Tiba-tiba di pelataran Maespati itu sudah tergelar taman yang amat indah. Semua mata seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Bahkan Sumantri tak menyadari apa yang telah terjadi.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Mereka berharap, semoga Sumantri berhasil melaksanakan tugasnya. Namun pada saat yang sama hati mereka diselimuti ragu, mungkinkah Taman Sriwedari itu bisa dipindah ke Maespati? Keraguan mereka sangat beralasan, karena mustahillah sebenarnya memutar keindahan yang ada di kahyangan menjadi taman di bumi, sama mustahilnya dengan menurunkan dan memaksa yang Ilahi menjadi yang insani di dunia ini. Apalagi itu semua akan terjadi hanya dengan sekuncup bunga Wijayakusuma. Hawa keraguan itu lalu meliputi langit Maespati. Maka ketika senja telah beranjak, langit segera menjadi gelap. Mungkinkah di malam segelap ini bulan akan muncul menjadi purnama yang membangunkan harapan?
Sumantri juga diliputi hawa keraguan itu. Dan ia yang telah ragu menjadi makin ragu. Jangankan memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati, bulan purnama yang dinanti-nanti pun belum juga keluar dari peraduannya. Sumantri lalu memasukkan kemenyan wangi ke dalam perapian. Perapian itu menjadi satu-satunya nyala di malam yang telah menjadi gelap sama sekali. Dengan terang nyala perapian itu, orang-orang melihat Sumantri terbenam dalam semadi. Yang terjadi, sesungguhnya Sumantri tidak sedang bersemadi. Ia terdiam, kalut dalam hati dan tak mengerti. Angin malam berembus. Sangat perlahan, tapi cukup membuat nyala perapian itu padam. Pada saat itu juga Sumantri sungguh terjerumus ke dalam kegelapan. Dan ia tiada lagi mempunyai harapan. Ia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat, kecuali menggenggam kuncup bunga Wijayakusuma erat-erat, dan berteriak, “Adikku, tolonglah aku!” Tak ada yang mendengar teriakan yang menjerit dalam hati ini, kecuali Sukrosono, adiknya sendiri.
Teriakan itu tidaklah sia-sia. Terlihat kegelapan di langit membelah, dan cahaya terang merambat, mencari celah-celah. Bulan perlahan-lahan keluar. Dalam sekejap, langit menjadi cerah, karena di sana tampak bulan yang tidak hanya sebuah. Mereka yang melihat seperti ditarik ke alam mimpi. Sebab tampak di mata mereka, langit bagaikan berpendaran dengan seribu bulan. Bulan-bulan itu berlompatan seperti kelinci, lari ke sana ke sini, menjadikan langit bagaikan padang yang bererumputan setanggi-setanggi cahaya terang. Kemudian dari empat penjuru langit sinar bulan turun perlahan, lalu bersama-sama membelai kuncup bunga Wijayakusuma. Helai-helai bunganya membuka, putih-putih warnanya. Semua mata ingin mendekat ke bunga Wijayakusuma yang mekar karena belaian bulan itu. Lebih-lebih Dewi Citrawati. Putri Magada ini tak dapat menahan diri untuk menghampiri bunga itu. Dari dekat Dewi Citrawati melihat, bunga Wijayakusuma itu benar-benar mekar, tapi tampak dalam keindahannya ada sesuatu yang kurang. Memang padanya tiada putik bunganya. Bunga Wijayakusuma itu sesungguhnya adalah kerinduan yang mencari apa yang hilang darinya. Dan Dewi Citrawati merasa, apa yang hilang itu adalah dirinya.
Sumantri melihat Dewi Citrawati tersenyum dengan amat bahagia. Sumantri merasa, senyum itu adalah kuncup Wijayakusuma yang telah merekah menjadi bunga. Senyum itu sungguh laksana bunga Wijayakusuma yang turun dari langit dan menjelma menjadi pesona yang diidamkannya.
”Akulah putik bungamu,” kata Dewi Citrawati dalam bahasa bunga, yang hanya dimengerti oleh Bunga Wijayakusuma.
