Perlindungan bagi buruh perkebunan dari sisi regulasi perlu segera direalisasikan. Regulasi yang berpihak pada hak-hak buruh menjadi inti untuk mengurai akar persoalan yang membelenggu kondisi buruh perkebunan.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Cerita nasib buruh perkebunan yang memprihatinkan, terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan yang turun-temurun, menjadi perhatian publik. Cerita itu tidak hanya dilihat ataupun didengar dari tayangan televisi serta diketahui dari informasi di berbagai media cetak atau daring, tetapi juga diakui masyarakat di sekitar perkebunan.
Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas medio Juli 2023. Hampir seperempat responden menyatakan mengikuti atau mengetahui berita tentang buruh perkebunan yang tinggal di sekitar perkebunan.
Separuh lebih (52,6 persen) dari 510 responden di 34 provinsi menyatakan, nasib buruh perkebunan dalam kondisi tidak baik-baik saja. Bahkan, 7 persen di antaranya menyebut sangat tidak baik. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan performa sektor perkebunan nasional yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat.
Pada tahun 2018, sektor tanaman perkebunan memberikan kontribusi Rp 489,2 triliun atau 3,30 persen PDB atas harga berlaku. Pada 2021, kontribusinya naik mencapai Rp 668,4 triliun atau 3,94 persen.
Kelapa sawit, salah satu komoditas perkebunan, menjadi andalan pendapatan negara karena berkontribusi besar untuk pengembangan perekonomian nasional. Industri sawit mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 persen dari total PDB. Sawit juga berkontribusi terhadap perolehan devisa negara rata-rata 13,5 persen dari ekspor nonmigas setiap tahun.
Mengutip siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 7th Indonesian Palm Oil Stakeholders Forum, 20 Oktober 2022, Indonesia dapat menyumbangkan 52 persen minyak sawit terhadap pangsa pasar dunia serta menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia. Dengan kondisi ini, industri kelapa sawit begitu strategis bagi pembangunan dan peningkatan perekonomian Indonesia.
Dengan luas 16,38 juta hektar, perkebunan kelapa sawit nasional terus berkembang signifikan dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 17 juta kepala keluarga, petani, dan karyawan yang bekerja di sektor on farm dan off farm.
Belenggu masalah
Meskipun demikian, narasi capaian gemilang tersebut tak dirasakan oleh sebagian dari jutaan buruh yang berpeluh di balik lebatnya pohon sawit. Lokasi kegiatan usaha yang terisolasi dan jauh dari infrastruktur layanan dasar membuat buruh perkebunan rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak-hak pekerja. Hal ini juga jamak terjadi pada buruh perkebunan lain, seperti perkebunan karet.
Pendapat publik yang terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas menyebut, sistem pengupahan menjadi masalah paling krusial yang dihadapi para buruh. Sebanyak 44,3 persen responden menyuarakan problem yang sangat mendasar untuk hidup layak ini.
Masalah kesejahteraan lain terkait dengan status buruh dipandang seperlima responden sebagai isu krusial kedua yang harus diperhatikan. Ketidakjelasan batas waktu status sebagai pekerja perkebunan buruh harian lepas berimbas pada upah murah. Kondisi ini membelenggu kehidupan buruh dalam jerat kemiskinan.
Masalah keselamatan dan keamanan kerja juga menjadi sorotan 11 persen responden. Hal ini terkait dengan masalah target dan jam kerja yang terkadang melebihi aturan serta ketiadaan jaminan kesehatan.
Regulasi yang digunakan selama ini, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang tidak cocok diterapkan untuk buruh/pekerja di sektor perkebunan dengan segala problematikanya. Banyak permasalahan terkait dengan buruh yang tak terselesaikan karena terkendala aturan yang belum menjawab persoalan.
Hampir 8 persen responden menyebut dua masalah tersebut sebagai bentuk eksploitasi dan pelanggaran yang harus dibenahi, terutama menyangkut perempuan buruh. Selain itu, masalah pendidikan anak-anak yang tinggal di perkebunan serta perumahan layak huni juga tidak luput dari perhatian publik. Sementara itu, 6 persen publik memandang masalah regulasi menjadi isu krusial yang sekarang dihadapi buruh perkebunan.
Regulasi khusus
Regulasi yang digunakan selama ini, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang tidak cocok diterapkan untuk buruh/pekerja di sektor perkebunan dengan segala problematikanya. Banyak permasalahan terkait dengan buruh yang tak terselesaikan karena terkendala aturan yang belum menjawab persoalan.
Dorongan bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang khusus mengatur buruh perkebunan terlihat dari hasil jajak pendapat. Seperempat responden memandang hal ini merupakan upaya yang paling penting dilakukan pemerintah untuk memperbaiki nasib buruh perkebunan.
Regulasi yang jelas mengatur status buruh, sistem kerja, pengupahan, jaminan kesehatan, termasuk perlindungan bagi perempuan buruh hingga kebebasan berserikat memberikan kepastian bagi buruh untuk mendapatkan hak-hak sesuai peraturan. Dengan demikian, diharapkan hal itu berimplikasi pada perbaikan kesejahteraan buruh.
Regulasi yang mengatur pemenuhan hak-hak buruh perkebunan akan mengurai persoalan yang selama ini membelenggu. Publik juga menekankan agar pemerintah mempertegas penegakan hukum apabila ada perusahaan perkebunan melanggar aturan.
Angin segar bagi perjuangan buruh untuk mengubah nasib tampak dari disusunnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit oleh Koalisi Buruh Sawit (KBS) yang beranggotakan 12 serikat buruh dan 10 organisasi masyarakat sipil. RUU yang menyuarakan nasib buruh ini sudah dibahas sejak 2019 dan akan memperkuat perlindungan pada buruh dari sisi regulasi.
Dukungan pemerintah sangat diharapkan agar RUU ini segera terealisasi. Apalagi, 55 persen publik menilai pemerintah telah berupaya memperhatikan nasib dan melindungi buruh perkebunan, tetapi belum optimal. Jika RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit terealisasi, keberpihakan pemerintah pada nasib buruh semakin optimal.
Dukungan publik pada pemerintah juga terlihat dari keyakinan bahwa pemerintah dapat mengatasi dan memperbaiki nasib buruh perkebunan. Mayoritas publik (67 persen) yakin dan sangat yakin pemerintah bisa mewujudkan asa para buruh perkebunan untuk mengubah nasib menjadi lebih sejahtera.