Nyanyian burung-burung kepodang itu membawa Sumantri pulang ke Jatisrana. Ia teringat, saat Sukrosono terbaring di pangkuannya, setiap kali ia menyanyikan baginya kidung,
Oleh
Sindhunata
·3 menit baca
Sumantri juga bertanya demikian, ketika tercium olehnya wangi kembang melati yang mekar di pagi hari. ”Adakah kicau burung prenjak itu lagu tentang datangnya penantianku?” tanya Sumantri sambil meragu. Sepasang burung prenjak itu terbang ke pohon campaka. Di sana burung itu terus berkicau bersama kawanannya. Pagi pun ramai dengan suara burung prenjak. Dalam kicau indah burung-burung itu Sumantri merasa, ia ragu akan penantiannya hanya karena ia sendiri tak berdaya. Justru karena ia tak bisa apa-apa, seharusnya ia hanya pasrah dan percaya. Sumantri menunduk malu, ”Mengapa aku harus memastikan apa yang sesungguhnya hanya bisa diberikan padaku?” Sesungguhnya sekarang ia hanya bisa berharap itu. Ia sadar, terwujudnya harapan itu tak tergantung padanya, tapi mengapa ia menuntut seakan ia sendiri yang dapat mengusahakannya?
Didengarkannyalah lagi suara burung prenjak. Kicau burung-burung kecil itu seakan memintanya untuk mengaku, hanya pada Sukrosono, adiknyalah, harapannya bisa bertumpu. Ia menerima namun bertanya juga, burung-burung prenjak itu makin berkicau lantang, mengapa Sukrosono belum juga datang? Ia menengadah ke atas, dan melihat awan yang indah berarak. Sumantri tak mengira sama sekali, dalam awan itu terkandung harapannya. Di atas Maespati, arak-arakan awan itu berhenti. Awan itu turun lalu hilang ketika burung-burung prenjak lantang menyanyikan selamat datang. Sementara Sumantri terkejut, ia tak menyangka sama sekali, tahu-tahu adiknya, Sukrosono, sudah berdiri di hadapannya.
”Sukrosono, manakah Taman Sriwedari yang kaujanjikan?” Sumantri bertanya dengan terburu nafsu. Ia tak bertanya perihal diri adiknya, bukan pula tentang susah payah perjalanannya. Ia hanya ingin tahu, manakah hasil yang diharapkannya. Sukrosono tentu sedih merasakan kakaknya yang tak pernah mengenal rindu.
”Kakakku, tak akan aku mengingkari janjiku padamu,” kata Sukrosono lirih.
”Tapi kau datang tanpa membawa apa-apa, Sukrosono,” tegur Sumantri.
”Aku telah membawa apa yang kauinginkan. Terimalah ini,” jawab Sukrosono sambil mengunjukkan kuncup bunga Wijayakusuma dalam genggamannya.
”Sukrosono, ini bukan saatnya untuk bergurau. Itu kuncup bunga, bukan Taman Sriwedari,” Sumantri sudah tak sabar lagi.
”Kakakku, memang ini adalah kuncup bunga Wijayakusuma. Hanya ini yang bisa kubawa bagimu. Namun percayalah, dalam kuncup bunga ini tersimpan Taman Sriwedari.”
”Bagaimana mungkin aku bisa percaya akan segala omong kosongmu, Sukrosono.”
Sukrosono ingin menerangkan bagaimana Taman Sriwedari sungguh tersimpan dalam kuncup bunga Wijayakusuma itu. Namun ia berpikir, itu tak ada gunanya. Toh kakaknya tak akan percaya. Dipandangnya bunga di tangannya, dan berdengung kembalilah kata-kata yang didengarnya di Gunung Nguntara, bahwa bunga Wijayakusuma adalah cinta. Inilah saat cinta itu meminta, terimalah bila disalahpahami karena cinta, namun ia juga tidak boleh menyerah untuk memberikan dirinya, demi cinta, betapapun sedih dan luka hatinya. Seketika itu ia pun menemukan kata-kata.