Sastra Mudik dan Kerinduan Pulang
Perkara jerih payah di perantauan dan pulang ke rumah asal akan terus mengusik tiap insan di relung hati terdalamnya.
Pertanyaan untuk apa mudik menjadi bahasan yang mengisi ruang sebagian besar orang menjelang Lebaran. Jawaban yang tersedia biasanya bernuansa rasional, tetapi seni sastra mampu melampauinya. Jauh sebelumnya, mudik telah dimaknai secara mendalam melalui kekayaan literatur.
Dalam Kitab Tawasin (Ta-Sin) atau yang disebut juga Kitab Kematian adalah risalah Mansur Al-Hallaj yang menunjuk inti ”mudik”. Al-Hallaj menggambarkan suatu ”lingkaran titik primordial” dalam bentuk simbol tanda baca titik yang membentuk lingkaran yang terputus dan terus berulang. Inilah proses perjalanan mudik itu, yakni sebagai sumber sekaligus muara kehidupan manusia, tidak berkurang ataupun bertambah.
Pemaknaan titik primordial itu dirujuk kemudian hari oleh Octavio Paz, peraih Nobel Sastra 1990, dalam bukunya, The Other Voice (1990). Ia mengupas berbagai aliran puisi modern dan tidak luput menyertakan kondisi masyarakat serta spirit revolusioner yang berkembang kala itu.
Paz melukiskan mudik, meskipun kata ini tidak eksplisit ada di buku tersebut, tetapi sebagai sejarah kemanusiaan yang mencari kepenuhan martabatnya dengan semangat menghadirkan kembali asal primordial. Sejarah itu tak lain adalah proses perjalanan bolak-balik ke kala mula, sebelum ketidakadilan lahir, ke titik awal.
Barangkali ini juga yang kemudian mengilhami Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik (1995). Berbalut latar sejarah kedatangan Portugis pada abad XVI, secara cerdik Pram menyisipkan pemaknaan mudik. Wiranggaleng atau Galeng, pemuda desa yang dijadikan tokoh utama, mengalami tegangan arus balik dari darat ke laut, antara pengabdian dan kenyamanan.
Sebelum Pram melahirkan karya, para penyair Pujangga Baru tampaknya sudah terlebih dulu bergulat dengan perkara mudik.
Kumpulan karya seputar mudik dibidani secara apik dengan intensitas penghayatan antara pergi dan kembali serta mengingatkan pembaca pada tema hijrah yang biasa dihadirkan pada hari raya Idul Firtri dan Idul Adha dalam khazanah Islam. Sebut saja sosok sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana, Mozasa, dan Sanusi Pane.
Semangat itu kemudian masih dilanjutkan oleh Angkatan 45 yang mengembuskan spirit kepulangan dalam karya puisi dan cerpen. Asrul Sani dalam puisi ”Surat dari Ibu” menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman.
”Pergi ke laut lepas, anakku sayang/pergi ke alam bebas!/selama hari belum petang/dan warna senja belum kemerah-merahan/menutupi pintu waktu-lampau/Kembali pulang anakku sayang/kembali ke balik malam/Jika kapalmu telah rapat ke tepi/aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari/...”
Tidak berhenti di situ, Asrul Sani mengekspresikan tema pulang dan rumah dengan lebih kuat pada analekta cerpen ”Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat” (1972).
Konflik yang dialami manusia ketika dihadapkan pada revolusi fisik, terinjak-injak oleh realitas hidup, dan kerinduan pada ”rumah” yang tentu bukan perkara fisik semata. Karya Angkatan 45 bercorak realistis, konteks tulisan seputar mudik lebih kentara menghadirkan konflik antara kota dan desa.
Jika ditelusuri lagi, hal serupa juga terjadi di Angkatan 50-an dan Angkatan 70-an. Kota ditempatkan sebagai lokus dari konflik, tujuan perantauan, titik pusat hidup tokoh utama saat ini.
Kehidupan urban jadi pusat diletakkannya idealisme yang pupus karena akhirnya tergilas realitas. Maka, tidak mengherankan ada pendapat yang menyatakan bahwa karya puisi di era-era ini sesungguhnya tidak pernah terlahir sepenuhnya dari kota sebab kota hanyalah pemantik si penyair.
Sementara desa ditempatkan sebagai suatu imaji, titik awal yang selalu dirindukan. Desa dilekatkan dengan ide keluarga (sosok ayah, ibu, atau keduanya), kehidupan tenang, dan keharmonisan segala jenis makhluk.
Kontradiksi desa dan kota inilah yang menjadi simbolisme atas kosmos (keteraturan) dan kaos (keadaan kacau balau). Barangkali, disebabkan juga oleh para penyair di era itu yang umumnya berasal dari desa.
