Angka pemilih bimbang untuk memilih partai politik menunjukkan tren mengecil dalam dua kali survei ”Kompas”. Sebaliknya, pemilih bimbang cenderung membesar untuk memilih calon presiden.
Oleh
Vincentius Gitiyarko, Litbang Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Tenaga kerja lepas menyelesaikan penyortiran dan pelipatan surat suara untuk pemilihan presiden pada Pemilu 2019 di Kantor KPU Jakarta Barat, Senin (18/2/2019).
Menjelang Pemilu 2024, sebagian publik masih belum menyatakan pilihannya, baik untuk pemilihan calon presiden maupun pemilihan partai politik dan anggota legislatif. Jika melihat angka tren dalam beberapa bulan terakhir, proporsi undecided voters lebih besar untuk memilih presiden dibandingkan dengan memilih parpol.
Kesimpulan sementara ini dapat dilihat dengan membandingkan survei periodik Kompas pada Agustus 2023 dengan Mei 2023. Untuk pilihan parpol, ada 11,6 persen responden yang menyatakan tidak tahu ketika ditanyai soal ini pada Agustus 2023. Jumlah ini menurun. Pada periode Mei 2023, proporsinya masih 16,1 persen. Dengan kata lain, publik sudah cenderung menentukan pilihan untuk pilihan parpol dalam perbandingan dua periode ini.
Data ini dapat dibaca dalam dua konteks, yakni dari sisi publik ataupun dari sisi partai politik. Dari sisi publik tampak secara alamiah terindikasi pilihan terhadap parpol makin menguat ketika periode pemilu makin dekat. Hal ini makin dikuatkan jika membandingkan lebih jauh, yaitu angka undecided voters pada akhir 2021. Kala itu, masih ada 40,8 persen responden yang belum menyatakan pilihan parpol.
Memasuki tahun 2023, angka yang belum menentukan pilihan semakin kecil. Jumlah 11,6 persen yang terekam dalam survei Agustus 2023 bahkan menjadi yang paling kecil dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Di pihak lain, parpol tentu mulai gencar berupaya menggerakkan mesin politiknya menjelang pemilu yang makin dekat. Apalagi, sejak akhir 2022, KPU sudah memutuskan 18 parpol nasional dan enam parpol lokal di Aceh menjadi peserta Pemilu 2024.
Berbeda
Kecenderungan yang berbeda terjadi ketika melihat preferensi publik untuk pilihan presiden. Dalam survei pada Agustus 2023, masih ada 27,9 persen responden yang belum menyatakan pilihan. Berbeda dengan kecenderungan untuk pilihan partai, angka undecided voters untuk pilihan presiden malah membesar. Sebelumnya, angka responden yang belum menyatakan pilihan pada survei Mei 2023 mencapai 24,7 persen. Artinya, dalam empat bulan terakhir ada 3,2 persen responden yang menambah proporsi pemilih bimbang untuk calon presiden. Fenomena ini tampak tak dapat dilepaskan dari dinamika dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sejauh ini, beberapa koalisi partai memang telah mendeklarasikan siapa bakal calon presiden (capres) yang akan mereka usung. Dari tiga nama bakal capres yang dideklarasikan parpol, baru Anies Baswedan yang mengumumkan siapa calon wakil presiden (wapres)-nya, yakni Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.
Sementara dua bakal capres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, belum mengumumkan siapa yang akan menjadi pasangannya. Dengan situasi ini, segala dinamika masih sangat mungkin terjadi. Apalagi, bongkar pasang bukan hanya terjadi untuk posisi capres dan cawapres, melainkan juga masih besar kemungkinannya untuk koalisi-koalisi parpol yang sudah terbentuk.
Kembali ke jumlah undecided voters yang bahkan lebih tinggi dari elektabilitas tertinggi bakal capres saat ini, tergambar posisi sebagian publik masih wait and see untuk pilihan presiden. Dalam dinamika yang masih mungkin terjadi, publik tak ingin segera mengambil keputusan siapa presiden yang akan mereka pilih pada pemilu nanti.
Proporsi
Di tengah situasi politik yang dinamis, latar belakang responden undecided voters ini menjadi hal yang penting dicermati untuk menambah dukungan suara bagi partai dan capres. Jika mengamati lebih dalam profil responden yang belum menyatakan pilihan untuk parpol, tampak semakin tinggi usia responden, semakin tinggi jumlah yang belum menyatakan pilihan parpolnya.
