Akankan Harga Beras Terus Mengimpit?
Meningkatnya harga impor dan gangguan produksi pertanian memicu harga pangan melonjak naik.
Langkah impor beras untuk menjaga pasokan stok dan stabilitas harga pangan nasional sedikit terganggu seiring dengan melonjaknya harga beras dunia. Apalagi, di saat bersamaan, ada gangguan faktor alam yang menyebabkan produksi beras dalam negeri mengalami penurunan. Jika hal ini terus terjadi, harga pangan akan terus melejit dan rakyat kian terimpit.
Hingga hari ini, harga beras relatif masih tinggi dan cenderung terus meningkat. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional Bank Indonesia menunjukkan, harga beras rata-rata secara keseluruhan, dari semua provinsi dan jenis beras, mencapai angka Rp 15.650 per kilogram pada Jumat, 23 Februari 2024. Terus merangkak naik sekitar 8,25 persen sejak 1 Januari 2024. Pada sejumlah daerah dan jenis beras tertentu, harganya bahkan sudah menembus Rp 18.000 per kg.
Kenaikan juga terpantau dari rata-rata harga beras di pedagang besar (grosir) yang dirilis BPS. Sejak Januari 2024, harga beras grosiran sudah mencapai Rp 13.588 per kg. Dengan kata lain, harga di tingkat eceran sudah pasti lebih tinggi. Terlepas dari beragam versi harga beras yang ditampilkan, tren kenaikan harga beras saat ini tergolong sangat tinggi dan bahkan disebut-sebut mencapai rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Sejatinya, fenomena kenaikan harga beras itu bukan hal yang baru di Indonesia. Apalagi, kondisi ini sudah terprediksi dari tahun sebelumnya manakala anomali iklim melanda.
Musim tanam dan panen tidak sesuai jadwal lantaran adanya fenomena alam El Nino yang mengancam produksi pangan di sejumlah belahan dunia pada tahun lalu. Kondisi ini berimbas pada terhambatnya proses produksi di tingkat petani. Pasokan ke pasar berkurang sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang kemudian berimbas pada lonjakan harga.
Baca juga: Beras Langka di Pasar Ritel, Bantuan Pangan Terus Dibagi
Impor
Secara teori, ketidakmampuan mencukupi kebutuhan beras akibat produksi susut itu dapat diatasi dengan impor. Suplai beras impor membuat kebutuhan beras nasional tercukupi sehingga dapat menekan lonjakan harga pangan di dalam negeri. Apalagi, harga impor komoditas beras dari sejumlah negara itu cenderung lebih murah sehingga dapat meredam kenaikan harga ketika produk impor ini mulai didistribusikan. Fungsi mencukupi kebutuhan dan pengendalian harga pun terpenuhi.
Upaya impor tersebut masih menjadi salah satu ”langkah instan” andalan pemerintah untuk memasok permintaan beras nasional. Bulog menyebutkan, hingga 18 Februari, realisasi impor beras 2024 sudah mencapai 507.000 ton. Seperempat dari penugasan impor sebanyak 2 juta ton sepanjang 2024 sudah terealisasikan di dua bulan pertama tahun ini. Dengan kata lain, stok dalam negeri idealnya sudah dapat diamankan.
Persoalannya, langkah Indonesia itu juga relatif sama dilakukan oleh sejumlah negara lain guna mengamankan stok pangan di negaranya. Saat ini, penurunan produksi beras terjadi di mana-mana, dipengaruhi oleh faktor iklim yang kemudian berujung pada terganggunya ritme tanam dan panen. Akibatnya, harga di tingkat global pun melonjak.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, indeks harga beras total pada Januari 2024 mencapai 142,8. Naik 1,7 poin dibandingkan Desember 2023. Selain itu, angka indeks tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2008.
Kenaikan harga terjadi pada semua jenis beras. Lonjakan paling drastis terjadi pada beras jenis Indika yang kini angka indeksnya mencapai 156,3 poin atau 23 persen lebih tinggi dibandingkan Januari 2023. Beras Indika merupakan jenis padi yang paling umum ditanam di Asia, terutama India dan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Pakistan.
Baca juga: Beras Impor Digelontorkan, Harga Beras di Jakarta Masih Tinggi
Merujuk jurnal yang dipublikasikan Japan International Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS), Indonesia merupakan salah satu pengimpor utama beras Indika. Catatan termutakhir tahun 2017, dari seluruh beras Indika yang diekspor, sekitar 4,4 persennya diimpor oleh Indonesia. Terbesar diserap oleh China sebesar 11,9 persen, Bangladesh 6,9 persen, dan Nigeria 5,7 persen.
Kenaikan indeks harga pada awal tahun ini juga terjadi pada beras jenis Aromatic dan Glutinuous (beras ketan). Hanya jenis beras Japonica yang cenderung stagnan.
