Mudik
Mudik kesempatan berharga untuk memperbaiki komunikasi dengan keluarga terdekat, rukun tetangga, dan lingkungan pendidikan ataupun pekerjaan kita. Kita berharap cara kita berkomunikasi juga berubah, menjadi lebih santun.
Bunyi iklan Pegadaian ”Uang bisa dicari, kenangan susah diganti, gadai aja dulu!” yang terbit di sebuah surat kabar belum lama ini sungguh relevan.
Badan usaha milik negara (BUMN) ini rupanya paham pentingnya mudik Lebaran bagi masyarakat Indonesia. Bagi sebagian orang, keinginan untuk melakukan mudik pada Lebaran kali ini boleh jadi lebih menggelegak mengingat mereka tidak melakukannya selama dua tahun masa pandemi Covid-19.
Meneguhkan identitas diri
Mudik, seperti yang dilakukan jutaan masyarakat Indonesia saat ini, adalah ciri khas manusia. Tujuannya untuk meneguhkan kembali identitas diri bersifat primordial, khususnya identitas keagamaan dan identitas kesukuan. Aktivitas ini juga menyegarkan romantisisme akan kampung halaman dan kenangan masa kecil.
Sejumlah penelitian tentang konsep diri menunjukkan, asal-usul ras, kesukuan, kebangsaan, dan agama merupakan aspek terpenting.
Wajar jika saat mudik Lebaran kita juga menziarahi makam orangtua ataupun leluhur kita untuk menegaskan kembali asal-usul kita. Mudik sebagai kecenderungan manusiawi ini sesuai dengan falsafah ulah pareumeun obor (jangan biarkan obor padam) dalam budaya Sunda dan sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal dan akan ke mana ia kembali) dalam budaya Jawa.
Mudik, seperti yang dilakukan jutaan masyarakat Indonesia saat ini, adalah ciri khas manusia.
Kecanggihan teknologi komunikasi (internet, media sosial, video call, kecerdasan buatan) tak otomatis menihilkan pentingnya komunikasi tatap muka, seperti yang kita lakukan saat mudik, karena ini bentuk komunikasi paling dasar dan paling sempurna, yang memungkinkan kita merasa intim dengan sesama. Kita yang sudah melakukan pembelajaran dan pekerjaan lewat Zoom ataupun Google Meet selama dua tahun masa pandemi menyadari kita tak puas dalam pertemuan virtual itu, bahkan merasa terkucil.
Pandangan lama Arnold Dashefsky (1976) masih relevan, bahwa kemajuan masyarakat massa telah meningkatkan keterasingan secara individual dan perubahan besar secara sosiokultural yang mendorong manusia mencari sumber keamanan yang bersifat nostalgik, hangat, dan menyenangkan, yang dalam konteks Indonesia tentu bisa dilakukan lewat mudik.
Seperti dinyatakan Hofstede dkk (2010), media populer kerap menyatakan bahwa teknologi komunikasi, termasuk televisi, e-mail, internet, telepon seluler, dan medsos akan membawa orang-orang di seluruh dunia bersama-sama ke dalam suatu desa dunia di mana perbedaan budaya tak lagi jadi masalah. Namun, menurut mereka, dominasi teknologi atas budaya ini hanya suatu khayalan; perangkat lunak mesin mungkin mendunia, tetapi perangkat lunak pikiran (budaya) yang menggunakannya tak demikian.
Baca juga: Mudik di Era Normal Baru
Walhasil, alih-alih menyeragamkan budaya, teknologi komunikasi malah menciptakan budaya dan subkultur yang semakin rumit, sebagaimana juga diakui oleh Guo Ming Chen (2012). Medsos bahkan dapat digunakan untuk memperkokoh budaya atau subkultur sendiri, misalnya dengan membentuk grup-grup Whatsapp (WA) sambil menjaga jarak dengan budaya atau subkultur lain.
