Nasib Buruh yang Terpinggirkan Sepanjang Sejarah Perkebunan
Sejak zaman kolonial hingga setelah Indonesia merdeka, hasil perkebunan senantiasa menjanjikan nilai ekonomi tinggi. Namun, di balik itu, posisi buruh perkebunan senantiasa terpinggirkan dan rawan ditindas.
Awalnya adalah rempah-rempah, kemudian hasil perkebunan lainnya. Demikianlah ungkapan yang kurang lebih menggambarkan sejarah terpikatnya bangsa Eropa, terutama Belanda, terhadap kekayaan alam yang dimiliki kepulauan di Nusantara.
Rempah-rempah di Jawa, Makassar, dan Maluku diincar Belanda yang kemudian memonopoli perdagangannya karena komoditas itu memiliki nilai ekonomi tinggi.
Menjelang akhir abad ke-18, Belanda mengalihkan perhatian kepada tanaman lain yang tidak tergolong barang mewah, seperti kopi, tebu, dan tembakau. Hasil perkebunan lainnya, seperti kina, teh, dan kelapa sawit, juga menarik perhatian Belanda seabad kemudian. Langkah Belanda ini diambil di tengah kekalahan persaingan dagang dengan Inggris.
Namun, di balik strategi ini, keuntungan maksimal Belanda baru diraup setelah memperkerjakan buruh dengan upah rendah dan juga lahan yang berharga murah.
Secara sistemik, Belanda mengubah strategi pengelolaan dan penguasaan tanaman dagang. Relasi pemerintah kolonial dengan rakyat, yang awalnya berbasis perdagangan dan memosisikan rakyat sebagai produsen, berubah menjadi pengelolaan bermodel korporasi.
Baca juga: Perbaiki Sistem Buruh Perkebunan
Pekerja kuli kontrak
Pada 1888, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan terkait sistem kontrak antara majikan dan pekerja. Pekerja kuli kontrak disebut dengan istilah koeli ordonantie.
Sebagaimana ditulis oleh Daliman dalam buku Sejarah Indonesia Abad IX sampai Awal Abad XX, istilah ini secara formal dimaksudkan untuk melindungi hak dari kedua belah pihak.
Ada jaminan-jaminan tertentu yang diberikan kepada majikan ketika pekerja melarikan diri sebelum kontraknya habis. Dari sisi pekerja, ada perlindungan yang diberikan dari tindakan sewenang-wenang majikan.
Dalam soal hukuman yang diberikan secara khusus terhadap pekerja, ada penerapan poenalie sanctie. Hukuman keras ini diberikan kepada buruh yang tak bersedia bekerja atau melarikan diri dari tempat kerja. Akhirnya, aturan cenderung lebih merugikan, bahkan menindas pekerja.
Bagi buruh yang melarikan diri, mereka harus berurusan dengan polisi. Nama-nama pekerja yang melarikan diri ditulis dalam pamflet berstatus sebagai daftar pencarian orang (DPO) dan disebarluaskan.
Apabila tertangkap, mereka akan dikembalikan ke tempat kerjanya. Mirisnya, hukuman yang diterima adalah perpanjangan masa kerja melebihi kontrak tanpa diberi upah.
Terdapat cara lain yang dilakukan oleh majikan untuk mengikat pekerja. Majikan memberi kesempatan bagi pekerja untuk bermain judi saat menerima upah. Akibatnya, tak jarang pekerja yang kehilangan uang dalam judi terpaksa berutang. Dalam kondisi memiliki utang, pekerja mau tak mau harus menandatangani kontrak kerja yang baru.
Baca juga: Asa Mengubah Nasib Buruh Perkebunan
Kemerdekaan
Harapan baru terhadap pekerja perkebunan membuncah saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945. Salah satu dampak dari proklamasi kemerdekaan adalah penguasaan perkebunan yang dimiliki oleh Belanda menjadi milik Indonesia. Proses ini disebut nasionalisasi.
Tiga hal yang melatarbelakangi nasionalisasi ialah kemenangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar tahun 1949; deklarasi ekonomi kemandirian bangsa tahun 1957; dan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Pada era ini perkebunan rakyat dikelola oleh para pekebun, bahkan relatif tanpa bantuan pemerintah.
