Mudik merupakan tradisi yang dilakukan untuk tujuan mendasar, yakni silaturahmi. Sebuah tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Oleh
Abdul Kadir Riyadi
·4 menit baca
Memasuki pekan terakhir Ramadhan, masyarakat Indonesia sudah karib dengan kata mudik. Sebuah tradisi tahunan yang amat ditunggu masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Perhubungan, diprediksi pemudik tahun ini lebih dari 123 juta orang.
Idul Fitri menjadi puncak mudik sepanjang tahun sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Mudik juga terjadi ketika menjelang libur Natal dan Tahun Baru, Idul Adha, dan Imlek.
Mudik merupakan tradisi yang dilakukan untuk tujuan mendasar, yakni silaturahmi. Sebuah tradisi yang mengakar kuat pada masyarakat Indonesia. Jika ditelisik seputar akar sejarahnya, tulisan ini akan menjadi tulisan yang sangat panjang sebab tradisi mudik di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Tradisi ini terus berlangsung setelah ajaran Islam dapat berakulturasi dengan tradisi yang telah ada.
Dalam perkembangannya, mudik menjadi fenomena nasional yang adaptif dengan perkembangan zaman seperti moda transportasi yang semakin beragam hingga pemanfaatan internet. Mudik telah mentradisikan silaturahmi sebagai tujuan utamanya.
Tradisi silaturahmi
Tradisi, sebagaimana pengertian umumnya, selalu berkaitan dengan warisan sosial yang sifatnya turun-temurun. Mudik jika ditarik berdasarkan teori R Redfield (2017:79), maka masuk pada kategori tradisi besar (great tradition). Tradisi skala nasional ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga dinikmati oleh semua kalangan. Sebab, momen Idul Fitri memberikan sekian waktu untuk cuti bersama yang dimanfaatkan untuk salah satunya berkunjung ke sanak keluarga.
Tradisi silaturahmi menjadi begitu identik dengan momen Idul Fitri. Mudik jadi salah satu fragmen penjaga warisan historis yang dimulai dari kelompok sosial yang paling kecil, yakni keluarga. Silaturahmi antaranggota keluarga biasanya diiringi dengan motif pengenalan terhadap keteladanan yang coba disampaikan dari anggota keluarga yang lebih tua ke yang lebih muda.
Terlebih lagi, jika itu adalah momen berkumpulnya keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga yang majemuk. Perjuangan orang tua di masa lampau misalnya, menjadi salah satu topik pembahasan yang sifatnya mendidik kepada anak-cucu. Dengan demikian, silaturahmi dapat disisipi pembelajaran tentang keyakinan, pandangan hidup serta tradisi keluarga yang bersifat eksklusif.
Silaturahmi juga kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian orang, terlebih jika bertemu dengan teman lama. Hal ini tentu mempererat ikatan emosional antarindividu dan menciptakan hubungan yang harmonis. Silaturahmi tidak melulu terjadi dalam balutan aktivitas formal atau gaya tradisional, melainkan dinamis. Bahkan, di era internet dan setelah melewati adaptasi kehidupan baru pascapandemi Covid-19, silaturahmi kini dapat dilakukan secara daring.
Istilah mudik yang berasal dari kata udik, merujuk pada makna kampung atau desa. Momen mudik menjadi sebuah momen kembalinya masyarakat urban ke alam perdesaan yang cenderung lebih tenang dan jauh dari laju percepatan kota yang menguras tenaga dan emosi.
Mudik tak hanya terjadi di Indonesia. Malaysia sebagai negara yang masih serumpun dengan Indonesia memiliki tradisi mudik yang bisa dikatakan sama persis dengan Indonesia. Bedanya hanya di istilah yang digunakan, yakni Balek Kampung saat menjelang Idul Fitri.
Begitu pula dengan Mesir meskipun skalanya jauh lebih kecil. Di Turki, mudik disebut dengan Seker Bayram yang diisi tidak hanya bersilaturahmi ketika pulang kampung, tetapi juga ziarah kubur seperti yang umum dijumpai di masyarakat Jawa. Dilansir dari berbagai sumber, tradisi mudik paling heboh di dunia ada di India, terutama pada perayaan Diwali. Sementara di Filipina, mudik berlangsung ketika perayaan Natal.
Dari beberapa contoh tradisi mudik di negara-negara tersebut, semuanya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk bersilaturahmi. Ekspresi silaturahmi yang dilakukan juga menyesuaikan dengan adat istiadat masing-masing, seperti kupatan dalam tradisi Jawa, terater dalam tradisi Madura, atau pawai cidomo di Lombok.
Sesuai dengan teori migrasi dari Everett Lee (1984), salah satu sifat perpindahan penduduk adalah bersifat nonpermanen. Keinginan masyarakat—di mana pun itu—untuk kembali sejenak ke kampung setelah sekian lama tinggal di perkotaan menjadi kebutuhan emosional yang layak diperjuangkan setidaknya setahun sekali.
Menurut Agus Maladi Irianto (2012: 7), mudik memiliki dimensi spritual yang sudah mengakar kuat khususnya di masyarakat Jawa. Pulang kampung juga berarti melakukan ziarah ke makam para pendahulu. Kegiatan ini setidaknya harus dilaksanakan satu tahun sekali bagi perantau di luar daerah dan momen Idul Fitri diambil sebagai acuan waktunya.
Tradisi mudik akhirnya membuat kegiatan silaturahmi di Indonesia berlangsung meriah dan selalu dinanti.
Abdul Kadir Riyadi, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya