Rekam Jejak Kesehatan bagi Garda Terdepan Pemilu
Syarat kesehatan menjadi upaya preventif untuk menyiapkan petugas lapangan Pemilu 2024 dengan beban yang makin berat.
Banyaknya korban petugas badan ad hoc pada Pemilihan Umum 2019 semakin menguatkan betapa beratnya beban pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Syarat kesehatan menjadi penting bagi petugas yang berada di garda terdepan penyelenggara pemilu untuk menghindari kasus serupa terjadi lagi di Pemilu 2024.
Salah satu upaya mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang lagi di Pemilu 2024 adalah dengan menambah syarat usia maksimal dalam perekrutan badan ad hoc pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hal ini dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan ad hoc Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dalam bab persyaratan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), terutama Pasal 35 Ayat 2 disebutkan bahwa persyaratan usia, terutama untuk KPPS, mempertimbangkan rentang usia 17 tahun sampai dengan 55 tahun terhitung pada hari pemungutan suara pemilu atau pemilihan.
Artinya, di PKPU ini ada tambahan usia maksimal dalam merekrut calon petugas KPPS, yang sebelumnya hanya diatur usia minimal. Tambahan syarat usia maksimal, terutama dalam perekrutan KPPS ini, adalah bagian dari upaya mitigasi agar peristiwa banyaknya anggota KPPS wafat pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali.
Data KPU per 20 Mei 2019 menyebutkan, sebanyak 5.669 petugas pemilu menjadi korban atas beban penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.097 orang sakit dan 572 orang meninggal. Sementara data dari Kementerian Kesehatan per 24 Mei 2019 menyebutkan, total ada 11.989 orang, terdiri dari 11.526 orang sakit dan 463 meninggal dari petugas penyelenggara pemilu di lapangan.
Hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan Universitas Gadjah Mada menyimpulkan sejumlah temuan. Di antaranya adalah tidak terlihat bekerjanya manajemen krisis yang cukup efektif di tingkat bawah. Penyelenggara pemilu di lapangan tak cukup mengetahui apa yang harus dilakukan jika terjadi hal-hal di luar perkiraan, termasuk sakitnya petugas.
Selain itu, tim peneliti menyimpulkan sejumlah penyebabnya; pertama, kematian petugas adalah natural dan diduga karena riwayat penyakit kardiovaskular yang dimiliki; kedua, rata-rata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan.
Dampak beban kerja yang terlalu tinggi dan riwayat penyakit sebelumnya menjadi penyebab atau meningkatkan risiko terjadinya kematian dan kesakitan di antara petugas pemilu.
Atas temuan hasil riset ini, tim UGM merekomendasikan agar penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, melakukan pengecekan kondisi kesehatan, baik kesehatan fisik maupun mental saat proses rekrutmen petugas pemilu.
Tim peneliti UGM juga merekomendasikan agar selama persiapan proses pemungutan suara, KPU memberikan pelatihan yang lebih optimal kepada petugas sehingga tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan tugas yang dapat menjadi tambahan beban kerja bagi para petugas. Catatan penting lainnya perlunya diperkuat manajemen krisis dalam pemilu di Indonesia.
Baca juga : Penyelenggara ”Ad Hoc” Pemilu Dimonitor BPJS Kesehatan
Surat edaran
Selain mitigasi melalui perubahan regulasi dengan menambahkan syarat usia maksimal, KPU juga berupaya melakukan kerja sama dengan pihak lain guna mendukung upaya menjamin aspek kesehatan dalam merekrut petugas pemilih, terutama untuk KPPS.
Salah satunya dengan adanya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan BPJS Kesehatan yang dikoordinasi Kantor Staf Presiden (KSP). Surat edaran ini terkait pelaksanaan skrining riwayat kesehatan dan optimalisasi kepesertaan aktif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi petugas penyelenggara pemilu.
Surat edaran ini ditandatangani pada 20 November 2023 yang salah satu poinnya menyebutkan, Kementerian Dalam Negeri akan mengoordinasi seluruh pemerintah daerah untuk mengarahkan seluruh petugas penyelenggara pemilu mengikuti skrining riwayat kesehatan dari BPJS Kesehatan.
