Parpol Mana Berani Jadi Oposisi?
Keberadaan oposisi diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang sekaligus kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Hasil hitung cepat Pemilu 2024 sudah menggambarkan bagaimana peta hasil kontestasi meskipun secara resmi tetap menantikan pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum.
Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dari semua hitung cepat lembaga survei. Kini wacana publik lebih menyoroti apakah partai politik yang tidak mengusung pasangan ini akan bergabung dalam pemerintahan atau memilih menjadi oposisi di luar pemerintahan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wacana ini mengemuka terutama setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (18/2/2024) malam. Baik Jokowi maupun Paloh tak mau mengungkap apa yang mereka bicarakan. Namun, Jokowi memberikan petunjuk bahwa dirinya akan menjadi jembatan untuk semuanya.
Bukan hal yang mustahil dalam politik bahwa lawan dalam kontestasi pemilu pada akhirnya juga bisa menjadi kawan dalam pemerintahan. Kurang bukti apa lagi dengan pengalaman lima tahun lalu pascakontestasi Pemilihan Presiden 2019, Partai Gerindra dan ketua umumnya, Prabowo Subianto, pada akhirnya melabuhkan diri untuk bergabung bersama di pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hingga hari ini.
Pertemuan Jokowi dan Paloh menjadi sinyal lanjutan dari potensi dirangkulnya lawan-lawan di kontestasi pemilu untuk bergabung dalam pemerintahan. Apalagi, sebelumnya, calon presiden Prabowo Subianto di debat terakhir calon presiden menyebutkan dirinya berkomitmen untuk mengajak semua pihak untuk bergabung bersama pemerintahannya jika ia memenangi pemilihan presiden.
Komitmen ini diulang Prabowo dua hari setelah pemungutan suara dan hasil hitung cepat semua lembaga menunjukkan suara dari Prabowo-Gibran jauh lebih unggul dibandingkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Selain komitmen untuk mengajak semua pihak masuk pemerintahan, faktor lainnya adalah belum dominannya dukungan empat partai politik pengusung pasangan Prabowo-Gibran.
Jika merujuk perolehan suara sementara dari data rekapitulasi KPU, empat partai pengusung, yakni Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, total suaranya mencapai 42,6 persen. Tentu ini menjadi gambaran awal kekuatan empat partai pengusung tersebut sebelum dikonversi ke dalam kursi DPR.
Sementara itu, di luar empat partai tersebut, terutama partai-partai yang berpeluang lolos ambang batas parlemen di Senayan nanti, ada lima partai politik yang dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024 ini berada di jalur dukungan yang berbeda dengan keempat partai pendukung Prabowo-Gibran.
Jika ditotal kelima partai tersebut, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), suara yang diraih mencapai 49,6 persen.
Di atas kertas, secara perolehan suara, kelima partai politik yang bukan pengusung Prabowo-Gibran ini relatif berimbang dengan keempat partai politik pengusung Prabowo-Gibran.
Tentu, pemerintahan ke depan tetap membutuhkan kepastian dukungan politik dengan menguasai lebih banyak dukungan di parlemen agar jalannya pemerintahannya lebih stabil. Pertanyaannya kemudian, partai politik mana yang berpeluang masuk barisan pemerintahan Prabowo-Gibran?
Baca juga: Jangan Takut Menjadi Oposisi
Rekam jejak
Sebenarnya cukup mudah untuk menjawab pertanyaan di atas. Salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah rekam jejak pengalaman partai politik tersebut yang pernah berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Jika ukuran ini digunakan, dari kelima partai politik tersebut, hanya PDI-P dan PKS yang pernah berada di luar pemerintahan.
PDI-P pernah menjadi oposisi selama 10 tahun atau dua periode pemerintahan di era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara itu, PKS juga berpengalaman 10 tahun di luar pemerintahan selama periode kepresidenan Joko Widodo. Dari kedua partai politik ini, wacana menjadi oposisi sudah dilontarkan oleh PDI-P melalui pernyataan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Seperti diberitakan di Kompas.id pada 15 Februari 2024, Hasto menegaskan bahwa PDI-P siap berjuang di luar pemerintahan atau sebagai oposisi di parlemen untuk menjalankan tugas check and balance.
Menurut Hasto, berada di luar pemerintahan adalah suatu tugas patriotik dan pernah dijalani PDI-P pasca-Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Sementara PKS, di sejumlah pemberitaan, menyebutkan bahwa saat ini belum menentukan sikap politik, apakah tetap menjadi oposisi atau bergabung ke koalisi pemerintahan. Juru bicara PKS, M Kholid, mengatakan, partainya enggan buru-buru menentukan sikap politik karena sedang fokus mengawal suara rakyat.
