Sukrosono pun tenggelam dalam semadi. Ia bertanya, siapa yang memiliki taman yang indah ini? Kepada siapa ia boleh memintanya untuk membawanya pergi? Taman itu bukan milik siapa-siapa. Dia justru ingin mencari pemiliknya. Dan ia merasa, hanya cinta yang bisa memilikinya. Maka hanya cinta pula yang bisa mengambilnya. Sukrosono lalu bercakap-cakap dengan cinta. ”Aku tak ingin mengambilmu untuk diriku, tapi untuk kakakku.” ”Aku tak peduli, kepada siapa aku hendak kauberikan. Kau bisa memberikanku pada siapa, asal kau berikan aku dengan cinta.” Dan padanya cinta itu lalu berpesan, ”Jika kau mau mengambil aku, kau pun harus rela memberikan dirimu, jiwa ragamu, bahkan hidupmu.”
Bunga-bunga di taman itu tiba-tiba mekar semua, dan memperdengarkan suara, ”Jika kau menerima cinta, kau akan dibawanya menuju akhir yang tak bisa kauduga.” Dan Sukrosono tersentak, mengapa lagi-lagi aku diingatkan agar aku seikhlas-ikhlasnya dalam memberikan cinta pada kakakku Sumantri? Ia lalu melihat kumbang-kumbang beterbangan di atas bunga-bunga. Mereka mencari-cari putik-putiknya, tapi tak menemukannya. Kumbang-kumbang itu menjauh dalam sunyi, membuat Sukrosono bertanya, mengapa di taman yang demikian indah bunga-bunga ini kehilangan putik-putiknya? Pada bunga-bunga itu Sukrosono merasakan kesendirian dalam sunyi. Kesendirian itu terus mengikutinya, minta dipertemukan pada siapa yang dapat memeluknya. Dan kesendirian ini lalu menenggelamkannya pada makin dalamnya semadi.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Terbenam dalam semadi, tanpa terasa Sukrosono telah diantar ke dalam malam. Malam yang terang benderang, karena kembali bersinar dengan kepala-kepala raksasa seribu bulan. Dan di malam yang terang ini, hujan turun bagaikan permata-mata bulan. Di ranting-ranting pepohonan, burung-burung cataka menari-nari riang. Beterbangan, dan menyuarakan nyanyian kerinduan yang telah dipuaskan. Inilah malam di mana burung-burung cataka itu boleh meneguk air bulan, yang lama ia nantikan. Mendengar suara cataka yang gembira, Sukrosono makin, yakin Sriwedari, taman yang indah ini adalah kesendirian yang mau ikut dengannya. Ia tak lagi lama menunggu, dipanggilnya segera raksasa-raksasa bulan agar mereka datang untuk menolongnya membawa Taman Sriwedari ke Maespati.
Dari angkasa turun seribu bulan bagaikan air terjun. Begitu menyentuh bumi, bulan-bulan itu menjadi raksasa kembali. Dalam sekejap suasana menjadi gelap. Suara seram menggelegar dari tepi-tepi Taman Sriwedari. Raksasa-raksasa itu bersama-sama berteriak, memanggil penguasa malam ketika tiada bulan. Dengan sekuat tenaga seribu raksasa itu menjebol Taman Sriwedari dari puncak Gunung Nguntara. Perlahan-lahan taman itu terangkat naik, merambat ke langit. Daun-daun pepohonannya melambai-lambai, disertai suara gemeresik ranting-rantingnya. Taman yang indah ini segera mengapung di langit, dan seketika itu juga suasana menjadi terang benderang karena kepala-kepala raksasa itu kembali menjadi seribu bulan di ketinggian.
Ia juga yakin, tak mungkin bunga Wijayakusuma tak mewujud lagi menjadi Taman Sriwedari ketika sampai di Maespati. Bunga Wijayakusuma itu hanya sekuncup saja. Tapi, mengapa raksasa-raksasa bulan itu terasa amat berat dalam menyangganya?
Sukrosono takjub melihat taman yang indah itu terbang. Ia sempat khawatir, bagaimana bila bunga-bunganya berguguran, daun-daunnya rontok, dan ranting-rantingnya patah, serta burung-burungnya binasa, sebelum taman itu sampai di Maespati? Maklum, raksasa-raksasa bulan itu terbang secepat kilat, melesat bagaikan angin yang dahsyat. Ketika Sukrosono dilanda keraguan demikian, Taman Sriwedari itu tiba-tiba mengecil dan mengecil, lalu sama sekali lenyap, berubah menjadi sekuncup bunga Wijayakusuma. Karena amat kecilnya, di tengah angkasa luas kuncup Wijayakusuma itu tak mungkin kelihatan, bila bunga itu tidak diangkat oleh raksasa seribu bulan. Bunga itu malam itu kelihatan bersinar, walau hanyalah kuncup di tengah malam, karena terang bulan.
Sukrosono lega, taman itu pastilah akan tetap utuh sampai ke Maespati, karena sekarang taman itu tersimpan dalam kuncup bunga Wijayakusuma. Ia juga yakin, tak mungkin bunga Wijayakusuma tak mewujud lagi menjadi Taman Sriwedari ketika sampai di Maespati. Bunga Wijayakusuma itu hanya sekuncup saja. Tapi mengapa raksasa-raksasa bulan itu terasa amat berat dalam menyangganya? Pastilah Taman Sriwedari terkandung di dalamnya. Selain itu, mengapa ia mesti ragu, tidakkah taman itu adalah kesendirian yang ingin dipertemukan dengan cintanya? Mengapa ia akan musnah, jika nanti ia bertemu dengan siapa yang dicarinya? Segala keraguan Sukrosono itu akhirnya menghilang, ketika ia mengerti rahasia malam yang bilang, jika tiada bulan, gelap pun tiada tahu akan terang. Ia pun melesat, mengambil bunga Wijayakusuma dan menaruhnya di telapaknya. Ia pun terbang disangga raksasa seribu bulan, dengan bunga Wijayakusuma di tangan. Malam seakan tak berujung di langit luas yang tak bergerak. Tapi iring-iringan bulan itu terus berarak, mengajak malam beranjak, menuju fajar yang menanti dengan nyanyian burung prenjak.
Fajar akhirnya datang, cahayanya kemerah-merahan menerpa gapura kerajaan Maespati. Di luar gapura ini Sumantri sedang menanti. Sejak kepergian Sukrosono, Sumantri selalu gelisah. Ia bertanya-tanya, sungguhkah Sukrosono akan mendapatkan Taman Sriwedari baginya? Kegelisahan ini sebenarnya tak ada gunanya. Toh ia sendiri tidak tahu di mana taman itu dan bagaimana ia dapat memperolehnya. Ia mencoba pasrah, tetapi pikirannya terlalu kalut untuk bisa menenangkan hatinya. Angin fajar berembus segar. Di ranting pohon nagasari yang berayun-ayun tertiup angin tampak sepasang burung prenjak menggerak-gerakkan sayap. Burung mungil itu lalu terbang dan hinggap di pucuk gapura kerajaan Maespati. Di gapura itu sepasang burung itu berkicau merdu, suara jantan dan betina bersahut-sahutan. Pohon-pohon campaka, bana, dan nagakusuma yang ada di bawah gapura terbangun, dan bunga-bunganya bertanya, akan datangkah siapa yang dinanti, hingga burung prenjak itu bernyanyi tiada henti?