Menumbuhkan Kesadaran Mengelola Sampah melalui Bank Sampah
Bank sampah yang sudah diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia memberikan manfaat ekonomi secara langsung bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Untuk menumbuhkan kesadaran dalam mengolah sampah rumah tangga, perlu adanya insentif yang bermanfaat secara langsung bagi masyarakat. Bank sampah yang sudah diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk manfaat langsung yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pengelolaan sampah tidak hanya bergantung pada program pemerintah semata. Masyarakat dan sektor privat juga dapat terlibat menjadi aktor penting dalam menangani sampah agar tidak terbuang begitu saja sehingga sampah dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya. Selain membuang sampah pada tempatnya, publik juga dapat berperan lebih optimal lagi dalam proses daur ulang sampah. Salah satunya dengan memilah, mengumpulkan, dan memanfaatkan kembali sampah-sampah yang masih berguna untuk penggunaan atau pemrosesan lebih lanjut.
Hanya saja, peranan masyarakat untuk mendayagunakan sampah yang telah bertumpuk-tumpuk itu tampaknya masih relatif minim. Indikasinya terlihat dari data Susenas 2021 yang menyatakan sebesar 57,9 persen rumah tangga di Indonesia tidak pernah memilah sampah. Hanya dua dari sepuluh rumah tangga yang mengaku pernah melakukan pemilahan sampah. Itu pun hanya 9 persen yang benar-benar selalu melakukannya.
Rendahnya kesadaran dalam pengelolaan sampah di kalangan masyarakat tersebut patut untuk dimaklumi. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis-jenis sampah sehingga tidak paham pengelompokannya. Limbah dan sampah dianggap hanya sebagai kotoran yang harus segera dibuang keluar dari rumah sehingga pemisahan jenis-jenis sampah itu menjadi tidak penting (Kompas, 21 Februari 2021).
Alasan yang kedua ialah masih banyak masyarakat yang belum tahu bahwa sampah yang dipilah bisa dimanfaatkan kembali dan menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Beberapa jenis sampah tertentu bisa dijual ataupun diolah kembali sehingga menghasilkan nilai ekonomi baru.
Baca juga: Lawan Jeratan Utang Bank Keliling dengan Sampah
Ketidaktahuan tersebut bisa jadi karena kurang masifnya sosialisasi serta kurang maksimalnya sistem pengumpulan sampah di sejumlah daerah. Di Indonesia, pembuangan sampah di tingkat rumah tangga belum sepenuhnya menerapkan sistem pemisahan jenis sampah. Jika pun sudah dipilah dan dikumpulkan, masyarakat masih bingung ke mana mereka harus menyerahkan sampah-sampah tersebut. Kondisi demikian umumnya terjadi di wilayah-wilayah yang masih minim organisasi atau lembaga pengumpul sampah hasil pilahan rumah tangga.
Di sisi lain, masyarakat juga belum semuanya merasakan manfaat langsung dari pemilahan dan pengumpulan sampah tersebut. Umumnya, benefit yang diterima masyarakat masih sebatas kondisi rumah yang lebih bersih dan bebas sampah. Berbeda halnya di negara lain, seperti Swiss, yang keaktifan warga dalam memilah sampah juga didorong oleh adanya sanksi hukuman dan juga insentif secara ekonomi.
Di Indonesia, bentuk penerapan hukuman seperti itu belum dapat dilakukan, apalagi sanksi yang dikenakan berupa hukuman denda. Kebijakan atau program yang berkaitan dengan pemilahan sampah baru sebatas imbauan ataupun saran. Meskipun demikian, saat ini ada sejumlah daerah yang telah melakukan kegiatan bank sampah yang bekerja sama dengan sejumlah pengusaha swasta lokal. Dengan adanya bank sampah itu, masyarakat kian banyak yang tertarik untuk memilah sampah dan mengumpulkannya di bank sampah. Dengan demikian, warga bersangkutan akan mendapatkan manfaat langsung berupa materi atau uang dari volume sampah yang disetorkan. Manfaat langsung inilah yang merupakan wujud insentif dari kepedulian masyarakat dalam memilah dan memilih sampah.
Bank sampah merupakan wadah terdekat di lingkup tempat tinggal masyarakat untuk mengumpulkan sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Disebut ”bank” karena sistemnya memang menyerupai bank, yakni ada transaksi simpan pinjam. Masyarakat yang miliki sampah yang masih bermanfaat dapat mengumpulkan dan menyerahkannya pada bank sampah. Semua sampah yang dikumpulkan akan dihargai dengan sejumlah nilai uang berdasarkan jenisnya. Semakin banyak volume sampah yang dikumpulkan, semakin banyak pula uang yang diperoleh. Uang hasil setoran sampah itu terkadang disimpan terlebih dahulu oleh organisasi atau lembaga bank sampah sebagai nilai uang yang ditabung dan dapat diambil sewaktu-waktu.