Terlepas dari frekuensinya, mudik Lebaran tentu tak hanya dilakukan warga kita di dalam negeri, tetapi juga dilakukan warga kita yang sudah lama menetap di luar negeri, bahkan mereka yang sudah jadi warga negara di negara-negara bersangkutan. Para TKI di Timur Tengah, misalnya, banyak yang mudik ke Indonesia untuk berlebaran di kampung halaman.
Pada dasarnya para pemudik ini menganggap tanah kelahiran mereka sebagai ”Ibu (Pertiwi)” yang melahirkan mereka dan mengasuh mereka hingga dewasa. Mereka menaruh rasa sayang dan rasa hormat kepada kampung halaman mereka, sebagaimana mereka menaruh rasa sayang dan rasa hormat kepada ibu kandung mereka.
Peran ibu memang sangat menonjol dalam legenda di sejumlah daerah di Tanah Air, seperti Sangkuriang di Jawa Barat dan Si Malin Kundang di Sumatera Barat. Tepat apa yang dikatakan John S Nimpoeno (1985) dalam melukiskan keterikatan manusia kepada tanah kelahirannya bahwa ”Ibu pertiwi adalah harapan hidup, yang menjangkau jauh melampaui umur satu generasi ke belakang ataupun ke depan.”
Maka, tidaklah mengherankan jika pada 2014, seperti yang dapat kita saksikan di Youtube, seorang wanita keturunan Jawa berusia 31 tahun bernama Aurelia yang saat bayi berumur lima bulan diadopsi sepasang suami-istri Perancis, bersusah payah datang ke Semarang untuk mencari dan akhirnya menjumpai keluarganya. Ia anak ke-7 dari delapan bersaudara dalam keluarga yang saat ia lahir dalam keadaan miskin.
Sayangnya, meski bertemu dengan ibu dan saudara-saudaranya, wanita yang bernama asli Yulianti itu tidak sempat berjumpa dengan ayah kandungnya karena ia telah wafat.
Pencarian serupa dilukiskan di film berjudul Lion (2016) yang diambil dari kisah nyata: Saroo, pemuda India yang diadopsi dari panti asuhan oleh sepasang suami-istri Australia, berjuang dengan susah payah untuk mencari dan akhirnya menemukan ibu kandungnya di kampung halamannya, Distrik Khandwa, setelah mereka terpisah 25 tahun. Padahal, ia telah diasuh oleh John dan Sue Brierley di Hobart, Australia, dengan penuh kasih sayang dan dalam hidup berkecukupan.
Dengan mudik, kita berharap memperbaiki komunikasi kita dengan keluarga terdekat, rukun tetangga, dan lingkungan pendidikan ataupun pekerjaan kita.
Memperbaiki komunikasi
Dengan mudik, kita berharap memperbaiki komunikasi kita dengan keluarga terdekat, rukun tetangga, dan lingkungan pendidikan ataupun pekerjaan kita. Dengan me-recharge jati diri kita di kampung halaman, kita berharap cara kita berkomunikasi juga berubah, menjadi lebih santun terhadap sesama.
Begitu banyak penelitian yang menunjukkan, orang yang berkomunikasi empatik dan memiliki dukungan sosial yang tinggi memiliki harapan hidup lebih lama dan kemungkinan lebih kecil terserang berbagai penyakit, seperti kanker, serangan jantung, stroke, tekanan darah tinggi, radang sendi, TBC, depresi, dan skizofrenia.
Ciri perilaku tertentu cenderung merangsang gejala fisik tertentu pula. Orang yang pemarah sering menampilkan gejala luar seperti wajah merah, mata terbuka lebar, gemetar, berkeringat, dan nada suara tinggi. Semua respons fisik ini memicu stres yang boleh jadi diikuti serangan jantung. Secara umum sifat-sifat negatif ini, khususnya stres dan kecemasan, akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga kita mudah tertular penyakit, termasuk Covid-19 yang saat ini masih mengintai kita (Mulyana & Ganiem, 2020).
Deddy Mulyana, Guru Besar Fikom Universitas Padjadjaran.