Sikap PKS akan diputuskan ketika proses penghitungan resmi dan proses koreksi hasil pemilu secara konstitusional sudah dijalankan secara tuntas.
Di luar PDI-P dan PKS, tiga partai politik lainnya, yakni PKB, Nasdem, dan PPP, belum pernah berpengalaman menjadi oposisi atau berada di luar pemerintahan. Sejak era Reformasi, misalnya, ketiga partai politik ini selalu berada di dalam pemerintahan.
Kebetulan, sebelum Pemilu 2024, terutama di Pemilihan Presiden 2024 dan 2019, ketiga partai politik ini selalu berada dalam satu koalisi yang sama, yakni menjadi pengusung Jokowi sebagai calon presiden.
Hal ini berbeda pada Pemilu 2024, ketiga partai politik tersebut kali ini menjadi pengusung dari pasangan calon yang berdasarkan hasil hitung cepat berada di bawah pasangan Prabowo-Gibran.
PKS dan Nasdem berada di koalisi pengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Sementara PPP adalah satu dari partai politik pengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Tentu saja, di atas kertas, dengan tidak pernah berada dalam jalur oposisi, rekam jejak ketiga partai politik ini cenderung lebih berpeluang bergabung dalam barisan pemerintahan hasil Pemilu 2024 yang ditetapkan KPU nanti.
Tanpa menutup peluang ketiganya menjadi barisan oposisi, rekam jejak ketiga di panggung politik nasional lebih sempit peluangnya menjadi oposisi dibandingkan dengan ruang yang dimiliki PDI-P dan PKS.
Baca juga: Demokrasi Dinilai Kian Memprihatinkan, Publik Jadi Oposisi Alternatif
Mayoritas
Bagaimanapun, kekuatan dukungan mayoritas di parlemen tetap dibutuhkan oleh Prabowo-Gibran jika sudah ditetapkan resmi oleh KPU nanti.
Merujuk pengalaman Presiden Jokowi yang cenderung lebih banyak merangkul kekuatan politik di DPR untuk mendukung stabilitas pemerintahannya, model yang sama bisa jadi dilakukan di pemerintahan Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi ini.
Pada pemerintahan periode pertama, Jokowi mampu mengumpulkan 386 kursi DPR sebagai kekuatan pendukung pemerintahannya di parlemen. Jumlah kursi tersebut setara dengan 68,9 persen dari total kekuatan kursi di DPR.
Dukungan ini kembali meningkat di periode keduanya, yakni menguasai 471 kursi parlemen atau setara dengan 81,9 persen kekuatan DPR. Di atas kertas, kekuatan partai politik yang menjadi oposisi pun kalah secara jumlah ataupun kekuatan politik di parlemen. Bahkan, sejak Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 21 Februari 2024, praktis Demokrat pun resmi bergabung dalam pemerintahan.
Akhirnya, dengan bergabungnya Partai Demokrat di pemerintahan ini, setidaknya selama delapan bulan ke depan, dukungan parlemen ke pemerintah mencapai 525 kursi atau 91,3 persen dari total kursi DPR. Kini, dengan merujuk data sementara rekapitulasi KPU, sembilan partai politik yang hari ini ada di parlemen pusat berpotensi kembali masuk dengan mendudukkan kadernya menjadi wakil rakyat di DPR.
Berpijak pada pengalaman antara pemilihan presiden sebelumnya bahwa koalisi di pemilihan presiden akan berubah atau berbeda dengan koalisi di pemerintahan, boleh jadi partai-partai yang tidak mendukung pada Pemilihan Presiden 2024 akan memiliki kesempatan untuk masuk pemerintahan.
Tinggal pilihannya adalah apakah partai-partai politik tersebut ditawari atau secara aktif mencoba masuk barisan koalisi pemerintahan. Terlepas bagaimana konfigurasi politik pascapamilu, demokrasi sesungguhnya juga membutuhkan kekuatan kontrol atau penyeimbang.
Seperti yang dinyatakan ilmuwan politik Robert Dahl, yang memaknai hakikat demokrasi sebagai persoalan yang terkait dengan partisipasi dan oposisi dalam pemerintahan, dan bukan semata persoalan pemilu.
Pada hakikatnya, dalam konteks demokrasi, menjadi bagian dari pemerintah ataupun sebagai oposisi sama-sama memiliki nilai martabat yang sama. Tentu, menjadi oposisi bukan langkah yang populer dalam konteks budaya politik di Indonesia.
Sepenuhnya publik menanti, siapa partai politik yang berani mengambil peran oposisi tersebut. Jadi, kita tunggu saja partai politik mana yang akan mengambil tugas-tugas oposisi penyeimbang pemerintahan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Raih Suara Tertinggi, PDI-P Singgung Momen di Luar Pemerintah sebagai Oposisi