Namun, situasi kembali cenderung merugikan pekerja kebun dengan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang melihat sektor itu paling berpotensi menghasilkan devisa.
Salah satu dampak dari kebijakan ini adalah penggabungan Perkebunan Besar Negara dengan Perkebunan Rakyat. Bahkan, pemilik modal swasta dimungkinkan untuk mendirikan Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Berkaca dari data Buku Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2023, dalam lebih kurang sepuluh tahun terakhir, perkebunan besar swasta menjadi penyumbang terbesar produksi kelapa sawit.
Pada 2023 diperkirakan pekebunan besar swasta mampu menghasilkan 29,51 juta ton kelapa sawi, perkebunan rakyat sekitar 16,27 juta ton, sementara perkebunan besar negara 2,45 juta ton.
Tak pelak, dalam pola yang mengedepankan prinsip keuntungan ekonomi, produksi menjadi sisi yang sebisa mungkin ditekan biayanya. Salah satu yang bisa ditekan ialah upah pekerja. Indikasi problematika persoalan upah buruh adalah ketidakjelasan data upah buruh perkebunan, terutama buruh harian lepas (BHL).
Baca juga: Sertifikasi dan Serikat Buruh Membawa Dampak pada Kesejahteraan
Upah buruh
Salah satu penghitungan yang bisa dilakukan ialah melihat data Badan Pusat Statistik tahun 2022 tentang perkembangan upah pekerja atau buruh. Pendekatan yang bisa dilakukan bertumpu pada nominal upah harian buruh tani.
Pada Juli 2022, tercatat upah buruh tani harian di Indonesia Rp 58.445. Upah riilnya adalah Rp 51.172. Jika angka ini dikalikan dengan 25 hari kerja, dalam sebulan buruh tani mendapatkan upah rata-rata Rp 1,3 juta hingga Rp 1,4 juta saja.
Selain upah yang sangat minim, permasalahan pelik yang mesti dihadapi buruh kebun, yakni sistem kontrak yang tidak terang. Salah satu studi yang dilakukan oleh Prakarsa berlokasi di perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah menunjukkan adanya problem ini. Buruh tak mendapat salinan kontrak kerja dan hanya membaca serta menandatangani surat kontrak di awal.
Maka, hak dan kewajiban buruh menjadi wilayah abu-abu setelah mereka mulai bekerja. Buruh borongan juga diiming-imingi mendapat tempat tinggal layak, tetapi studi ini menemukan ada situasi yang berkebalikan.
Belum lagi ketika tidak betah bekerja, opsi mutlak yang diberikan adalah PHK. Selain itu, pada praktik di lapangan, buruh bekerja dengan sistem target sehingga kerap kali bekerja dengan durasi melebihi jam kerja normal.
Dalam situasi yang termarjinalkan, beberapa pihak kemudian mengambil peran untuk menyuarakan hak buruh. Namun, masih dari studi yang sama, kerap kali terjadi kriminalisasi terhadap pegiat HAM yang berupaya mengadvokasi buruh perkebunan.
Apabila pegiat tersebut berasal dari buruh perkebunan, langkah yang dilakukan adalah memutasinya dan memberi beban kerja lebih berat agar tak merasa betah untuk terus bekerja.
Kondisi perih yang dihadapi pekerja perkebunan tampak berbanding terbalik, bagaikan langit dan bumi, jika dibandingkan nilai ekonomi komoditas kelapa sawit. Pada 2021, jumlah total nilai ekspor minyak kelapa sawit (CPO) mencapai 26,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 388,1 triliun.
Dengan demikian, dalam konteks makro, tampak pekerja perkebunan menjadi lapisan terbawah dari roda ekonomi yang berputar dalam perkebunan di Indonesia.
Dalam rentetan sejarah panjang perkebunan, buruh makin teralienasi atau terasingkan dari komoditas hasil dari perkebunan tempat ia bekerja. Sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan dan rezim demi rezim berganti, posisi buruh perkebunan masih tetap marjinal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Nasib Buruh Kebun Diabaikan, tetapi Suara Diperebutkan