Baca juga: Mudik
Kampung halaman
Bongkahan nostalgia masa kecil menjadi bahan para penyair untuk memahat karya indah akan kampung halaman. Menggunakan istilah Ferdinand de Saussure (dalam Course de Linguistique Generale, 1916), kampung halaman jadi jejak tanda sekaligus penanda yang tidak habis-habisnya dihadirkan dalam sastra mudik. Kampung halaman tidak akan pudar, meskipun Goenawan Mohamad dalam esai ”Rumah” (2003) pernah menggugatnya.
”Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah. Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabilitas yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang digusur, begitu banyak orang mengungsi. Saya sering dengar ajaran yang mengibaratkan manusia sebagai tanaman: punya petak, punya letak, punya akar. ’Akar’ jadi hal yang mustahak. […] Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu kehilangan rumah?”
Rentetan pertanyaan menggertak dari Goenawan pun rasanya tidak akan menghapus memori tentang rumah dan nostalgia masa lalu.
Namun, pertanyaan itu patut dicermati tatkala manusia saat ini bersedia mati-matian mempertahankan atau mencari rumah yang ia perjuangkan dengan peluh tiap harinya. Dalam konteks sastra mudik, rumah dan pulang mendapat perluasan makna, bukan lagi soal pertentangan antara kota dan desa.
Di era 2000-an, Agustinus Wibowo patut disebut sebagai penulis sastra populer yang meluaskan pemaknaan tentang rumah. Lewat novel Garis Batas (2011), pembaca diajak bertualang menjelajahi wilayah-wilayah pecahan Uni Soviet dan membayangkan realitas hidup masyarakat di sana. Ide tentang ”rumah” menjadi samar ketika kebebasan individu justru terkekang karena situasi sosial, politik, dan budaya tidak memungkinkannya.
Agak mundur sebelumnya, Andrea Hirata dengan sastra Melayu secara lihai memadukan nostalgia kampung halaman dan kisah perantauan di negeri orang dalam karya tetralogi Laskar Pelangi.
Secara berturut, Andrea mengajak pembaca lebih dekat pada kampung halaman beserta latar dan kehidupan tokoh utama dalam Laskar Pelangi (2005). Kisah dilanjutkan lewat Sang Pemimpi (2006) yang menceritakan perjuangan tokoh di kota rantauan.
Kemudian dalam Endesor (2007), nasib membawa tokoh utama berjibaku dengan pengembaraan di negeri orang, tanpa terjebak pada kebanalan anglofilia. Lalu di Maryamah Karpov (2008), pembaca diajak ”pulang”, mengikuti kisah tokoh utama dan teman-temannya kembali ke Belitong, kembali menyesap sari pati kehidupan kampung halaman yang tidak akan ditemukan di negeri seberang.
Proses perjalanan membangun memori masa kecil, pergi merantau, menyeberang ke lain benua, dan akhirnya kembali ke pangkuan kampung halaman menjadi rangkaian jenius dari Andrea sekaligus menumbuhkan kerinduan pulang bagi pembaca.
Baca juga: Mudik, Tradisi, dan Silaturahmi
Kerinduan
Jika melihat konteks saat ini, sastra mudik mulai terlihat kering, surut ditelan karya sastra bermuatan politis. Barangkali masanya sedang begitu, toh karya sastra tidak akan pernah terpisah dengan konteks zamannya. Eksplorasi isi nyatanya juga tidak mampu menghasilkan pemahaman transhistoris karya.
Kritik ini pun sebenarnya muncul dalam cerpen Yuliar Lubay berjudul Rasa Heran di Malam Lebaran (16 April 2023). Bukannya melaksanakan malam takbiran, tokoh utama justru berbincang-bincang dengan Alien Puitik yang berkunjung ke rumahnya. Yuliar secara subtil memberikan kritik pada sastra Indonesia yang kini cenderung terbelenggu satu model dan kesulitan keluar dari kenyamanan karyanya.
Kehausan pada karya sastra yang menggambarkan mudik dan Lebaran rasanya mampu dilegakan dengan cerpen Mudik karya Lie Charlie yang dimuat dalam harian Kompas, 13 November 2011. Charlie mengajak pembaca memaknai ulang ritual mudik.
”Waktu seperti berhenti di sini. Mudik seperti kembali ke masa lampau. Bersyukurlah bahwa kita masih sempat mudik untuk menikmati dan menghormati masa silam”. Diikuti kedalaman rasa, Charlie membuka cerpennya dengan pandangan tokoh terhadap ayah dan ibu, sosok yang selalu menjadi alasan untuk pulang, meski hanya sebatas memperhatikan gerak-geriknya saja.
Akhirnya, karya sastra seputar Ramadhan, mudik, dan Lebaran tidak akan pernah lekang termakan waktu. Pertanyaan untuk apa pulang mudik tidak perlu dijawab dengan segudang alasan retorik. Maka, mudiklah sebelum pulang hanya dapat ditempatkan dalam imajinasi pikiran. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mudik, Pulang Kampung, dan Makna Kata yang Hampir Sama