Satgas BLBI hanya memiliki waktu kurang dari enam bulan untuk menyelesaikan tugasnya mengembalikan hak negara. Namun, aset eks BLBI yang bisa diamankan saat ini masih kurang dari 50 persen dari target.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Masa tugas Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) kian mendekati batas akhir. Satgas BLBI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 pada 4 Juni 2021. Inti dari tugas Satgas BLBI yang merupakan koordinasi lima kementerian ditambah dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI ini adalah mengeksekusi aset dari kasus BLBI yang nilainya mencapai Rp 110,45 triliun selama 2,5 tahun hingga 31 Desember 2023.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, nilai aset eks BLBI kurang lebih sekitar Rp 110,45 triliun. Aset itu terdiri atas aset kredit eks BPPN/PPA dan piutang Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 101,8 triliun dan aset properti senilai Rp 8,06 triliun.
Selanjutnya ada aset surat berharga senilai Rp 489,4 miliar, aset saham senilai Rp 77,9 miliar, aset inventaris senilai Rp 8,47 miliar, dan aset nostro senilai Rp 5,2 miliar. Dalam upaya pengembalian hak negara, aset eks BLBI berupa aset kredit dikelola dengan mekanisme penjualan melalui lelang dan luar lelang, restrukturisasi aset kredit, dan penjualan hak tagih.
Sementara terhadap aset properti dilakukan dengan mekanisme Penetapan Status Penggunaan (PSP) di berbagai kementerian/lembaga, hibah, penyertaan modal negara, penjualan baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang. Selain itu, juga melalui serah terima kelola kepada Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), penyerahan kepada Bank Tanah, dan pemanfaatan.
Selama ini, upaya yang telah dilakukan Satgas BLBI terhadap aset kasus BLBI berupa aset properti di antaranya adalah pemblokiran aset obligor/debitur, penyitaan barang jaminan atau harta kekayaan lain obligor/debitur, serta penjualan melalui lelang aset jaminan/harta kekayaan lain.
Terhadap obligor/debitur, Satgas BLBI melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) melakukan pencegahan bepergian ke luar negeri. Juga pembatasan hak-hak keperdataan, seperti melakukan pemblokiran perseroan terbatas atau saham.
Hingga 30 Mei 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan Satgas BLBI telah berhasil mengamankan aset dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan jumlah aset seluas 3.980,62 hektar dan estimasi nilai sebesar Rp 30,659 triliun.
Pengembalian hak negara dari kasus BLBI ini secara rinci adalah dalam bentuk PNBP ke kas negara sebesar Rp 1,11 triliun, serta penyitaan dan penyerahan barang jaminan atau harta kekayaan lain sebesar Rp 14,77 triliun.
Dari penguasaan fisik aset properti sebesar Rp 9,28 triliun, penyerahan aset kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebesar Rp 3,01 triliun, serta Penyertaan Modal Negara (PMN) nontunai sebesar Rp 2,49 triliun.
Sejumlah aset berupa tanah atau bangunan milik obligor/debitur yang berhasil disita Satgas BLBI, antara lain, milik Kaharudin Ongko (eks Bank Umum Nasional), Agus Anwar (eks Bank Pelita Istismarat), Trijono Gondokusumo (eks Bank Putra Surya Perkasa), Samsul Nursalim (eks Bank Dewa Rutji), serta dari Grup Texmaco.
Namun, jumlah yang dihimpun satgas belum mencapai 50 persen dari target yang ingin dikejar pemerintah. Menkeu mengharapkan Satgas BLBI terus bekerja menagih seluruh utang hingga setidaknya mencapai target 50 persen sebelum berakhirnya masa tugas pada Desember 2023.
Salah satu kendala sulitnya penghimpunan dana BLBI ini adalah belum lakunya aset berukuran jumbo dilelang. Hal ini disebabkan oleh faktor, antara lain, lokasi atau nilai aset. Kendala juga terjadi karena Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset.
Jika Indonesia memiliki UU Perampasan Aset, aset dari kasus BLBI dapat dirampas, termasuk terhadap kasus yang penyidikannya dihentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, pemerintah juga dapat merampas aset obligor/debitur yang berada di luar negeri.
Sebagaimana diketahui, KPK pernah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara BLBI pada 31 Maret 2021. SP3 tersebut diberikan kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya, Itjih Nursalim.
KPK beralasan dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. KPK telah menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih sebagai tersangka yang merugikan negara Rp 4,58 triliun ini pada 2019.
Upaya untuk mengembalikan uang negara yang dikucurkan ke sektor perbankan seperempat abad yang lalu memang tidak mudah. Satgas BLBI dibentuk untuk melanjutkan tugas yang belum berhasil dituntaskan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BPPN bertugas selama lima tahun periode 1999-2004 untuk mengembalikan dana yang pernah dikucurkan untuk penyelamatan sektor perbankan yang terpuruk akibat krisis moneter tahun 1997. Tercatat total Rp 656,6 triliun yang dikeluarkan pemerintah untuk bantuan likuiditas lewat Bank Indonesia dan dana rekapitalisasi.
BPPN kala itu tidak berhasil mencapai target yang ditetapkan pemerintah untuk mengembalikan uang negara. Sampai berakhir masa tugas BPPN, tingkat pengembalian yang bisa diupayakan kurang dari 30 persen.
Dibandingkan dengan BPPN, waktu yang dimiliki Satgas BLBI memang lebih pendek, separuh dari masa tugas BPPN. Namun, tingkat pengembaliannya relatif lebih baik karena dengan waktu yang lebih singkat bisa mencapai target sekitar 30 persen, bahkan lebih, sampai dengan akhir tahun 2023 nanti.
Dengan pencapaian ini, untuk selanjutnya tidak tertutup kemungkinan perpanjangan masa tugas satgas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan masa tugas Satgas BLBI bisa diperpanjang untuk menuntaskan pengejaran aset eks BLBI. Hal ini melihat kerja satgas yang efektif dan koordinasi internal yang berjalan baik. (LITBANG KOMPAS)