Maka bunga itu pun menjawabnya, ”Memang, kaulah yang selama ini kurindukan.”
”Bukan hanya kau yang merindukan aku, aku pun merindukanmu. Inilah saat kau menemukan putik bungamu,” kata Dewi Citrawati.
Sinar terang bulan seribu, menghangati kerinduan yang saling bertemu. Semua mata silau terpancar cahayanya. Maka siapa pun tak bisa melihat bagaimana Dewi Citrawati melompat masuk ke dalam bunga Wijayakusuma dan menjadi putik bunganya. Bahkan Sumantri, yang menggenggam bunga Wijayakusuma pun tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya merasa, bunga Wijayakusuma itu bergerak lembut, selembut angin malam yang menciumi rumput. Dalam hati Sumantri bertanya, ”Mengapa kuncup bunga Wijayakusuma ini tiba-tiba menjadi hidup?” Andaikan Sumantri bisa bahasa bunga, ia akan mengerti apa yang dibisikkan Dewi Citrawati, ”Memang, lihatlah betapa nikmat perbuatan cinta yang kulakukan di bawah selimut helai-helai bunga Wijayakusuma.”
Tiba-tiba Sumantri merasa bunga Wijayakusuma itu terpental dari genggamannya. Serentak dengannya terdengar suara menggelar, keras memekakkan telinga bagaikan teriakan seribu raksasa. Lalu seribu bulan pun turun di sekeliling bunga Wijayakusuma itu. Sumantri melihat Sukrosono melompat-lompat di antara bulan-bulan. Sementara dari bulan-bulan itu keluarlah tangan-tangan bercahaya cemerlang, menarik helai-helai bunga Wijayakusuma, dan menggelarkannya di pelataran. Helai-helai bunga itu makin lama makin panjang. Gelaran itu seperti tiada akan berakhir. Akhir itu seperti tak bisa ditentukan karena orang seperti tiada merasakan adanya waktu. Memang waktu sedang menghilang dalam cemerlang bulan. Malam pun ikut menghilang, sehingga tak tahu lagi kapan fajar akan datang. Ketika tiada malam dan tiada fajar, tiada pula penantian. Dan ketika penantian itu hilang, harapan pun menjadi kenyataan. Maka tiba-tiba di pelataran Maespati itu sudah tergelar taman yang amat indah. Semua mata seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Bahkan Sumantri tak menyadari apa yang telah terjadi. Ia hanya mendengar ayam-ayam hutan ramai berkokok, tanda fajar sudah datang. Dan ia menengadah, melihat Sukrosono, adiknya, terbang, seakan diiringi seribu bulan, lalu menghilang dalam remang-remang matahari yang mulai bersinar. Dan ketika ia menundukkan kepalanya lagi, dilihatnya Dewi Citrawati sudah berdiri di tengah taman yang amat indah.
”Adakah ini Taman Sriwedari,” Sumantri bersuara lemah.
”Benar Sumantri, kau telah memberiku Taman Sriwedari.” Ketika menatap ke arah datangnya suara itu, Sumantri melihat Dewi Citrawati tersenyum dengan amat bahagia. Sumantri merasa, senyum itu adalah kuncup Wijayakusuma yang telah merekah menjadi bunga. Senyum itu sungguh laksana bunga Wijayakusuma yang turun dari langit dan menjelma menjadi pesona yang diidamkannya. Sumantri merasa, senyum itu adalah miliknya. Dan senyum itu seperti memberinya jawaban yang pasti, ”Memang kaulah yang berhak memilikinya.” Pada saat itulah Sumantri tersentak karena benar-benar baru menyadari, apa yang sebenarnya telah terjadi. Ternyata di hadapannya terbentang taman yang sangat permai. Sementara didengarnya teriakan heran dari rakyat Maespati, yang menyambut dengan girang, karena di bumi mereka telah menjelma taman yang seharusnya hanya ada di kahyangan para dewata. Memang sekarang Taman Sriwedari sungguh ada di Maespati.