Bank sampah
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memiliki program khusus tentang bank sampah. Dalam Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Pada Bank Sampah, pemerintah menetapkan dua kategori bank sampah berdasarkan cakupan wilayah layanannya. Bank Sampah Unit (BSU) melayani wilayah RT, RW, kelurahan, atau desa. Sementara itu, Bank Sampah Induk (BSI) cakupannya meliputi wilayah administrasi kabupaten/kota.
Saat ini, sudah ada 222 BSI dan 26.931 BSU yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah bank sampah tersebut, sudah ada 3.225 nasabah yang terdaftar di dalamnya. Bank sampah yang tercatat di KLHK itu sudah mengumpulkan 133,6 ribu ton sampah, sebanyak 451,5 ton di antaranya berhasil dimanfaatkan. Selain itu, sebanyak 6,4 ribu ton lainnya berhasil diolah.
Baca juga: Jaga Partisipasi Masyarakat Tangani Sampah
Dilihat dari segi dampak lingkungan, bank sampah yang ada saat ini memang belum memberikan hasil signifikan. Data kajian dari Sustainable Waste Indonesia (SWI) menyebutkan, pada tahun 2019 kapasitas daur ulang plastik pascakonsumsi mencapai 421.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, kontribusi daur ulang plastik dari bank sampah hanya 2,7 persen.
Namun, bagi masyarakat anggota bank sampah, lembaga ini mampu memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi mereka. Contohnya Bank Sampah Unit Kenanga RW 004 Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Bank Sampah yang mendapatkan pendampingan dari Wahana Visi dan Divers Clean Action telah berhasil menghasilkan program-program baru yang membantu ekonomi warga.
Melalui Koperasi Asosiasi Kesejahteraan Anak (Aska), anggotanya dapat menabung dengan model kepemilikan saham tiap bulan. Setiap saham bernilai Rp 30.000 dan anggota hanya boleh menabung maksimal senilai lima saham sebulan. Kemudian, dalam program Warung Lestari, bank sampah memberikan modal usaha dengan cicilan yang dibayar dengan sampah bernilai ekonomi seperti botol atau kardus bekas. Warung Lestari ini juga mencegah banyak warung di Sember Parat terlilit utang lintah darat.
Tantangan
Di balik manfaatnnya yang besar, ternyata tidak mudah untuk mempertahankan keberadaan bank sampah untuk tetap beroperasi. Sejumlah bank sampah tutup karena kurangnya SDM penggerak karena bank sampah biasanya dikelola oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi, sangat bergantung pada komitmen tiap-tiap pengurus organisasi. Apabila hanya segelintir pengurus yang benar-benar berkomitmen tanpa dukungan yang besar dari anggota lainnya, operasionalisasi bank sampah akan rentan terhenti.
Selain itu, tidak jarang juga bank sampah mengalami kesulitan karena besarnya biaya pengeluaran. Berdasarkan penelitian di Semarang yang dijabarkan dalam situs theconversation.com, bank sampah membutuhkan 400 rumah tangga sebagai anggota aktif dengan estimasi produksi sampah per orang 0,6 kilogram agar dapat menutup biaya pengeluaran bank sampah. Itu pun dengan tingkat daur ulang 20 persen dan rata-rata harga limbah daur ulang senilai seribu rupiah per kilogram.
Baca juga: Peran Bank Sampah Diaktifkan Kembali
Belum lagi bank sampah seringkali kesulitan untuk mencari penampung dan pembeli atau offtaker dari sampah-sampah yang telah terkumpul. Hal ini karena belum semua bank sampah terhubung dengan pengepul atau pembeli sampah yang mau membeli dengan harga yang pasti.
Sebenarnya, sampah-sampah itu bisa diolah sendiri oleh bank sampah menjadi barang yang bernilai jual lagi. Hanya saja, produk-produk itu susah diserap pasar karena harga jualnya dirasa terlalu tinggi.
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah lebih lanjut juga menambah tantangan bank sampah dalam menjaga keberlangsungannya. Untuk beroperasi secara lancar, bank sampah membutuhkan nasabah dengan jumlah banyak agar dapat memenuhi standar minimum sampah yang terkumpul. Namun, seringkali bank sampah kesulitan untuk memperoleh setoran sampah karena masih sedikit warga yang memilah dan mengumpulkan sampahnya. Tak jarang pihak bank sampah sendirilah yang biasanya melakukan jemput bola ke masyarakat untuk mengumpulkan sampah-sampah yang masih dapat dimanfaatkan.
Banyaknya tantangan tersebut menunjukkan bahwa bank sampah tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan pemerintah dan lembaga lain. Mulai dari hulu pengumpulan sampah hingga hilir pengolahan sampah membutuhkan sistem dan alur sistematis yang memerlukan dukungan fasilitas dari pemerintah. Pendampingan untuk membantu manajemen dan operasionalisasi bank sampah juga sangat dibutuhkan agar bank sampah dapat beroperasi dengan efektif dan efisien. Warga masyarakat pun juga sangat berperan besar mendukung keberlangsungan kegiatan bank sampah ini. Kesadaran untuk memilah dan memilih sampah sangat diharapkan guna mendukung kegiatan pengumpulan sampah di organisasi bank sampah di sekitar hunian masyarakat. (LITBANG KOMPAS)