Nasib Buruh Kebun Diabaikan, tetapi Suara Diperebutkan
Buruh kebun sawit kerap menjadi sasaran politisi untuk meraup suara, baik untuk politik lokal maupun nasional. Situasi ini ironis karena nasib mereka kerap diabaikan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Buruh kebun sawit kerap menjadi sasaran politisi untuk meraup suara, baik untuk politik lokal maupun nasional. Kondisi perkebunan yang tertutup membuat buruh sulit mengeksplorasi pilihan politik mereka. Situasi ini ironis. Sebab, di saat nasib mereka kerap diabaikan, suara mereka dalam kontestasi politik diperebutkan.
Perebutan suara dalam politik itu nyata dalam pengalaman HRM (50), buruh sawit asal Nusa Tenggara Timur di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sudah 20 tahun lebih bekerja di perkebunan sawit. Ia sudah empat kali mengikuti pemilihan umum, mulai dari pemilihan presiden hingga anggota legislatif.
Sudah begitu banyak politisi ataupun tim sukses yang datang ke mes karyawan untuk ”membeli” suara mereka dalam pemilu. Saat Pemilihan Anggota Legislatif 2019, ia ingat betul ada seorang caleg yang datang tanpa sosialisasi dan hanya membagikan uang dan stiker lalu pergi dari kebunnya. Belum sampai seminggu, caleg lainnya datang ke kebun. Tanpa memaparkan gagasan, apalagi sosialisasi pemilihan, sang caleg hanya mengungkapkan strategi memilih dirinya dan tentu membagikan uang.
”Mereka hanya datang dan bilang nanti ada bus yang jemput kami di mes untuk bawa ke tempat pemilihan,” kata HRM saat ditemui di mesnya, Senin (24/7/2023).
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, banyak tim sukses datang ke mes mereka. Semua memberikan uang, dari Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Beberapa di antara mereka tidak hanya memberikan uang, tetapi juga satu plastik berisi beras, mi instan, dan ikan kaleng. ”Kami datang ke TPS (tempat pemungutan suara), tetapi ya kami pilih sesuka kami. Mereka juga enggak tahu. Namun, kami juga sebenarnya enggak ada yang kenal dengan para calon ini,” ungkap HRM.
Menurut HRM, mungkin mobilisasi massa seperti di perkebunan sawit menjadi salah satu alasan dirinya diminta untuk mengganti kartu tanda penduduk yang sebelumnya berasal dari NTT menjadi domisili setempat. Walakin, di beberapa pemilu dirinya dan buruh lainnya hanya dibekali surat keterangan domisili, tetapi tetap bisa menggunakan hak suara di TPS.
Sekretaris Serikat Pekerja Kelapa Sawit Indonesia (Sepasi) Kalteng Dianto Arifin mengatakan, mobilisasi buruh kebun kelapa sawit di Kalteng untuk pemilu sudah lama dilakukan, bahkan oleh oknum-oknum perusahaan yang bekerja sama dengan partai politik. Mereka tidak punya banyak pilihan karena sebagian besar bukan berasal dari tempat wilayah bekerja. ”Terkadang TPS-nya ada di dalam kebun sawit, kadang buruhnya yang dibawa keluar,” ujar Dianto.
Dianto menambahkan, para politisi selalu memanfaatkan banyaknya pekerja untuk meraup suara. Sayangnya, nasib buruh jarang diperjuangkan saat mereka sudah terpilih. ”Justru undang-undang yang ada saat ini tidak berpihak kepada buruh kebun seperti kami,” ungkapnya.
Lindungi buruh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu agar melindungi hak pilih para buruh sawit. Mereka juga memantau di kantong-kantong buruh perkebunan sawit untuk mengetahui permasalahan riil di lokasi tersebut.
Mobilisasi buruh kebun kelapa sawit di Kalteng untuk pemilu sudah lama dilakukan, bahkan oleh oknum-oknum perusahaan yang bekerja sama dengan partai politik. Mereka tidak punya banyak pilihan karena sebagian besar bukan berasal dari tempat wilayah bekerja. (Dianto Arifin)
Anggota Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, saat ditemui, Selasa (25/7/2023), mengatakan, permasalahan yang ditemui saat Komnas HAM memantau di tiga wilayah Sumatera Utara, Banten, dan Kalimantan Barat adalah lokasi perkebunan tertutup aksesnya dari publik. Lokasi perkebunan yang begitu luas dengan akses tertutup itu membuat pemilu di lokasi tersebut rawan dimanipulasi, dimobilisasi, hingga bentuk penyelewengan lainnya.
Semasa Pramono menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum, di wilayah kantong-kantong perkebunan seperti di Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara, dan Rokan Hulu, Riau, kerap terjadi persoalan. Akibatnya, hasil pemilu di lokasi itu sering digugat ke Mahkamah Konstitusi sehingga terjadi pemungutan suara ulang. ”Lokasi perkebunan itu luas dengan jumlah pemilih besar. Dengan demikian, memang repot sekali bagi KPU untuk memastikan hak warga, terutama yang belum pindah domisili, agar tetap terlindungi hak pilihnya,” ujarnya.
Para buruh perkebunan ini sebagian besar berasal dari daerah lain. Jika belum memiliki KTP sesuai lokasi domisili, mereka harus mengurus administrasi persyaratan untuk bisa menggunakan hak pilih. Namun, biasanya sulit bagi mereka untuk izin cuti mengurus pindah domisili itu sehingga hal itu tidak menjadi prioritas.
Secara terpisah, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU menyiapkan TPS lokasi khusus di lokasi perkebunan sawit. Tujuannya untuk mendekati pemilih supaya pemilih mudah menyalurkan haknya. KPU kabupaten dan kota diminta menghubungi perkebunan untuk memudahkan identifikasi nomor induk kependudukan (NIK) pekerjanya.
Agar hak buruh kebun sawit terjaga, Hasyim meminta buruh dan perusahaan aktif berkomunikasi dengan KPU di kabupaten atau kota. Perusahaan harus memiliki pola pikir untuk menjaga hak konstitusional para pekerjanya.