Penurunan stok minyak nabati dunia membawa angin segar bagi minyak kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia. Kondisi itu membuat permintaan dan harga CPO meningkat. Kini, Indonesia hanya perlu memastikan ketersediaan suplai.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO pada semester II tahun 2023 diproyeksikan naik hingga 3.800-4.200 ringgit Malaysia. Hal itu dipicu oleh meningkatnya permintaan CPO akibat menurunnya stok dan produksi minyak nabati lainnya. Di sisi lain, kemampuan Indonesia untuk menyuplai CPO berpotensi terganggu.
Merujuk data Refinitiv, perusahaan penyedia data pasar finansial dan infrastruktur global, harga CPO hanya bergerak dalam kisaran 3.000-4.000 ringgit Malaysia (RM) per ton sejak Juli 2022. Nilai CPO belum pernah menyentuh di atas 4.000 RM per ton hingga saat hingga saat ini.
Director Asean Plantation Research UOB Kay Hian, Leow Huey Chuen, mengatakan, harga CPO akan berangsur-angsur pulih. Hal ini berdampak positif bagi dua negara produsen CPO terbesar di dunia yakni Indonesia dan Malaysia.
”Perdagangan CPO pada semester II tahun 2023 diprediksi terjadi pada harga 3.800-4.200 RM per ton,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan UOB dan South Pole, di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Mengutip data UOB Kay Hian, produksi CPO Indonesia diperkirakan sebesar 47,2 juta ton dan Malaysia sebesar 18.5 juta ton pada 2023. Total produksi kedua negara itu setara dengan 81,6 persen produksi CPO dunia pada 2023, yakni 80,5 juta ton. Pada saat bersamaan, permintaan CPO dunia diperkirakan mencapai 78,5 juta ton pada 2023, meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 75,3 juta ton.
Kenaikan permintaan CPO disebabkan kestabilan harganya yang kian kompetitif dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti kanola, kedelai, dan bunga matahari. Di sisi lain, penurunan hingga 50 persen stok minyak nabati di China diperkirakan akan memantik impor CPO. Hal yang sama juga dapat dilakukan India mengingat pertumbuhan industri pengolahan CPO yang kian gencar.
Kekeringan berkepanjangan dapat berdampak jangka panjang, misalnya, 4-6 bulan, 10-12 bulan, hingga 20-24 bulan. Bagi tanaman sawit, produktivitas dapat turun 2-23 persen, sedangkan produksinya bisa turun hingga 30 persen.
Sementara itu, pulihnya harga minyak kanola di Eropa yang kini lebih tinggi ketimbang CPO membuka peluang permintaan baru. ”Kendati begitu, tingkat konsumsi produk olahan CPO di Eropa terus menurun. Tren itu diperkirakan terus berlanjut,” ucap Leow.
Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA) telah mengumumkan kedatangan anomali iklim El Nino. Menurut Leow, kondisi tersebut bisa memicu kekeringan selama 8-20 minggu.
Kekeringan berkepanjangan dapat berdampak jangka panjang, misalnya 4-6 bulan, 10-12 bulan, hingga 20-24 bulan. Bagi tanaman sawit, produktivitas dapat turun 2-23 persen, sedangkan produksinya bisa turun hingga 30 persen.
”Berdasarkan pengalaman, fenomena El Nino kerap membuat turunnya angka produksi tanaman sawit. Bagi Indonesia, hal ini bisa berdampak serius,” katanya.
Tiga tahun belakangan, Indonesia mengalami musim kemarau basah. Disrupsi cuaca yang akan terjadi otomatis berdampak negatif bagi tanaman sawit. Hal ini diperparah oleh kondisi pemupukan tanaman yang tak bisa dilakukan ketika suhu udara sedang panas.
Menurut Presiden Direktur PT Bank UOB Indonesia Hendra Gunawan, ekonomi negara-negara di Asia Tenggara cukup rentan terdampak perubahan iklim. Padahal, perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahannya berperan besar dalam ekonomi.
Kontribusi sawit dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia berkisar 9-17 persen. Keuntungan ekspor produk sawit Indonesia sekitar 29,63 miliar dollar AS atau Rp 446,6 triliun per tahun. Jumlah itu setara dengan 10,2 persen nilai ekspor Indonesia.
”Lebih jauh lagi, sebanyak 3 juta lapangan pekerjaan berhasil diciptakan dari kelapa sawit. Artinya, sawit tergolong vital bagi perekonomian nasional,” kata Hendra.
Oleh karena itu, ketahanan rantai pasok sawit perlu diwujudkan. Upaya yang bisa dilakukan di antaranya menurunkan emisi karbon pada industri sawit.
Executive Director PT Bank UOB Indonesia Susanto Lukman berpandangan, bisnis sawit di Indonesia sangat baik dari segi harga, produksi, dan pasar. Potensi gangguan pada lini produksi harus disikapi dengan baik, khususnya pada lahan sawit pada wilayah yang rawan titik panas.
Director of Sustainability Musim Mas Group Olivier Tichit mengatakan, tantangan global dari segi ekonomi hingga lingkungan memaksa perkebunan dan industri kelapa sawit berubah. ”Perubahan ini harus dilakukan dari sektor hulu, tengah, hingga hilir rantai produksi sawit,” ujarnya.