siapa yang jelek seperti raksasa? Kalau demikian, pikirnya, kekesatriaan adalah jalan yang salah, karena mengecualikan cinta. Ia merasa menemukan, kekesatriaanlah sebab mengapa ia tidak mau menerima adiknya. Kalau begitu, seperti dikatakan Darmawati, mungkin lebih baik ia pulang kembali ke Jatisrana, dan hidup dalam damai dengan adiknya di sana. Ia memaksakan kenangannya untuk mengingat kembali kehidupannya yang indah di Jatisrana, ketika ia dan adiknya boleh saling mencinta.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Kalau sekarang Sukrosono tidak ada padanya, itu semata-mata hanya karena kesalahannya. Namun kenangan itu tak mau datang menghampirinya. Dipaksanya kenangan itu datang, dengan ia menyanyikan lagu Lihatlah itu burung kepodang. Namun tak hendak juga kenangan itu datang. Bahkan ketika ia memaksa untuk mengangankan sedang memeluk adiknya di pangkuannya, ia merasa hanya kehampaan yang ada di pangkuannya. Sungguhkah adiknya telah menghilang, sampai angan-angan akannya pun tak hendak datang? Apakah ini disebabkan oleh jalan mulia kekesatriaannya yang menolak kenistaan? Ia benci, dan ingin pergi dari jalan itu. Tapi pada saat itu burung-burung kepodang seru bernyanyi: Sumantri, tiada jalan yang salah, tiada pula jalan yang benar, tapi benar atau salah, dalam hatimu sendiri selalu ada pisau belati. Dan makin ia gelisah di hati, makin keras pula burung-burung kepodang itu menyanyi di pucuk-pucuk pohon gandasuli: Sumantri, dalam hatimu ada kehidupan kecil yang ingin bertumbuh, tapi kau selalu mencoba untuk membunuhnya dengan pisau belatimu. Burung-burung kepodang itu lalu diam, dan terbang.
Sumantri merasa benar-benar ada yang hilang dari pangkuannya. Ia tertinggal sendiri dan bertanya, apakah sesungguhnya pisau belatinya? Apakah itu pusaka Cakrabaskara yang selalu dibawanya dalam jalan kekesatriaannya? Ia merasa tak pasti. Dan dilihatnya bunga-bunga kuning gandasuli. Sekuntum dipetiknya, dan di tangannya bunga itu menjadi pucat pasi. Dengan lemah bunga yang pucat itu seakan memberitahu padanya, pisau belati itu adalah kesombonganmu sendiri. Sumantri menjadi lega, karena sekarang ia sadar akan apa yang menyesatkannya. Di jalan apa pun, juga di jalan pertapa, ia bisa tersesat karena kesombongannya. Apalagi di jalan kesatria, yang memang penuh dengan lika-liku luhur dan mulia, betapa mudah kesombongan itu menemukan tanah suburnya. Sepanjang jalan kesatria yang dilewatinya, ia membiarkan kesombongannya subur bertumbuh, sampai ia tega meremas habis apa yang kecil dalam hatinya. Maka ia pun tahu, kesombongan hatinyalah yang membuat ia tak mau menerima Sukrosono, adiknya yang buruk rupa itu. Ia menyesal, dan rasanya sekarang ia mempunyai alasan untuk bisa meninggalkan kesombongannya. Ia merasa sudah terusir pergi dari jalan kesatria yang telah membuat ia tersesat karena kesombongannya. Tidakkah sudah tiada lagi alasan untuk bertahan di sana, setelah ia sadar bahwa Dewi Citrawati tak mungkin menjadi miliknya? Apa lagi yang hendak dikejarnya?
Rasanya, ia telah meletakkan kesombongannya yang membuatnya mengembara untuk mencari kehormatannya. Ia lega, karena batu kesombongan yang menghalangi dirinya untuk mengakui Sukrosono sebagai adiknya, telah roboh. Ia sendiri tak mengerti, mengapa begitu ia tak berkhayal lagi tentang Dewi Citrawati, seketika itu juga ia tidak lagi dihinggapi rasa malu mempunyai adik yang seorang raksasa. Ia sempat bertanya dalam hati, mengapa demikian itu yang terjadi. Namun ia sadar, pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban. Sebab jawabannya sudah tersedia, yakni kelegaan yang sekarang boleh dinikmatinya.
Ia berjalan dengan langkah ringan. Kakinya menginjak-injak daun-daun kenangan yang jatuh dari pohon-pohon kesombongan di sepanjang pengembaraannya sejak ia meninggalkan adiknya di pertapaan Jatisrana. Ia mendengar suara kera berlompatan di pepohonan, berebut buah pisang. Ia jadi tersadar, dari mana ia datang. Dari sebuah pisang, di mana dia adalah dagingnya, dan Sukrosono adalah kulitnya. Ketika masih bergantung di tandannya, tak mungkin daging dan kulit buah pisang itu dipisahkan. Hanya ketika harus dimakan, keduanya baru harus dipisahkan. Ibunya tak ingin memisahkannya, maka ia menelan baik buah maupun kulitnya. Ibunya seakan datang mengingatkan kelahirannya. Dan ia pun ingin kembali ke sana, ke pohon buah pisang, sebelum daging dan kulitnya dipisahkan. Di sinilah rindunya menjerit keras. Dan ia merasa, kerinduannya bisa membawa pulang adiknya, Sukrosono ke dalam pangkuannya. Ia mengelus-elusnya, sambil ia menyanyi merdu Lihatlah itu burung kepodang, dan adiknya pun tertidur pulas di pangkuannya. Demikian ia merasa telah terbebas dari masa lalu kesombongannya, sampai ia tidak merasa, manakah bedanya lamunan dan kenyataan yang sedang dialaminya. Tiada burung kepodang yang bisa dilihat, tiada pula Sukrosono di sana.
Kakinya menginjak-injak daun-daun kenangan yang jatuh dari pohon-pohon kesombongan di sepanjang pengembaraannya.
Sebenarnya tak salah juga lamunan Sumantri. Sebab selama ini ternyatalah Sukrosono selalu datang untuk menolongnya, apalagi sekarang saat ia amat merindukannya. Memang Sukrosono tak pernah jauh dari Sumantri. Ia selalu mengikuti perjalanan Sumantri, ke mana pun kakaknya itu pergi. Namun karena kakaknya malu untuk menerima dirinya, raksasa yang buruk, ia selalu bersembunyi, hingga tak siapa pun mengetahui. Bahkan kakaknya pun tak mengetahuinya, walau ia selalu berada di dekatnya. Walau ditolak, ia tak ingin meninggalkan kakaknya, sehingga sewaktu-waktu ia selalu bisa menolong kakaknya. Dan itulah yang dibuatnya, ketika ia menyelamatkan Sumantri dari kematiannya di tangan Prabu Darmawasesa, juga ketika ia menyelamatkan muka kakaknya dengan memindahkan Taman Sriwedari. Lengkap sudah rasanya pertolongan yang diberikannya pada kakaknya di jalan kekesatriaannya.