Menekan Pertambahan Kasus Perdagangan Orang
Kasus perdagangan orang turun selama pandemi, tetapi meningkat kembali. Penegakan hukum yang efektif menjadi kunci.
Maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang tidak hanya menjadi persoalan serius di Indonesia, tetapi juga di negara-negara ASEAN lainnya. Perlindungan dan penyelamatan terhadap korban terus dilakukan. Meski demikian, kasus serupa terus bermunculan.
Jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang yang merupakan kejahatan transnasional ini pernah turun pada masa pandemi Covid-19.
Laporan dari Global Report on Trafficking in Persons 2022 yang dilansir oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) menyebutkan, jumlah korban perdagangan orang yang terdeteksi secara global pada 2020 turun 11 persen daripada tahun 2019.
Penurunan disebabkan sedikitnya deteksi kasus, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Berdasarkan laporan tersebut, kasus perdagangan orang di Indonesia pada 2020 turun 63,1 persen. Di Myanmar turun 53,6 persen, di Filipina turun 32,5 persen, dan di Thailand turun 21,7 persen.
Selain mengurangi peluang pelaku perdagangan orang untuk beroperasi, pandemi dengan banyak pembatasan mobilitas kemungkinan juga telah melemahkan kapasitas penegakan hukum dalam mendeteksi korban.
Pascapandemi, kerentanan terhadap perdagangan manusia meningkat seiring dengan lemahnya kapasitas untuk menyelamatkan korban dan membawa pelaku ke pengadilan.
Salah satu hal yang dianggap mengkhawatirkan adalah banyak korban perdagangan manusia yang tak bisa mengidentifikasi diri mereka sendiri telah menjadi korban. Hal itu disebabkan berbagai alasan. Salah satunya, korban terlalu takut terhadap pelaku sehingga tidak mampu melarikan diri atau melaporkan kondisinya.
Korban perdagangan orang yang terdeteksi ibarat puncak gunung es. Korban yang terdeteksi ini bisa terjadi karena dua hal. Pertama, korban ditemukan atau diidentifikasi oleh penegak hukum atau anggota masyarakat sehingga dapat dilakukan penyelamatan.
Kedua, korban menyadari dirinya menjadi korban perdagangan atau eksploitasi dan melarikan diri. Tindakan ini sering disebut korban melakukan penyelamatan diri sendiri (self-rescued) dengan melarikan diri atau melapor kepada petugas berwenang.
Korban yang melakukan penyelamatan diri bisa dilihat pada kasus yang dialami pekerja migran Indonesia (PMI). Dari laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah pengaduan oleh PMI sebagai korban perdagangan orang tidak terlalu tinggi, baik sebelum pandemi maupun sesudahnya.
Pada 2019, jumlah kasus PMI yang dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebanyak 55 kasus. Pada 2020 jumlahnya meningkat menjadi 92 kasus. Tahun-tahun selanjutnya hingga 2022 sekitar 60 kasus per tahun. Pada 2023, hingga November jumlahnya 51 kasus.
Baca juga: Indonesia Berantas Perdagangan Orang
PMI ilegal
PMI rentan menjadi korban TPPO, terutama bagi PMI yang berangkat secara tidak resmi dan penempatannya ilegal. Situasi ini membuat bekerja sebagai PMI menjadi sebuah dilema.
Di satu sisi, menjadi PMI dapat mengatasi pengangguran dan meningkatkan remitansi. Namun, di sisi lain, keselamatan dan nyawa pekerja migran menjadi taruhan yang mahal.
Upaya mencegah bertambahnya kasus perdagangan manusia terus dilakukan pemerintah. Mulai dari mengedukasi masyarakat mengenai modus operandi penempatan ilegal PMI, menjaga perbatasan yang menjadi jalur tikus keberangkatan PMI ilegal, menyelamatkan calon PMI, hingga memproses hukum sindikat penempatan PMI ilegal atau pelaku TPPO.
Akan tetapi, upaya tersebut belum optimal. Kasus TPPO berulang. Indonesia bahkan sudah masuk dalam situasi darurat perdagangan orang (Kompas, 31/5/2023).
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, sejak 2019 terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan, yaitu dari 226 korban pada 2019 menjadi 422 pada 2020 dan 683 korban pada 2021.
Pada 2022 jumlahnya naik lagi menjadi 752 korban. Secara persentase, korban terbesar adalah anak-anak, yakni sekitar 60 persen. Perempuan yang menjadi korban sekitar 46 persen dan selebihnya adalah laki-laki.
Kedaruratan perdagangan orang tecermin pula dari kondisi korban PMI yang ditangani pemerintah. Berdasarkan data BP2MI, dalam periode 2020 hingga 25 Mei 2023, per hari rata-rata dua jenazah pekerja migran dikembalikan ke Tanah Air dan rata-rata empat pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, atau cacat.
Baca juga: Terungkap, 1.006 WNI Jadi Korban Perdagangan Orang Sepanjang Juni Ini
Penegakan hukum
Kompleksnya masalah perdagangan orang menunjukkan pencegahan dan penanganan TPPO harus menjadi prioritas pemerintah. Untuk itu, pemerintah mengubah strategi penanganan dengan mengefektifkan penegakan hukum.
Hal itu terlihat dari diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2023 yang menjadi perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perpres No 49/2023 yang diterbitkan pada 10 Agustus 2023 itu salah satunya merestrukturisasi pimpinan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Ketua I Gugus Tugas berdasarkan perpres perubahan pertama (Perpres No 22/2021) yang semula diemban Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan beralih ke Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Ketua harian yang semula dijabat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beralih ke Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tugas Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO tetap mengacu pada lima hal. Pertama, mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan TPPO.
Kedua, melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama. Ketiga, memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Keempat, memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum. Kelima, melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
Penindakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang memang sangat penting, tetapi hal itu saja tidak cukup. Mengingat pekerja migran yang paling berpotensi menjadi korban TPPO, masalah fundamental terkait memperbaiki kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lapangan kerja yang layak dan memadai di Tanah Air perlu diupayakan maksimal. Upaya itu diyakini dapat mengurangi arus pekerja migran yang mencari penghidupan ke luar negeri.
Selain itu, peran perempuan untuk mencegah dirinya menjadi korban TPPO juga perlu ditingkatkan. Hal itu tidak lepas dari fakta bahwa perempuan lebih banyak menjadi korban TPPO di samping korban anak-anak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Komnas HAM Gelar Konferensi Regional Perangi Perdagangan Orang