Ramalan Penurunan Harga Komoditas dan Potensi Stagnasi Ekspor RI
Bank Dunia memperkirakan harga komoditas global tahun ini akan turun dengan laju tercepat sejak pandemi Covid-19. Sementara LPEM FEB UI meramal ekspor Indonesia ke depan bisa stagnan.

Tongkang bermuatan batubara melintasi Jembatan Ampera di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (26/3/2023). Bank Dunia memperkirakan harga rata-rata batubara dunia pada 2023 turun 42 persen secara tahunan menjadi 200 dollar AS per ton.
Bank Dunia memperkirakan harga komoditas global tahun ini akan turun dengan laju tercepat sejak pandemi Covid-19. Hal itu berpotensi mengaburkan prospek pertumbuhan negara berkembang yang bergantung pada ekspor komoditas.
Di sisi lain, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) meramal, ekspor Indonesia ke depan bisa stagnan. Hal itu dapat terjadi jika Indonesia tidak segera membenahi sejumlah sektor penopang ekspor.
Dalam laporan Prospek Pasar Komoditas Edisi April 2023 yang dirilis 27 April 2023, Bank Dunia menyebutkan, setelah naik 45 persen pada 2022, indeks harga komoditas diperkirakan turun 21 persen pada 2023 dan tetap stabil pada 2024. Penurunan indeks itu sudah terjadi selama enam bulan terakhir.
Indeks harga komoditas nonenergi, termasuk pangan, diperkirakan turun sekitar 10 persen pada 2023 dan 3 persen 2024. Begitu juga indeks harga komoditas energi bakal turun 26 persen pada 2023 meskipun pada 2024 akan naik tipis 0,1 persen.
Harga rata-rata minyak mentah Brent pada 2023 diperkirakan 84 dollar AS per barel, turun 16 persen dari rata-rata tahun 2022. Harga gas alam di Eropa akan anjlok sebesar 53 persen. Adapun harga batubara juga diperkirakan turun 42 persen pada 2023 dan 23 persen pada 2024.
Lonjakan permintaan batubara dari China kemungkinan akan diimbangi penurunan permintaan dari sejumlah negara lain yang kembali menggunakan gas alam. Ekspor dari negara produsen utama, khususnya Australia dan Indonesia, diperkirakan akan meningkat.
”Penurunan harga komoditas global akan sedikit melegakan konsumen di negara-negara importir. Namun, penurunan harga tersebut diperkirakan tidak banyak membantu hampir 350 juta orang di seluruh dunia yang menghadapi kerawanan pangan,” kata Kepala Ekonom dan juga Wakil Presiden Senior untuk Ekonomi Pembangunan Bank Dunia Indermit Gill melalui siaran pers.
Penurunan harga komoditas global akan sedikit melegakan konsumen di negara-negara importir. Namun, penurunan harga tersebut diperkirakan tidak banyak membantu hampir 350 juta orang di seluruh dunia yang menghadapi kerawanan pangan.
Baca juga: Krisis Biaya Hidup Merupakan Risiko Terbesar Dunia

Dalam laporan Prospek Pasar Komoditas Edisi April 2023 yang dirilis pada 27 April 2023, Bank Dunia memperkirakan mayoritas harga komoditas dunia turun pada 2023.
Gill menjelaskan, meskipun diperkirakan akan turun 8 persen pada 2023, harga pangan tetap akan berada di level tertinggi kedua sejak 1975. Hal itu terindikasi dari inflasi tahunan harga pangan global pada Februari 2023 yang mencapai 20 persen, tertinggi selama dua tahun terakhir.
Selain itu, harga pupuk memang diproyeksikan turun 37 persen pada 2023 seiring dengan penurunan harga batubara dan gas alam. Namun, harga pupuk itu tetap mendekati level harga tertinggi saat terjadi krisis pangan pada 2008-2009. Kondisi tersebut tetap akan menambah biaya produksi pangan di negara-negara produsen pangan.
”Pemerintah di setiap negara harus menghindari pembatasan perdagangan, mengendalikan harga, dan warga miskin juga tetap perlu dilindungi dengan berbagai program jaring pengaman sosial,” kata Gill.
Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia dan juga Direktur Prospects Group Ayhan Kose menambahkan, penurunan harga komoditas selama setahun terakhir telah membantu mengurangi inflasi utama global. Namun, pemerintah dan bank sentral di setiap negara tetap perlu mewaspadai sejumlah faktor.
”Pasokan minyak dunia bisa lebih lemah dari perkiraan. Ketegangan geopolitik juga bisa semakin intens. Di sisi lain, kondisi cuaca yang tidak menguntungkan dapat mendorong harga pangan kembali naik, sehingga inflasi bisa lebih tinggi,” katanya.
Baca juga: La Nina Meluruh, tapi El Nino Berpeluang Terjadi Tahun Ini

