Ia teringat ketika Darmawati mengajaknya pulang ke Jatisrana, dan hidup berdua di sana. Ajakan itu membuatnya tenteram, setelah ia merasakan sendiri betapa sia-sianya jalan kekesatriaannya. Atau andaikan ia masih menginginkan takhta, kerajaan Widarba siap menerimanya. Benar kata Darmawati, tak mungkinlah Prabu Arjunasasrabahu menolak permintaannya untuk bertakhta di sana, karena sudah banyaklah jasanya yang dipersembahkan ke Maespati. Dan tidakkah takhta Widarba kosong setelah kakak Darmawati, Prabu Darmawasesa tiada?
Selama ini ada duri yang menusuk hatinya, karena terhadap lingkungan istana Maespati, ia selalu menyembunyikan Sukrosono, adik yang amat dicintainya. Ia mengakui, ada rasa malu di hatinya, bila diketahui, ia mempunyai adik yang seorang raksasa. Ia yakin, terhadap Darmawati, ia tidak perlu menyembunyikan itu semua. Karena jelas Darmawati mau menerima dia apa adanya, lagi pula Darmawati pasti mau mencintai adiknya, karena Darmawati sendiri adalah adik dari seorang raksasa, Prabu Darmawasesa, raja Magada. Maka entah di Jatisrana, entah di Widarba, ia membayangkan akan bahagia hidup berdua dengan Darmawati.
Lagi pula, Darmawati juga seorang putri yang cantik. Demikian cantik dia, sampai tak terbayangkan dia adalah adik seorang raja raksasa, Prabu Darmawasesa. Kecantikan Darmawati malah menjadi cermin bagi dirinya. Di sana ia melihat dirinya sebagai satria, walaupun ia mempunyai adik, Sukrosono yang berwajah raksasa. Darmawati mengingatkannya, kecantikan atau ketampanan itu ternyata demikian dekat dengan kejelekan, sedekat kakak dan adik. Bila sedekat itu, mengapa keduanya harus dipisahkan? Bayang-bayang Darmawati kembali menegurnya, mengapa dalam meraih cita-citanya menjadi kesatria, ia malu terhadap Sukrosono, adiknya? Itu sama saja dengan mengingkari kodratnya. Apa alasannya Prabu Darmawasesa tercipta seorang raksasa, dan Darmawati seorang putri jelita? Apa alasan ia menjadi satria yang tampan, sedang adiknya adalah raksasa yang jelek? Ia tak mempunyai jawaban dan tidak pula bisa menyalahkan siapa pun. Ia hanya bisa menerima ketampanannya sebagai takdirnya, sebagaimana ia harus menerima adiknya yang raksasa itu sebagai takdirnya pula. Dan apakah artinya ketampanan, kalau ia tidak mempunyai kebaikan seperti yang dimiliki oleh adiknya? Memikirkan hal ini, makin ia merasa betapa baginya Darmawati amat berarti.
Kecantikan Darmawati menjadi amat memesona baginya. Ia merasa tak boleh membandingkan, seakan kecantikan Darmawati kalah dengan kecantikan Dewi Citrawati. Kecantikan Dewi Citrawati terlalu agung, tak mungkin ia meraihnya, karena itu ia juga tak mengenal apa yang terkandung dalam kecantikannya itu. Sedangkan kecantikan Darmawati sungguh ada di depan matanya, dengan mudah ia menjangkaunya, dan ia mengenal segala kekayaannya. Mungkin itu karena Dewi Citrawati adalah seorang dewi atau batari, sedang Darmawati adalah perempuan biasa, manusia seperti dia. Kecantikan Darmawati demikian sederhana, membuat ia merasa pasti bisa memilikinya. Darmawati bagaikan pandan wangi yang tinggal dipetiknya. Dan ia bisa menambatkan cintanya padanya, seperti sulur pohon gadung, ia dengan mudah meliliti pohon asoka. Bersama Darmawati, waktu tak kenal lagi dengan kata menunda, waktu menjadi seperti menjadi kapan jua. Ia merasa, cinta yang sejati itu ternyata bisa membuat waktu jadi murah dan berlimpah-limpah. Ia tak usah lagi mencari, karena tanpa mencari pun ia sudah mendapati. Darmawati sungguh bagaikan wangi kembang melati yang datang setiap pagi.
Ia menatap ke atas, dan bertanya, bulan di langit sebenarnya selalu sama, tapi mengapa ingatannya akan Darmawati menjadikan bulan itu jadi berbeda? Ia sadar, bulan itu jadi berbeda karena cinta. Selama ini cinta itu terpendam demikian dalam, sampai ia sendiri tidak bisa merabanya. Sekarang cinta itu mekar bagaikan bunga padma, dan ia sungguh merasakannya. Cinta itu sungguh ada, tapi Darmawati ternyata tiada ada di sana. Dengan cintanya, ia meraba-raba untuk mencarinya, ketika bulan sedang purnama. Semuanya sudah di tangan, mengapa ia tak dapat menemukannya? Didengarnya di kejauhan tangis sedih burung cucur. Ia merasa, Darmawati telah pergi meninggalkannya, karena ia tak sedikit pun memberikan harapan padanya. Ia merasa bersalah, lalu bercucuranlah air matanya. Rasanya, inilah pertama kali ia menangis karena merasa kehilangan cinta. Tak hendak ia menahan tangisnya, walaupun ia seorang satria yang gagah. Karena dengan tangis itu ia bisa menumpahkan perasaannya, betapa kekesatriaannya sia-sia belaka, ketika ia kehilangan cinta.
Inilah pertama kali ia menangis karena merasa kehilangan cinta.
Cinta seperti angin yang menerpanya, lalu pergi tanpa ia bisa menangkapnya. Di mana lagi ia bisa memperolehnya? Ia merasa seperti gadung yang pelan-pelan mati karena tak mempunyai pohon-pohon bunga untuk dirambatinya. Sungguhkah tak ada lagi cinta mau mendatanginya? Ia tak sadar, malam sudah beralih menjadi fajar. Dan di tengah kicau burung yang riang, terdengarlah suara merdu burung kepodang. Mendengar itu, ia teringat kidung yang sering dinyanyikan di Jatisrana, Lihatlah itu burung kepodang. Dan seketika itu juga ia merasa Sukrosono datang ke pangkuannya. Semua cinta telah pergi, tapi di pangkuannya itu ada sebuah cinta yang tak mungkin meninggalkannya. Ia sadar, betapa Sukrosono amat mencintainya. Sukrosono selalu datang menolongnya, pada saat ia terimpit pada batas mati hidupnya. Jika tak ditolong Sukrosono, ia sudah mati di tangan Prabu Darmawasesa. Jika bukan karena pertolongan Sukrosono pula, tak mungkin ia bisa menjadikan Taman Sriwedari ada di Maespati. Sukrosono, adiknya inilah yang meluruskan jalan kekesatriaannya, menghindarkannya dari nista yang akan mempermalukan dirinya, sampai kemudian ia terjunjung menjadi satria utama.