Optimalkan Pengembalian Aset, Pemerintah Akan Perpanjang Masa Tugas Satgas BLBI
Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pemerintah akan perpanjang masa tugas Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI. Perpanjangan disambut positif karena aset yang diburu baru mencapai 27,75 persen.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan memperpanjang masa tugas Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI. Perpanjangan masa tugas itu untuk menentukan posisi hukum pemerintah dan memaksimalkan upaya pengembalian hak negara yang saat ini baru mencapai 27,75 persen dari total aset piutang yang harus ditagih, yaitu senilai total Rp 110,45 triliun.
Hal itu disampaikan Mahfud saat ditanya wartawan seusai rapat kerja kinerja Satgas BLBI dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (11/7/2023). Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), saat ini pemerintah telah berhasil mengembalikan 27,75 persen aset obligor atau senilai Rp 30,65 triliun. Hingga akhir tahun atau berakhirnya masa tugas Satgas BLBI, pemerintah menargetkan bisa menyita 50 persen aset dari kasus berusia 24 tahun itu.
Hingga 30 Mei 2023, pengembalian hak negara dari kasus BLBI dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ke kas negara sebesar Rp 1,1 triliun, penyitaan dan penyerahan barang jaminan/harga kekayaan lain Rp 14,7 triliun, penguasaan fisik aset properti Rp 9,2 triliun, penyerahan aset kepada K/L dan pemerintah daerah Rp 3 triliun, dan penyerataan modal negara (PMN) nontunai Rp 2,4 triliun, (Kompas.id, 6 Juni 2023).
”Insya Allah akan diperpanjang (masa tugasnya) karena penting. Sekurang-kurangnya perpanjangan itu bukan untuk menagih lagi, melainkan untuk menentukan posisi hukum,” ungkapnya.
”Insya Allah akan diperpanjang (masa tugasnya) karena penting. Sekurang-kurangnya perpanjangan itu bukan untuk menagih lagi, melainkan untuk menentukan posisi hukum."
Saat rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) DPD tentang Satgas BLBI yang dihadiri oleh senator Bustami Zainudin, Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Evi, Mahfud menyampaikan pada kinerja satgas berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung dan juga pada laporan pansus DPR pada 16 September 2022. Berdasarkan itu, pemerintah membentuk Satgas BLBI melalui payung hukum Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021. Tugas utama satgas adalah menagih piutang negara terhadap obligor dan debitur BLBI senilai total Rp 110,45 triliun.
Satgas kini sudah berusia dua tahun. Menurut Mahfud, di masa itu, fase yang dimasuki sudah lebih kompleks karena masalah yang dihadapi adalah perbedaan hitungan antara data yang dimiliki pemerintah dengan klaim dari obligor yang mau membayar utang itu. Misalnya, data pemerintah menyebut obligor A memiliki utang Rp 5 triliun. Namun, mereka hanya mengakui Rp 4 triliun berdasarkan hitungan mereka sendiri.
”Ini juga menghambat karena kami kalau langsung setuju itu tidak boleh juga tapi kalau kami menunda terus dia tidak mau bayar ini sedang dicarikan jalan keluar."
”Ini juga menghambat karena kami kalau langsung setuju itu tidak boleh juga, tapi kalau kami menunda terus dia tidak mau bayar ini sedang dicarikan jalan keluar,” terangnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyebut ada obligor-obligor yang telah mengalihkan asetnya ketika masalah BLBI ini masih mengambang di perkara pidana atau perdata. Pada proses hukum itu, ternyata aset sudah berpindah ke orang lain, baik keluarganya sendiri maupun ke orang lain. Bahkan, para obligor juga sudah ada yang berpindah kewarganegaraan dan menetap ke luar negeri.
