Mereka yang Masih Bimbang Memilih Capres
Banyak pemilih partai politik yang masih enggan menyebutkan siapa sosok bakal calon presiden pilihannya. Dukungan partai politik terhadap sosok bakal capres tidak serta-merta akan diikuti pemilihnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F17%2Fd78a8d7a-657a-4a0d-94cc-a96e5efc0e9c_jpg.jpg)
Baliho daftar partai politik peserta Pemilu 2024 beserta nomor urutnya dipasang di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (17/9/2023).
Sekitar lima bulan menjelang Pemilu 2024, jumlah pemilih yang belum menyatakan pilihan partai politik makin kecil. Sebaliknya, pilihan presiden masih menyisakan lebih besar pemilih bimbang. Berdasarkan partai pilihannya, siapa saja kelompok pemilih bimbang untuk pilihan presiden ini?
Dinamika pencalonan presiden menjelang Pemilu 2024 makin menarik dan penuh kejutan. Sebab, lebih kurang dua bulan lagi akan diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum siapa saja kandidat yang akan maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilu nanti.
Survei periodik Kompas yang dilakukan Agustus 2023 merekam, masih ada 27,9 persen responden yang belum menyatakan pilihan presidennya jika pemilu dilakukan saat survei dilakukan.
Mereka yang termasuk dalam undecided voters atau pemilih bimbang ini merupakan responden yang masih menjawab ”tidak tahu”, ”rahasia”, dan yang memang tidak menjawab. Dengan kata lain, belum ada satu nama pun yang muncul dari para responden ini untuk nama capres yang akan dipilih.

Berbicara mengenai pilihan presiden tentu melibatkan banyak faktor yang memengaruhinya. Latar belakang calon pemilih, seperti pengalaman pribadi, pengaruh lingkungan, pekerjaan, tempat tinggal, hingga preferensi partai politik tentu saling berkelindan dalam benak publik hingga akhirnya menjatuhkan pilihan.
Namun, dalam konteks pemilu di Indonesia, faktor pilihan parpol sangat besar peluangnya memengaruhi pilihan publik. Bagaimana tidak, merujuk kembali UUD 1945 yang dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasangan capres dan cawapres hanya dapat diusulkan oleh parpol dan gabungan parpol peserta pemilu.
Belum lagi apabila mengingat adanya presidential threshold atau ambang batas suatu parpol dan koalisi parpol untuk mampu mengusung pasangan presiden dan wakil presiden ialah 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen dari suara sah pemilu anggota DPR sebelumnya. Artinya, faktor parpol mengambil porsi penting dalam memengaruhi pilihan presiden dari para calon pemilih dalam pemilu.
Faktor pengaruh parpol juga makin dikuatkan bahwa dalam survei yang sama terekam pula, jumlah pemilih bimbang untuk pilihan parpol 11,6 persen saja. Data ini mengindikasikan bahwa publik cenderung sudah memiliki pilihan partai politik yang lebih pasti ketimbang pilihan presiden.
Baca juga : Pemilih Lebih Bimbang Memilih Capres
Parpol
Melihat kecenderungan di atas, menjadi menarik apabila memandang undecided voters untuk pilihan presiden dari sudut pandang pilihan parpol.
Jika dilihat dari keseluruhan responden yang sudah memilih partai, tiga besar pemilih partai penyumbang undecided voters untuk pilihan presiden adalah pemilih Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Dari 100 persen pemilih Partai Golkar, 37,8 persen belum menyatakan pilihan presidennya. Dengan penghitungan yang sama, 36,2 persen pemilih PAN belum menyatakan pilihan presiden. Pada urutan berikutnya, pemilih Perindo menyumbang 28,3 persen pemilih bimbang untuk presiden.
Hal pertama yang dapat menjelaskan fenomena ini lebih terkait sosok dalam partai-partai tersebut yang sejauh ini tak maju sebagai kandidat kuat capres dan cawapres, yakni Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Hary Tanoesoedibjo. Ini bisa saja hal yang wajar sebab patronase yang bertumpu pada sosok masih menjadi model kuat dalam iklim politik di Indonesia.
Indikasi lain yang dapat dilihat adalah belum kokohnya bangunan koalisi yang terbentuk untuk mengusung calon presiden. Khusus Golkar dan PAN sampai saat ini masih mencondongkan dukungannya dalam Koalisi Indonesia Maju, sebelumnya bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, yang mendukung pencapresan Prabowo Subianto.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F4433932f-65ea-4928-95e1-280a69f83d2a_jpg.jpg)
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di sepanjang jalan layang di kawasan Karet, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Namun, hingga saat survei ini dilakukan, sosok Prabowo yang didukung sebagai capres oleh koalisi itu belum mengumumkan siapa yang menjadi cawapres pendampingnya. Padahal, dalam poros ini, posisi Golkar bisa dipandang cukup kuat dengan modal elektoral dalam pemilu sebelumnya yang tak kurang dari 12 persen.
