Buruh kebun menghadapi problem upah rendah, eksploitasi perempuan dan anak, serta minimnya pemenuhan hak pekerja. Mereka terjebak lingkaran kemiskinan. Beban kerja berat, tetapi harus mencari pekerjaan sampingan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Di tengah kemajuan industri sawit nasional, buruh kebun sawit masih menghadapi upah rendah, eksploitasi perempuan dan anak, serta minimnya pemenuhan hak pekerja. Mereka turun-temurun terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Di tengah beban kerja yang besar, mereka harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kompas memotret kondisi buruh di salah satu perusahaan perkebunan sawit di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Selasa-Kamis (25-27/7/2023). Sejumlah buruh perkebunan menceritakan apa yang mereka alami, tetapi identitasnya disamarkan untuk melindungi mereka di perkebunan itu.
Andri (39), buruh panen sawit, sudah bangun pukul 05.30. Ia pergi ke kantor perkebunan untuk mengikuti apel pagi bersama buruh dan staf perkebunan. Mereka lalu mendapat pengarahan dari manajemen tentang sawit bagian mana yang harus dipanen hari itu.
Setelah apel, Andri kembali ke rumah untuk sarapan dan menyiapkan alat kerja. Ia membawa egrek (alat pemanen buah sawit), kampak, gancu, gerobak sorong, dan alat pengumpul berondolan. Setelah memakai helm dan sepatu bot, Andri beserta istri dan anaknya yang berusia lima tahun pergi ke kebun pukul 07.00.
Sesampainya di kebun, Andri mengangkat egrek sepanjang 15 meter lalu memanen tandan buah segar (TBS) sawit. Istrinya mengutip berondolan yang rontok dari TBS. ”Dalam sehari, saya diberikan basis borong (target) memanen 50 TBS. Jika bisa memanen lebih, akan dihitung sebagai premi (upah tambahan),” kata Andri yang sudah berstatus karyawan tetap itu.
Sistem pengupahan di perkebunan itu menjadi salah satu yang dikeluhkan buruh perkebunan sawit di Sumut dan daerah lain. Sistem itu diterapkan hampir di semua perkebunan. Di Langkat, buruh kebun dibayar sesuai upah minimum Kabupaten, yakni Rp 3.037.000 per bulan. Jika dihitung per hari, kata Andri, mereka mendapat upah Rp 121.500.
Dengan basis borong 50 TBS per hari, upah panen yang mereka terima Rp 2.430 per TBS. Buruh berharap bisa mendapat premi sebesar upah basis borong itu atau lebih karena itu setara lembur. Kenyataannya, buruh kebun hanya mendapat premi Rp 500 per TBS.
”Perusahaan juga memaksa kami memanen sawit dengan upah premi, tentu agar biaya panen perusahaan bisa ditekan,” kata Andri.
Meskipun target mereka hanya 50 TBS per hari, buruh di perkebunan diharuskan memanen 100 TBS. Sebanyak 50 TBS sisanya dihitung sebagai premi dengan upah hanya Rp 25.000. Beberapa buruh bercerita pernah mendapat surat peringatan karena tidak memenuhi panen 100 TBS.
Dengan memanen dua kali dari target hari kerja pun, Andri hanya mendapat premi sekitar Rp 1 juta per bulan. Dia bekerja dari pukul 06.00 sampai pukul 13.00. Buruh panen menjadi bagian terbanyak di kebun sawit. Selain memanen TBS, mereka juga harus memangkas pelepah dan mencacahnya. Mereka juga melangsir TBS dari tempat panen ke tempat pengumpulan hasil.
Hal serupa dialami oleh buruh pemuat. Satu truk pemuat dilengkapi seorang sopir dan dua buruh pemuat. Mereka akan berkeliling kebun untuk memuat TBS dari sejumlah tempat pemungutan hasil.
Jumadi (28), buruh pemuat di perkebunan sawit di Bahorok, menyebut, dua buruh pemuat mendapat basis borong 16 ton per hari. Namun, mereka diharuskan memuat paling tidak 24 ton, 8 ton dihitung sebagai premi senilai Rp 6.000 per ton. Premi itu juga masih harus dibagi dua orang.
Jika dihitung berdasarkan upah harian Rp 121.500 dengan target 8 ton per orang, upah muat per ton seharusnya Rp 15.180. Namun, premi untuk memuat 1 ton TBS hanya Rp 6.000. ”Sewaktu panen puncak, kami biasa bekerja sampai tengah malam dan memuat hingga 40 ton,” kata Jumadi yang berstatus karyawan kontrak.
Sebagai buruh pemuat buah sawit, badan pegal atau terkilir sudah menjadi ”makanan” sehari-hari mereka. Stamina mereka juga sering turun tiba-tiba jika sudah memuat berton-ton TBS. Namun, jika mereka izin pulang, harus rela gajinya dipotong Rp 150.000.
Dalam sebulan, Jumadi dan pemuat lainnya mendapat upah Rp 3.037.000 ditambah premi sekitar Rp 500.000. Mereka juga mendapat tambahan susu kental manis dan telur meskipun tidak secara berkala. Sebagai karyawan kontrak, Jumadi hanya mendapat tunjangan iuran BPJS Kesehatan untuk dirinya, tidak termasuk untuk istri dan anaknya.
Menurut para pekerja di perkebunan sawit, pendapatan mereka tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, mereka juga mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di kebun rakyat sepulang kerja dari perusahaan.
”Saat pulang kerja, kondisi kami sudah sangat kelelahan. Namun, paling tidak dua kali seminggu saya bekerja memanen sawit rakyat dari sore sampai malam untuk mendapat penghasilan tambahan,” kata Jumadi.
Jika memuat sawit rakyat, Jumadi mendapat upah Rp 25.000 per ton. Uang itu dia gunakan untuk membeli tambahan asupan makanan berupa telur setengah matang dan susu agar kuat bekerja. ”Setiap hari, saya makan beberapa butir telur dan minum susu. Kalau tidak, badan pasti drop,” ujar Jumadi.
Evaluasi
Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan (Serbundo) Herwin Nasution mengatakan, apa yang dialami buruh di Sumut dialami juga hampir di semua perkebunan di Indonesia, baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun Papua. ”Perkebunan di daerah lain mengadopsi sistem ketenagakerjaan dari Sumut, termasuk sistem pengupahan,” kata Herwin.
Herwin menyebut, ekspansi kebun sawit perlu dihentikan untuk mengevaluasi banyak hal, terutama sistem ketenagakerjaan. Buruh merupakan bagian terbanyak di industri kebun sawit, tetapi mereka tidak sejahtera.
Pemerintah, kata Herwin, juga perlu mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan. Daerah juga didorong membentuk peraturan daerah untuk melindungi pekerjanya. Di kebun sawit juga masih banyak pekerja harian lepas, istri buruh ikut bekerja di kebun, dan hak-hak normatif tidak dipenuhi.