”Kami tahu ini tidak mudah. Oleh sebab itu, kami menyambut gembira jika DPD sekarang membuat pansus agar ini (hak tagih perdata piutang BLBI) tidak hilang. Karena DPD juga mencatat setiap tahun dari laporan keuangan BPK utang BLBI selalu tercatat setiap tahun. Sebelum ini lunas, akan jadi catatan dan beban bagi pemerintah untuk terus menagih,” jelasnya.
Fase kompleks
Lebih jauh Mahfud juga mengungkapkan, di sisa masa tugas selama kurang lebih lima bulan itu, Satgas BLBI telah masuk ke fase baru dengan kompleksitas masalah yang tidak mudah. Namun, pemerintah juga tidak kehabisan cara.
Pemerintah mulai memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara. Dengan beleid itu, obligor yang tidak patuh akan diberi sanksi dicabut paspornya, bahkan aksesnya untuk meminjam dana ke bank juga dibatasi. Langkah yang lebih ekstrem adalah rekeningnya akan dibekukan hingga bisnisnya dibatasi.
”Ini akan dikenakan secara bertahap sampai sekurang-kurangnya menjadi jelas siapa yang punya hutang berapa dan kapan harus membayar dengan apa. Itu yang tadi kami bicarakan dengan DPD. ”
”Ini akan dikenakan secara bertahap sampai sekurang-kurangnya menjadi jelas siapa yang punya hutang berapa dan kapan harus membayar dengan apa. Itu yang tadi kami bicarakan dengan DPD,” ujarnya.
Perpanjangan disambut positif
Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Monilet, berpandangan, langkah pemerintah untuk memperpanjang masa tugas Satgas BLBI adalah inisiatif positif karena memang aset yang ditagih jumlahnya masih kecil hingga 2,5 tahun terakhir ini. Dia menyadari bahwa untuk menagih semua aset BLBI yang merugikan negara hingga ratusan triliun memang kompleks. Karena itu, dibutuhkan keberlanjutan dan waktu yang cukup untuk menuntaskan itu.
”Memang pemulihan aset masih kecil karena baru 27,75 persen dari target. Waktu itu pemerintah bilang waktu tiga tahun cukup. Tapi, nyatanya di waktu yang sebentar itu aset yang ditagih juga belum optimal," katanya.
”Memang pemulihan aset masih kecil karena baru 27,75 persen dari target. Waktu itu pemerintah bilang waktu tiga tahun cukup. Tapi, nyatanya di waktu yang sebentar itu aset yang ditagih juga belum optimal"
Ia menilai jika memang masa tugas Satgas BLBI akan diperpanjang, harus ada target-target yang jelas dan terukur. Target dan capaian kinerja yang sudah dilakukan oleh pemerintah juga harus disampaikan kepada publik secara jelas dan transparan.
Menurut dia, strategi yang dilakukan pemerintah yaitu mulai memberlakukan sanksi tegas kepada obligor yang tidak patuh juga merupakan langkah yang tepat. Langkah tegas itu seolah mengirimkan sinyal kepada para obligor yang nakal.
Namun, dia juga mengingatkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kerja sama pertukaran data pajak untuk mengajar aset yang ada di luar negeri seperti di Singapura. Selain menegakkan hukum, pemerintah juga perlu berkolaborasi dengan negara lain untuk mengejar aset yang disimpan di luar negeri.
”Jika aset BLBI disimpan di luar negeri, ini memang menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah sudah punya kerja sama pertukaran data pajak itu misalnya dengan Singapura. Karena sifat perjanjian itu resiprokal perlu ada pendalaman negosiasi," imbuhnya.
Jika pemerintah ingin lebih optimal lagi dalam mengembalikan aset negara, lanjutnya, pembentuk UU juga perlu memikirkan langkah-langkah percepatan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset). Jika sampai regulasi itu bisa disahkan, tentu akan sangat banyak membantu dan memudahkan pemerintah untuk mengembalikan aset negara yang hilang. Selain itu, juga untuk menghukum para obligor nakal BLBI. (DEA)