Di kejauhan terdengar bunyi sangkakala, memanggil semua rakyat Maespati. Mereka berbondong-bondong duduk berdesak-desakan di tepi-tepi pelataran, menunggu apa yang akan terjadi di malam bulan purnama nanti.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Ketika Sumantri menerima kuncup bunga Wijayakusuma itu, bergoyanglah ranting-ranting pohon nagapuspa. Burung-burung kepodang hinggap di sana, diam tak bersuara. Tapi diam itu terasa mengalir, perlahan bagaikan sungai, gemercik dengan percik-percik kesedihan. Sumantri menatap adiknya, dan melihat air mata menetes di wajahnya. Ia ingin mengusap air mata itu. Namun ketika ia melakukannya, wajah itu sudah tiada, hilang bersama terbangnya burung-burung kepodang. Pohon nagapuspa itu menjadi sepi, menyimpankan sedih, yang sebenarnya ada di hati Sumantri. Sedang Sumantri sendiri makin tak mengerti, mengapa hatinya bisa menjadi sekeras ini.
Pagi tak lagi permai, dan Sumantri melangkah dengan gontai. Angin pagi berhenti, ranting-ranting diam enggan melambai-lambai. Pohon-pohon campaka, nagasukuma, dan tanjung, tak mau menebarkan harum, walau matahari menyegarkan bunga-bunganya yang baru saja terbangun. Burung-burung pun membisu, di tengah pagi yang telah menjadi gagu. Sumantri melihat daun-daun berguguran, padahal tiada angin datang. Daun-daun itu akan segera layu, mengiringi hati Sumantri yang telah menjadi kaku. Sumantri terus berjalan dengan langkah yang makin tak menentu. Dan pikirannya pun makin diterkam ragu. Ia ragu, sungguhkah kuncup bunga Wijayakusuma itu akan menjadi Taman Sriwedari? Dalam keraguan ini ia tak dapat menolong dirinya sendiri. Satu-satunya yang dapat menolong adalah Sukrosono, adiknya. “Tapi aku telah melukainya,” kata Sumantri di hatinya.
Sumantri ingin lari dari kekalutan hatinya itu, ingin pula ia membuang kuncup bunga Wijayakusuma yang rasanya tak lagi memberi apa pun juga bagi dirinya. Namun ia merasa, jika ia membuang kuncup bunga itu, sama saja ia membuang adiknya. Disimaknya kuncup bunga Wijayakusuma itu, dan dilihatnya di sana wajah adiknya sedang tersenyum mesra. Wajah itu bukan wajah raksasa yang menakutkan, tapi wajah manusia yang memancarkan cinta. Tanpa diminta, wajah itu tampak selalu bersedia untuk memaafkannya, walau ia telah terluka. Dari pancaran wajah itu, Sumantri merasa menemukan kembali harapannya. “Adikku, tolonglah aku,” Sumantri menyapa sambil mencium kuncup bunga Wijayakusuma itu. Ia lalu bergegas pergi ke istana Maespati untuk menghadap Prabu Arjunasasrabahu. Ia tak boleh berlama-lama, agar tak tertinggal oleh datangnya bulan purnama. Ia melangkah cepat, dan sampailah ia di istana Maespati, sebelum tiba senja hari.
Prabu Arjunasasrabahu gembira menyambut kedatangannya. Sesungguhnya Raja Maespati ini tidaklah tega memberikan tugas yang demikian berat pada Sumantri. Ia memberikan tugas itu bukan untuk menguji Sumantri, tapi semata-mata terpaksa demi menuruti permintaan Dewi Citrawati. Maka di hari-hari yang berlalu, tak henti-henti Prabu Arjunasasrabahu meminta para dewa mau menolong Sumantri, agar ia berhasil membawa Taman Sriwedari ke Maespati. Dan ia menerima, bahkan seandainya Sumantri tidak berhasil pun, ia takkan menyalahkannya. Memang, sejak pertemuannya yang pertama kali, ia demikian berkenan pada Sumantri. Kalau pun ia menuntut, itu dibuatnya semata-mata demi wibawa kuasanya. Dalam hati ia sungguh tertambat pada Sumantri. Ia tak ingin kehilangan Sumantri, demi alasan apa pun. Entah mengapa, kehilangan Sumantri dirasanya seperti kehilangan dirinya sendiri. Maka betapa lega hatinya melihat Sumantri kini ada di hadapannya lagi.
