Cegah Tragedi 2019 Terulang, KPU Batasi Usia Petugas ”Ad Hoc”
Selain usia dibatasi maksimal 55 tahun, petugas penyelenggara pemilu ”ad hoc” diutamakan yang tidak memiliki penyakit bawaan atau komorbid.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum membatasi usia petugas penyelenggara pemilu ad hoc untuk pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah pada 2024, mulai dari 17 tahun hingga 55 tahun. Pembatasan usia berdasarkan saran dari Kementerian Kesehatan agar kejadian meninggalnya ratusan petugas penyelenggara ad hoc saat Pemilu 2019 tidak terulang.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Administrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Purwoto Ruslan Hidayat mengatakan, persyaratan soal usia itu diatur dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Syarat pembatasan usia maksimal hingga 55 tahun berbeda dengan syarat di Pemilu 2019 yang tak mengatur batasan usia maksimal.
Petugas penyelenggara pemilu ad hoc dimaksud adalah Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Mereka tidak boleh berusia lebih dari 55 tahun terhitung pada hari pemungutan suara pemilu dan pilkada. Mereka juga diutamakan tidak memiliki penyakit bawaan atau komorbid.
Lahirnya syarat-syarat ini berkaca pada pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu, sebanyak 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dan 5.175 orang sakit. Hasil kajian dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menunjukkan, kematian disebabkan mereka memiliki penyakit bawaan, seperti jantung dan stroke, serta beban kerja yang terlalu tinggi sehingga meningkatkan risiko kematian.
”Syarat kesehatan, yakni tidak memiliki komorbid (penyakit penyerta) dan usia dibatasi 55 tahun, merupakan saran dari Kementerian Kesehatan,” katanya.
Selain faktor kesehatan, lanjut Purwoto, pengaturan usia 17 tahun hingga 55 tahun karena pada usia-usia tersebut merupakan usia produktif. Dengan demikian, mereka dinilai masih mampu beraktivitas lebih karena belum memasuki usia pensiun.
Jika kelak syarat-syarat itu jadi penghambat bagi KPU untuk merekrut petugas pemilu ad hoc, sejumlah langkah mitigasi telah disiapkan. KPU kabupaten/kota, misalnya, dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, komunitas peduli pemilu dan demokrasi, serta tenaga pendidik untuk mendapatkan anggota KPPS yang memenuhi persyaratan.
Kepala Biro Perundang-undangan Umum KPU Nur Syarifah menambahkan, rancangan PKPU kali ini mengakomodasi hasil evaluasi Pemilu 2019. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kebijakan akomodatif KPU yang mempertimbangkan beban kerja badan ad hoc yang tinggi. Dengan langkah preventif tersebut, diharapkan tidak ada lagi penyelenggara badan ad hoc yang meninggal saat menjalankan tugas.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, mengatakan, langkah KPU yang berkonsultasi dengan Kemenkes untuk menentukan batas usia penyelenggara badan ad hoc merupakan bentuk koordinasi yang baik. Namun, KPU harus membuat langkah mitigasi jika kekurangan pendaftar petugas pemilu ad hoc karena syarat yang terlalu berat.
Sebab kebanyakan masyarakat yang bersedia menjadi petugas ad hoc di daerah merupakan pensiunan yang usianya lebih dari 55 tahun. Mereka bersedia mendaftar karena aktivitas sehari-hari tidak terlalu berat dan memiliki waktu yang cukup banyak untuk menjadi penyelenggara pemilu.
Oleh karena itu, KPU perlu menyiapkan langkah mitigasi jika mayoritas pendaftar justru yang berusia di atas 55 tahun. Koordinasi dengan lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga pendidikan harus dilakukan sejak awal untuk mengantisipasi kekurangan penyelenggara badan ad hoc.
”Yang harus dipahami adalah menjadi badan ad hoc bukanlah mencari pekerjaan, tetapi menjadi sukarelawan untuk menyelenggarakan pemilu sehingga pasti yang akan daftar kebanyakan adalah orang-orang yang bersedia saja, bukan pencari kerja,” ucap Kahfi.