Dalam rilisnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan, skrining riwayat kesehatan merupakan salah satu manfaat promotif dan preventif bagi peserta program JKN. Skrining riwayat kesehatan dilakukan untuk mengetahui potensi risiko penyakit kronis sedini mungkin sehingga dapat ditindaklanjuti segera oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) agar tidak menjadi sakit.
”Tentu berharap petugas pemilu sudah melakukan skrining riwayat kesehatan, agar kita dapat melakukan pemantauan terhadap risiko kesehatannya, apakah masuk dalam kategori berisiko atau tidak berisiko penyakit. Selain itu, juga dapat ditemukan informasi tentang status kepesertaan JKN apakah aktif, tidak aktif atau belum terdaftar,” kata Ghufron.
Jika dari hasil skrining petugas masuk kategori tidak berisiko penyakit, bisa dipastikan petugas bisa melanjutkan aktivitas dan tanggung jawabnya pada pemilihan umum.
Sebaliknya, petugas yang memiliki hasil berisiko dan status kepesertaan JKN-nya aktif dapat melakukan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut di FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hasil pengisian skrining riwayat kesehatan tidak berpengaruh terhadap status petugas sebagai petugas penyelenggara pemilu ataupun pilkada 2024.
Baca juga : Cegah Tragedi 2019 Terulang, KPU Batasi Usia Petugas ”Ad Hoc”
Rekam jejak
Pentingnya rekam jejak kesehatan yang dilakukan melalui skrining riwayat kesehatan setidaknya menjadi langkah preventif awal untuk mengetahui sejauh mana kualitas kesehatan dari mereka yang akan bergabung dalam badan ad hoc pemilu.
Jika mengacu pada kebutuhan petugas di level KPPS, dengan jumlah tempat pemungutan suara yang sudah ditetapkan KPU di Pemilu 2024 mencapai 823.220, maka jika setiap KPPS ada 7 (tujuh) orang, dibutuhkan 5.762.540 petugas.
Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Provinsi DKI Jakarta Dody Wijaya mengapresiasi dukungan BPJS Kesehatan untuk skrining kesehatan.
Namun, merujuk Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2019, skrining riwayat kesehatan dilakukan dengan pengumpulan informasi riwayat kesehatan peserta BPJS kesehatan untuk mendeteksi riwayat risiko penyakit peserta. Skrining ini dilakukan hanya dengan mengisi kuesioner di faskes atau secara mandiri.
Sementara menurut Dody, kebutuhan di lapangan bagi penyelenggara pemilu adalah memastikan tidak terjadi lagi petugas pemilu yang meninggal sehingga pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh untuk mendeteksi komorbid dan riwayat kardiovaskular lebih dibutuhkan. Hal ini merujuk hasil kajian lintas disiplin UGM di atas, yakni petugas pemilu yang meninggal di antaranya melaporkan adanya riwayat penyakit kardiovaskular dan komorbid.
”Untuk itu, penyelenggara pemilu di lapangan memerlukan pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh, semacam MCU untuk memastikan tidak ada komorbid atau riwayat penyakit kardiovaskular,” ujar Dody. Tentu masalahnya pada biaya MCU karena jika dibebankan pada calon KPPS akan berat karena biayanya bisa saja melebihi dari honor yang mereka terima meskipun angka honornya sudah jauh lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2019.
Menurut Dody, peluangnya bisa dari fasilitasi dari pemerintahan daerah untuk membantu pemeriksaan kesehatan yang dapat mendeteksi komorbid atau penyakit kardiovaskular.
Opsi seperti ini bisa untuk mendukung kebutuhan bagi penyelenggara pemilu untuk memastikan rekam jejak kesehatan bagi calon badan ad hoc pemilu, terutama KPPS yang menjadi garda terdepan atau ujung tombak dari penyelenggaraan pemilu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Antusiasme Publik Menjadi Badan ”Ad Hoc” Penyelenggara Pemilu