Buruh tani memanen padi di lahan sawah yang terendam banjir di kawasan Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (4/1/2023). Agar tidak terendam air, padi yang telah dipotong diletakkan di dalam terpal yang telah dibentuk menyerupai perahu.
Kinerja ekspor
Kenaikan harga komoditas global yang naik secara bertahap pada 2020 membuat kinerja perdagangan RI, khususnya ekspor, tumbuh positif. Namun, di sisi lain, kenaikan harga itu juga membuat RI keteteran karena harus menanggung beban biaya impor yang lebih tinggi untuk sejumlah komoditas.
Waktu itu, beberapa komoditas ekspor andalan RI yang harganya terkerek naik adalah batubara, minyak kelapa sawit mentah, serta besi dan baja. Adapun komoditas impor RI yang harganya naik antara lain pupuk, kedelai, dan gandum.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia memperkirakan, pada 2023 harga rata-rata CPO global mencapai 980 per dollar AS, turun 23,2 persen secara tahunan; batubara 200 dollar AS per ton (turun 42 persen); besi dan baja 115 dollar AS per ton (turun 5,2 persen). Begitu juga harga kedelai diperkirakan turun 16,6 persen menjadi 590 per dollar AS per ton, pupuk urea 325 dollar AS per ton (turun 53,6 persen), dan gandum 270 dollar AS per ton (turun 12,6 persen).
Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI menilai, kinerja ekspor Indonesia bakal turun seiring penurunan harga komoditas global. Agar tetap dapat menjadi mesin pendorong pertumbuhan jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu membenahi sejumlah hal.
Baca juga: Antisipasi Pasar Utama ”Melempem”, Kejar Perluasan Pasar Ekspor Nontradisional

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (17/8/2023).
Peneliti Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI, Calista Endrina Dewi, Minggu (30/4/2023), mengatakan, pada Maret 2023, neraca perdagangan RI masih surplus senilai 2,91 miliar dollar AS. Capaian itu membuat RI mengalami surplus neraca perdagangan selama 35 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Pada tahun lalu, ekspor RI bahkan tumbuh 26,07 persen dengan surplus neraca perdagangan sebesar 54,46 miliar dollar AS. Pertumbuhan ekspor RI itu lebih tinggi dari nilai perdagangan global yang tumbuh 12 persen.
”Kinerja positif ekspor dan neraca perdagangan selama 2022, bahkan selama 35 bulan terakhir merupakan salah satu modalitas untuk menopang pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Namun, ketika harga komoditas global mulai turun, kinerja ekspor RI juga akan ikut turun,” katanya.
Baca juga: Kinerja Ekspor Indonesia Turun Enam Bulan Berturut-turut
Dalam Seri Analisis Ekonomi Trade and Industry Brief Edisi April 2023, Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI menunjukkan sejumlah catatan yang perlu diperbaiki dari kinerja perdagangan pada 2022 dan periode 2018-2022. Hal itu, antara lain, berujung pada perlunya diversifikasi komoditas ekspor dan mitra dagang utama, serta modernisasi industri manufaktur.
Calista menjelaskan, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap ekspor pada 2022 turun drastis, sedangkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan turun tipis. Namun, di sisi lain, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian justru naik drastis.
Kontribusi industri manufaktur terhadap ekspor pada 2022 sebesar 70,67 pesen, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 76,49 persen. Begitu juga kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang turun dari 1,83 persen pada 2021 menjadi 1,61 persen pada 2022. Adapun kontribusi sektor pertambangan dan penggalian naik dari 16,38 persen pada 2021 menjadi 22,23 persen pada 2022.
”Hal ini menunjukkan perlunya mendorong hilirisasi di berbagai sektor penopang ekspor. Selain itu, diperlukan upaya yang lebih serius dan konsisten dalam peningkatan kompleksitas ekonomi melalui modernisasi industri manufaktur nasional,” kata Calista.


Potensi stagnasi ekspor
Dalam lima tahun terakhir (2018-2022), kata Calista, terjadi peningkatan konsentrasi komoditas ekspor yang bergantian menyumbang kinerja ekspor RI. Kelima komoditas itu adalah bahan bakar mineral, minyak nabati/hewani, besi dan baja, peralatan elektronik dan bagiannya, serta kendaraan bermotor dan bagiannya.
”Hal itu bagus, tetapi jika situasi itu terus berlanjut ke depan dapat membuat ekonomi RI menjadi stagnan. Oleh karena itu, diversifikasi produk ekspor perlu dilakukan,” ujarnya.
Dalam lima tahun terakhir (2018-2022), terjadi peningkatan konsentrasi komoditas ekspor yang bergantian menyumbang kinerja ekspor RI. Hal itu bagus, tetapi jika situasi itu terus berlanjut ke depan dapat membuat ekonomi RI menjadi stagnan.
Dalam laporan analisis tersebut, LPEM FEB UI juga menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor atau mitra dagang utama. Selama lima tahun terakhir, pasar ekspor utama RI terkonsentrasi di enam negara, yakni China, Amerika Serikat, Jepang, India, Singapura, dan Malaysia. Kontribusi keenam negara tersebut terhadap ekspor Indonesia meningkat dari 50,9 persen pada 2018 menjadi 54,1 persen pada 2022.
LPEM UI menilai, konsentrasi pasar ekspor yang tinggi dapat meningkatkan risiko keberlanjutan ekspor Indonesia terhadap guncangan ekonomi keenam negara tersebut. Perkembangan ini juga menunjukkan belum optimalnya utilisasi berbagai perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang dimiliki Indonesia.
Baca juga: Harga CPO Tertekan Uni Eropa dan India