Bagaimana dengan Gerindra? Apabila melihat jumlah pemilih bimbang untuk pilihan presiden dari pemilih Gerindra, persentasenya 18,5 persen.
Proporsi ini termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan jumlah undecided voters secara umum. Bahkan, apabila dibandingkan dengan pemilih Partai Nasdem dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sudah mendeklarasikan capresnya, proporsi pemilih Gerinda cenderung lebih solid.
Proporsi pemilih bimbang dari seluruh pendukung PDI-P dalam survei ini 20,1 persen. Lebih tinggi dari itu, proporsi pemilih bimbang untuk pilihan presiden dari kelompok pemilih Nasdem mencapai 22,5 persen. Fenomena ini tidak terlepas dari faktor sosok yang dicalonkan oleh kedua parpol itu yang bukanlah ketua umum partai sebagaimana Gerindra.
Dalam kehidupan politik di Indonesia, sosok masih menjadi faktor dominan bagi publik dalam memilih parpol. Kecocokan terhadap tokoh yang berpengaruh dalam parpol menjadi alasan terbesar publik dalam memilih partai.
Baca juga : Partai Politik Terkonsolidasi Pilihan Calon Presiden
Ideologis
Dari dinamika di atas, tampak bahwa faktor sosok menjadi tumpuan penting bagi calon pemilih mempertimbangkan pilihan presidennya. Namun, ini bukan satu-satunya.
Masih ada faktor ideologi yang tak bisa dianggap remeh. Ini tecermin ketika melihat data yang sama untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang dalam survei ini menunjukkan penyumbang terkecil untuk pemilih bimbang capres.
Hanya 14,3 persen dari pemilih PPP yang belum menentukan sosok yang akan dipilih menjadi presiden. Dengan selisih 1 persen, 15,3 persen dari seluruh pendukung PKS belum menyatakan pilihan presidennya. Jika melihat kedua partai ini, terlihat bahwa sosok bukan yang pertama-tama menjadi pertimbangan.
PKS menjadi salah satu partai yang selama ini dikenal memiliki gerak ideologi jelas. Dalam kontestasi menuju Pemilu 2024, PKS mendukung Anies Baswedan bersama Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketika koalisi ini bergolak dengan hengkangnya Partai Demokrat, PKS masih belum menunjukkan pergeserannya.
Faktor sosok menjadi tumpuan penting bagi calon pemilih mempertimbangkan pilihan presidennya.
Konsistensi gerak ideologis PKS juga ditunjukkan dalam dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang senantiasa mengambil posisi oposan. Dengan basis ideologis yang kuat, pendukung PKS pun cenderung lebih mudah membaca arah partai, termasuk dalam soal pilihan presiden.
Bagaimana dengan PPP? Harus diakui posisi PPP dalam percaturan politik dapat dipandang tak sekuat partai parlemen yang lain. Perolehan suara pada tahun 2019 pun hanya tipis di angka ambang batas parlemen, yakni 4 persen.
Namun, PPP memiliki pemilih yang bisa dipandang memiliki basis ideologis kuat. Dengan ukuran yang compact, akan cenderung lebih mudah pula menjaga arah politik para pendukung partai ini.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Pemilih Parpol Pasif Kampanyekan Capres
Latar belakang
Kuatnya pengaruh partai yang dapat mengarahkan pilihan presiden para pendukungnya menjadi faktor kuat yang menentukan arah kontestasi Pemilu 2024.
Namun, sebagai sosok, pertimbangan latar belakang kandidat juga tak bisa dipandang sebelah mata. Dalam benak responden survei Litbang Kompas ini, latar belakang militer dan kepala daerah menjadi hal yang paling dipertimbangkan.
Sebanyak 24,6 persen dari seluruh responden mengaku kandidat berlatar belakang militer menjadi sosok tepat untuk menjadi capres. Sementara 22,8 persen responden menilai mereka yang berlatar belakang sebagai kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati, paling layak menjadi capres.

Menjadi tidak mengherankan bahwa tiga nama capres yang sudah dideklarasikan oleh setiap pengusungnya sekaligus memiliki elektabilitas tinggi berlatar belakang militer dan kepala daerah. Latar belakang dan rekam jejak ini pada akhirnya akan ikut berkontribusi dalam mendulang suara.
Hal inilah yang perlu disandingkan dengan kekuatan politik dari basis setiap pemilih parpol, termasuk meyakinkan para pemilih bimbang untuk menentukan pilihan presidennya. Mantapnya pilihan terhadap partai di satu sisi, sedangkan masih adanya kecenderungan bimbang dalam memilih capres, boleh jadi hanya sekadar persoalan waktu.
Variabel waktu ini terutama merujuk kapan kepastian pasangan capres-cawapres yang diusung akan didaftarkan ke KPU. Terlepas dari itu semua, pada akhirnya mendulang suara elektoral tetap hanya sarana demokrasi. Tujuan utama demokrasi adalah kemajuan hidup bersama sebagai kesatuan bangsa. Semoga. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei ”Kompas”: Dukungan Pemilih dan Partai Tidak Selalu Sejalan