Sertifikasi dan Serikat Buruh Membawa Dampak pada Kesejahteraan
Di tengah tekanan yang dihadapi buruh sawit, sejumlah buruh mulai mendapat kesejahteraan lebih baik. Hak pekerja semakin terpenuhi terutama di kebun yang mendapat sertifikasi dan terdapat serikat buruh yang berkembang.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Di tengah banyaknya tekanan yang dihadapi buruh perkebunan sawit, sejumlah buruh mulai mendapat kesejahteraan yang lebih baik terutama di kebun-kebun yang mendapat sertifikasi RSPO dan terdapat serikat buruh yang berkembang. Pengawasan tetap perlu dilakukan untuk memastikan buruh mendapat haknya.
Lebih dari dua pekan Adi Sunarto (30) tidak bekerja karena mengalami kecelakaan kerja di perusahaan perkebunan sawit di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Kamis (27/7/2023). Kaki buruh panen itu masih dalam masa penyembuhan karena terluka akibat terkena kampak sewaktu memotong tangkai tandan buah segar (TBS) sawit.
”Karena dokter belum memberikan surat keterangan sehat, saya masih istirahat kerja. Namun, gaji saya masih tetap jalan,” kata Adi.
Adi adalah salah satu buruh yang mendapat peningkatan hak pekerja setelah perkebunan sawit tempat dia bekerja mendapat sertifikasi RSPO Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Meskipun belakangan sertifikat RSPO itu dicabut dari perusahaan tersebut, peningkatan hak pekerja masih dialami karyawannya.
RSPO adalah sertifikasi yang menerapkan standar global yang berkelanjutan dalam pengelolaan perkebunan sawit, antara lain dalam hal lingkungan hidup dan ketenagakerjaan. Sebelum mendapat sertifikasi RSPO, kebun sawit di Bahorok itu mengangkat semua pekerja harian lepas (PHL) menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap.
”Sebelumnya saya sudah beberapa tahun menjadi PHL. Saya lalu diangkat menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (karyawan kontrak). Tiga bulan kemudian lalu diangkat lagi menjadi karyawan tetap,” kata Adi.
Saat menjadi PHL, Adi hanya mendapat upah Rp 121.500 per hari dan maksimal bekerja 20 hari. Jika bekerja penuh selama 20 hari, dia mendapat Rp 2.430.000. Adi hanya mendapat gaji pokok tanpa tunjangan apa pun. Dia tidak mendapat jaminan kesehatan atau cuti sakit. Jika tidak bekerja, gajinya dipotong.
”Seandainya saya sakit sewaktu masih PHL, saya tidak dapat gaji kalau sakit,” kata Adi.
Dengan berstatus sebagai karyawan tetap, Adi kini mendapat gaji pokok Rp 3.037.000, sedikit di atas upah minimum Kabupaten Langkat. Adi beserta anak dan istrinya juga mendapat tunjangan iuran BPJS Kesehatan, tunjangan beras, jaminan hari tua, dan lainnya. Selain itu, dia juga mendapat premi (upah tambahan) jika mendapat panen melebihi target. Dalam sebulan, preminya berkisar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tergantung hasil kerja.
RSPO mensyaratkan upah layak yang memenuhi standar hukum dan industri, tidak ada kerja paksa, perdagangan orang, dan diskriminasi.
Adi menyebut, hak-hak pekerja juga mereka dapat setelah bergabung dengan Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo). Para buruh diedukasi untuk mencatat semua hasil kerjanya agar ada perbandingan saat pembayaran premi. Setiap hari Adi mencatat berapa banyak tandan buah segar yang dipanen dan berondolan yang dikutip.
Mereka ditargetkan memanen 50 TBS per hari. Jika hasil panen melebihi target, akan dihitung sebagai premi sebesar Rp 500 per TBS. Setelah melakukan pencatatan setiap hari, Adi beberapa kali banding hasil premi dan mendapat hasil yang lebih banyak.
Membaik
Sekretaris Jenderal Serbundo Lorent Aritonang mengatakan, kondisi ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi RSPO jauh lebih baik dibanding perusahaan non-RSPO. ”Perbaikan terutama terjadi karena banyak buruh yang diangkat statusnya dari PHL atau pekerja kontrak menjadi karyawan tetap,” kata Lorent.
RSPO mensyaratkan upah layak yang memenuhi standar hukum dan industri, tidak ada kerja paksa, perdagangan orang, dan diskriminasi. Di kebun sawit juga tidak ada eksploitasi atau mempekerjakan anak, tidak ada pelecehan, serta penyalahgunaan tempat kerja. RSPO juga mewajibkan perusahaan mengakui hak berserikat, dan hak berunding antara pekerja dengan perusahaan.
Lorent menyebut, RSPO juga hanya mengizinkan PHL dan pekerja kontrak di pekerjaan sementara, bukan di lini produksi. Pekerjaan yang sifatnya sudah tetap seperti perawatan, pemanen, hingga pemuatan harus dikerjakan oleh pekerja tetap. Selama ini, banyak PHL yang dipekerjakan di lini produksi utama itu.
Meski demikian, kata Lorent, pengawasan terhadap perusahaan yang telah mendapat sertifikasi RSPO juga harus tetap dilakukan. Mereka pernah melaporkan satu perusahaan di Langkat karena tidak memenuhi standar ketenagakerjaan seperti masih ditemukannya PHL dan minimnya alat pelindung diri. Sertifikasi RSPO perusahaan itu akhirnya dicabut.