Dari kelompok responden pemilih mula, yakni mereka yang berusia 23 tahun ke bawah, proporsi yang belum menunjukkan pilihan adalah 9,8 persen. Angka yang mirip ditunjukkan kelompok responden berusia 24-40 tahun, yakni 10 persen. Proporsi yang berbeda ditunjukkan responden dengan usia lebih senior. Pada kelompok usia 41-60 tahun, persentase responden yang belum menyatakan pilihan parpol sebanyak 13,6 persen. Lebih lagi, pada kelompok usia lebih dari 60 tahun, angka undecided voters mencapai 15,8 persen.
Fenomena yang sama terjadi dalam soal pilihan presiden. Semakin muda kelompok usia responden, semakin kecil jumlah responden yang belum menyatakan pilihan. Pada kelompok usia 17-24 tahun, jumlah responden yang belum menyatakan pilihan sebanyak 24,9 persen.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para perwakilan pimpinan partai politik dan pimpinan KPU dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Dengan jumlah cenderung mirip, proporsi responden di kelompok usia 24-40 tahun yang belum menyatakan pilihan 25,1 persen. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh responden dengan kelompok usia di atasnya. Pada kelompok usia 41-60 tahun, angka responden yang belum menyatakan pilihan masih 30,4 persen. Angka ini kembali meningkat pada kelompok usia lebih dari 60 tahun, yakni mencapai 42,1 persen.
Artinya, dari sisi usia, baik untuk pilihan parpol maupun presiden, semakin tua usia responden, semakin tinggi kehati-hatian dalam menyatakan pilihan politiknya. Indikasinya, publik yang berusia di atas 40 tahun belum akan menyatakan pilihan jika belum yakin. Sebaliknya, meski responden dengan usia di bawah 40 tahun lebih kecil jumlah pemilih bimbangnya, pilihan bisa saja cepat berganti.
Apabila dari segi usia, baik untuk sikap terhadap parpol maupun presiden, responden menunjukkan sikap sama, hal ini tidak berlaku ketika melihat latar belakang pendidikan responden. Untuk urusan partai politik, semakin tinggi tingkat pendidikan responden memang cenderung makin tinggi pula angka undecided voters. Namun, untuk pilihan presiden, semakin tinggi tingkat pendidikan responden malah semakin kecil proporsi undecided voters pada kelompok ini.
Dilihat angkanya, 10,1 persen responden berpendidikan tingkat rendah belum menyatakan pilihan parpolnya. Jumlah ini meningkat menjadi 13,7 persen pada kelompok responden berpendidikan menengah dan 13,2 persen pada kelompok responden berpendidikan tinggi.
Sementara untuk pilihan presiden, 33,4 persen kelompok responden berpendidikan tingkat rendah belum menyatakan pilihan presiden. Persentase ini turun menjadi 22,7 persen pada kelompok responden berpendidikan menengah dan 17,5 persen pada kelompok responden berpendidikan tinggi.
Ceruk
Undecided voters dapat dipandang sebagai ceruk potensial untuk mendulang suara dalam pemilu. Persentase kelompok ini, 11,6 persen untuk pilihan parpol, tidak dapat diabaikan mengingat ambang batas parpol untuk melenggang ke parlemen adalah 4 persen.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta.
Artinya, undecided voters dalam kluster parpol saat ini hampir tiga kali dari ambang batas tersebut. Situasi yang lebih krusial berlaku untuk pilihan presiden karena angka pemilih bimbang untuk presiden masih lebih dari 25 persen. Dengan kata lain, tiga perempat responden masih belum menentukan pilihan presidennya.
Berkaca dari latar belakang usia kelompok undecided voters ini, baik parpol maupun capres memiliki pekerjaan rumah yang sama, yakni mengambil hati masyarakat senior untuk menjatuhkan pilihan. Sementara dari sisi tingkat pendidikan calon pemilih, parpol memiliki peluang menambah elektabilitasnya dengan menampilkan sisi yang logis dan idealis untuk menggaet lebih banyak pemilih berpendidikan tinggi.
Sebaliknya, capres tampak perlu mengupayakan sosialisasi lebih membumi agar gagasannya mampu ditangkap publik dengan pendidikan cenderung rendah.