Di malam bulan purnama nanti, perkenankan hamba memohon kehadiran Paduka bersama Dewi Citrawati. Dengan restu Paduka nanti, hamba percaya bisa mendatangkan Taman Sriwedari ke Maespati.
“Sumantri, syukurlah kau sudah datang kembali,” sapa Prabu Arjunasasrabahu ramah.
“Aku berharap, kau berhasil menjalankan tugasmu, Sumantri.” Prabu Arjunasasrabahu tampak enggan mengeluarkan kata-kata ini. Dari ucapannya terasa, betapa ia khawatir jika Sumantri tak bisa menjalankan tugasnya yang memang amat berat itu.
“Hamba belum menyelesaikan tugas hamba. Namun sudilah Paduka bersabar, hamba telah menyimpan Taman Sriwedari dalam bunga ini,” kata Sumantri sambil menunjukkan kuncup bunga Wijayakusuma yang dibawanya.
“Semoga aku tidak salah mendengar kata-katamu, Sumantri,” Prabu Arjunasasrabahu menyela tak percaya.
“Benar Paduka. Pada bulan purnama malam ini, hamba akan mendatangkan Taman Sriwedari dengan kuncup bunga ini.” Sumantri merasa ada kebohongan yang mengalir dalam kata-katanya itu. Sebab sesungguhnya keraguan masih terus melanda hatinya. Dan ia melihat, Prabu Arjunasasrabahu pun kelihatan meragu seperti dirinya.
“Di malam bulan purnama nanti, perkenankan hamba memohon kehadiran Paduka bersama Dewi Citrawati. Dengan restu Paduka nanti, hamba percaya bisa mendatangkan Taman Sriwedari ke Maespati.”
“Tak hanya aku dan Dewi Citrawati. Akan kuperintahkan seluruh rakyat Maespati untuk datang, agar makin banyaklah yang memberikan restu bagi niatmu,” kata Prabu Arjunasasrabahu. Di tengah keraguannya, tampak betapa Raja Maespati ingin membantu dengan segenap hati, semata-mata hanya karena ia merasa begitu menyayangi Sumantri.
“Terima kasih hamba ucapkan, hamba menunggu Paduka di pelataran timur Maespati, saat malam bulan purnama nanti.” Sumantri mohon pamit. Ia mundur, lalu pergi menuju ke timur, ketika langit menurunkan senja bagaikan mega-mega merah yang gugur. Sementara itu dalam waktu singkat, di seluruh Maespati sudah tersiarlah kabar, bahwa dengan sekuncup bunga Wijayakusuma, Sumantri berjanji bisa membawa Taman Sriwedari ke Maespati.
Di kejauhan terdengar bunyi sangkakala, memanggil semua rakyat Maespati. Berbondong-bondong mereka datang, laki-laki dan perempuan duduk berdesak-desakan di tepi-tepi pelataran, menunggu apa yang akan terjadi di malam bulan purnama nanti. Tak lama kemudian bertalu-talulah suara gamelan, mengiringi datangnya Prabu Arjunasasrabahu bersama Dewi Citrawati. Mereka berdua duduk di singgasana yang telah tersedia, menyaksikan Sumantri yang sendirian di kejauhan. Tak ketinggalan para punggawa Maespati, tinggi maupun rendah, berdatangan, menghaturkan sembah lalu berdiri di belakang junjungan mereka. Rakyat Maespati ini merasa jatuh kasihan pada Sumantri. Ia sudah demikian berjasa bagi kerajaan Maespati, tapi mengapa ia masih harus dibebani dengan tugas yang semustahil ini? Bagi mereka, jawaban bagi pertanyaan ini hanyalah Dewi Citrawati. Di mata mereka, calon permaisuri Maespati ini tampak putri cantik yang tak pernah puas. Apa yang kurang pada Sumantri, sampai ia masih diminta untuk memindahkan Taman Sriwedari?