Beras Thailand
Tekanan harga global makin menguat ketika harga beras di Thailand sebagai negara pemasok utama saat ini juga terkerek naik. Mengacu laman Asosiasi Eksportir Beras Thailand (TREA), terjadi kenaikan harga beras ekspor pada awal pekan ini (21/2/2024) di semua jenis beras. Rata-rata kenaikannya mencapai 0,68 persen per ton dibandingkan dengan pekan sebelumnya (14/2/2024).
Sebagai contoh beras jenis Melati Thailand yang naik sekitar 0,61 persen per ton. Pada 14 Februari 2024 harganya masih di angka 824 dollar AS per ton, kemudian menjadi 829 dollar AS per ton. Besaran kenaikan yang sama terjadi pada beras pecah super dari 488 dollar AS per ton menjadi 491 dollar AS per ton.
Kenaikan harga beras ekspor di Thailand ini tentu akan berdampak pada harga beras di Indonesia. Pasalnya, Indonesia kini bergantung pada ”negeri gajah putih” itu untuk memenuhi kebutuhan beras nasional.
Merujuk rilis perkembangan ekspor impor oleh BPS, dari total pengeluaran impor beras Januari 2024 senilai 279,2 juta dollar AS, sebanyak 153 juta dollar AS atau sekitar 54 persen dibayarkan ke Thailand. Kemudian disusul transfer pembayaran impor ke Pakistan sebesar 28 persen dan Myanmar 8,6 persen.
Baca juga: Mahalnya Beras di Lumbung Pangan Nasional
Saat ini, Indonesia kembali menggantungkan kecukupan berasnya pada Thailand setelah India membatasi keran ekspor berasnya. Salah satu alasannya, produsen dan eksportir beras terbesar dunia itu juga mengalami penurunan produksi akibat perubahan iklim.
Kondisi itu menuntut Pemerintah India membatasi keran ekspor beras ke seluruh dunia. Padahal, sebelumnya, India menjadi pemasok utama beras ke Indonesia. Dari 429.000 ton impor beras Indonesia tahun 2022, sebanyak 41 persennya berasal dari India. Kini, Indonesia kembali kepada Thailand yang sudah menjalin kerja sama ekspor impor beras sejak lebih dari dua dekade silam.
Harga turun?
Salah satu hal yang menarik dicermati terkait harga beras saat ini adalah fluktuasi harga komoditas tersebut di negara produsennya. Dalam satu pekan terakhir sebenarnya terjadi penurunan harga beras ekspor Thailand jika dibandingkan dengan Januari lalu.
Sepanjang Januari hingga 21 Februari 2024, harga beras Thailand sejatinya turun sekitar 3,5 persen. Penurunan ini jauh lebih besar daripada tren kenaikan harga beras Thailand sejak pertengahan bulan ini hingga 21 Februari yang berkisar 0,6 persen. Artinya, harga beras impor cenderung menurun, bukan meningkat.
Sebagai gambaran, beras Melati yang naik 0,61 persen pada pertengahan Februari sebelumnya telah mengalami penurunan sebesar 1,2 persen jika dibandingkan dengan harga bulan lalu. Pada 31 Januari 2024, harganya menembus 839 dollar AS per ton.
Baca juga: Limbung Beras
Penurunan lebih drastis terjadi pada beras putih grade B yang pada 14-21 Februari ”hanya” naik 0,48 persen. Pada 31 Januari 2024, harga beras ini mencapai 670 dollar AS per ton. Namun, pada 21 Februari 2024 menjadi 632 dollar AS per ton. Artinya, ada penurunan harga 5,67 persen jika dibandingkan dengan harga pada akhir Januari 2024. Jika dicermati, harga berangsur turun sejak awal Februari hingga 14 Februari 2024, tetapi cenderung kembali naik pada pekan ini.
Dilihat dari rentang waktunya, bisa jadi kenaikan harga beras di Indonesia saat ini merupakan dampak dari tingginya harga impor, salah satunya dari Thailand, pada Januari lalu, mengingat besarnya porsi impor dari negeri lumbung padi itu. Selain itu, ditambah dengan biaya transportasi dan distribusi, dampak kenaikan harga beras di tingkat konsumen baru dirasakan pada Februari ini.
Jika mengacu pada alur perubahan harga yang telah terjadi, idealnya harga beras akan turun sebagaimana penurunan harga impor dari Thailand, yakni dua pekan setelah harga tinggi pada 31 Januari 2024. Pada saat yang sama, produksi beras dalam negeri pada Maret mendatang diperkirakan meningkat sebagai akibat masa panen yang mundur karena musim tanam yang bergeser.
Namun, apakah perkiraan penurunan harga ini terwujud? Atau justru sebaliknya, harga beras akan terus melejit dan membuat rakyat kian terimpit. (LITBANG KOMPAS)