Perlu Segera Ekspor Sawit untuk Serap Panen Petani
Penghapusan sementara tarif pungutan ekspor CPO diharapkan menjadi momen bagi eksportir untuk segera melakukan kegiatan ekspor dan mengosongkan tangkinya. Dengan begitu, harga tandan buah segar bisa segera membaik.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penghapusan sementara tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya hingga akhir Agustus 2022 diharapkan menjadi momen bagi eksportir untuk segera melakukan kegiatannya. Kondisi ini penting guna tetap menjamin kesejahteraan petani sawit.
Analis Prasarana dan Sarana Pertanian Madya di Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Rudi Arpian, Selasa (19/7/2022), mengatakan, aktivitas ekspor mesti segera berjalan agar tangki minyak sawit mentah (CPO) bisa dikosongkan dan diisi kembali. Periode Juli-Desember diperkirakan menjadi puncak produksi kelapa sawit.
Sebelum penghapusan ekspor ini diterbitkan pada 15 Juli 2022, tangki-tangki di 86 pabrik kelapa sawit di Sumsel sudah terisi hingga 80 persen. ”Jangan sampai, akibat tangki penuh, tandan buah segar atau TBS petani tidak bisa terserap,” ucapnya.
Menurut Rudi, apabila tangki telah kosong, pabrik kelapa sawit pun bisa langsung menyerap TBS milik petani. Dengan begitu, kata dia, harga TBS berpotensi membaik.
”Kondisi ini potensial memberi perbaikan ekonomi bagi 224.549 kepala keluarga petani sawit di Sumsel,” kata Rudi. Dia memperkirakan, ada waktu 1,5 bulan bagi eksportir untuk segera melakukan ekspor.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumsel Alex Sugiarto mengatakan, kebijakan penghapusan pungutan ekspor perlu dibarengi relaksasi perizinannya. Saat ini, meski persetujuan ekspor sudah dikeluarkan sejak Juni, realisasinya masih rendah.
Salah satu masalahnya adalah negosiasi ulang kontrak jual-beli yang sempat dihentikan. Hal ini berdampak pada terbatasnya ketersediaan kapal dan termasuk proses pengapalan. Butuh waktu sekitar dua bulan untuk memulihkan kembali kontrak, termasuk kerja sama pengapalan.
Apabila aturan itu tidak dibenahi, ia khawatir ekspor yang tersendat bakal membuat harga CPO dalam negeri tertekan. Akibatnya, banyak pabrik kelapa sawit kesulitan menjual CPO atau ditawar dengan harga yang rendah yang bisa berimbas pada pengurangan pembelian TBS.
”Kapasitas tangki timbun masih bisa bertahan hingga tiga minggu ke depan,” ucapnya.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumsel M Yunus menuturkan, pabrik dan eksportir harus lebih terbuka kepada petani. ”Larangan ekspor sudah dicabut sejak Juni, tetapi mengapa ekspor masih tersendat? Hal ini harus dijelaskan kepada petani,” ujarnya.
Menurut dia, kejanggalan sudah terlihat saat harga CPO menyentuh Rp 8.000 per kilogram, tetapi TBS di tingkat petani masih Rp 1.100 per kg. ”Idealnya, harga TBS Rp 1.700 per kg,” ucapnya. Belum selesainya kontrak selalu menjadi alasan pabrik untuk menekan harga TBS tetap rendah.
Ke depan, perbaikan harga TBS sangat dinantikan. Yunus mengatakan, biaya produksi merawat kebun bertambah tinggi karena kenaikan harga pupuk dan herbisida. ”Semoga perbaikan harga TBS bisa terasa dalam beberapa hari ke depan dengan nilai minimal sekitar Rp 2.000 per kg,” ucapnya.