Pemerintah Akan Lebih Agresif Kejar Aset Obligor BLBI
Pengejaran aset terus berjalan meskipun obligor sudah tidak lagi berdomisili di Indonesia. Pemerintah akan lebih agresif memonitor dan mengejar aset obligor yang ada di Indonesia, termasuk yang sudah dipindahtangankan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dari total piutang negara yang mencapai Rp 170,23 triliun, sumber terbanyak berasal dari aset para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Pemerintah bertekad lebih agresif lagi untuk menagih dan mengejar aset para obligor, terutama mereka yang sekarang berada di luar negeri dan sudah berganti kewarganegaraan.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencatat, total piutang negara per September 2022 sebesar Rp 170,23 triliun. Dari jumlah tersebut, piutang terbanyak sebesar Rp 110,45 triliun berasal dari piutang BLBI ke sejumlah obligor.
Sampai bulan lalu, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) telah menyita aset para obligor sebesar Rp 27,8 triliun atau sekitar 25 persen dari total piutang BLBI.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban, Jumat (14/10/2022) mengatakan, ada sejumlah obligor yang kini sudah berada di luar negeri dan berganti kewarganegaraan. Pemerintah sudah mengantongi data nama pengemplang tersebut, domisilinya, serta akan bekerja sama dengan otoritas setempat di tiap negara terkait.
Rionald memastikan, penagihan aset tetap berjalan meskipun obligor terkait sudah tidak lagi berdomilisi di Indonesia. “Meski mereka di luar negeri, kami akan lebih agresif lagi untuk memonitor dan mengejar aset-aset mereka yang ada di Indonesia, bahkan yang sudah dipindahtangankan sekalipun,” kata Rionald, yang juga Ketua Satgas BLBI, dalam acara Bincang Bareng DJKN secara virtual.
Rionald belum bersedia membuka jumlah dan data semua obligor yang teridentifikasi sudah “lari” dari Indonesia. Salah satu nama yang sudah dibuka adalah Trijono Gondokusumo, obligor PT Bank Putra Surya Perkasa (BPSP) yang sudah menjadi warga negara Singapura. Ia tercatat memiliki utang BLBI sebesar Rp 5,38 triliun, termasuk 10 persen biaya administrasi.
Pada 10 Oktober 2022 lalu, Satgas BLBI baru saja menyita dua aset Trijono yaitu sebidang tanah seluas 502 meter persegi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan tanah seluas 2.300 meter persegi di Cilandak, Jakarta Selatan. Sesuai mekanisme, aset-aset itu berikutnya akan dijual secara terbuka (lelang) atau dengan metode penyelesaian lainnya.
“Walau orang-orang itu sekarang sudah di luar negeri, tapi kepentingan bisnis mereka di Indonesia masih sangat besar. Harta kekayaan lainnya masih besar, seperti Trijono. Aset-aset ini yang kita segera amankan, karena mereka rawan untuk dipindahtangankan,” kata Rionald.
Meski mereka di luar negeri, kami akan lebih agresif lagi untuk memonitor dan mengejar aset-aset mereka yang ada di Indonesia, bahkan yang sudah dipindahtangankan sekalipun.
Tidak laku
Di sisi lain, pemerintah juga menghadapi kendala untuk menjual aset obligor BLBI lainnya yang sudah disita dan dilelang, tetapi tak kunjung laku. Misalnya, aset milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, yang sudah tiga kali dilelang dan diturunkan harganya, tetapi tidak ada yang membeli. Ada pula aset milik Grup Texmaco yang juga tak laku-laku.
Menurut Rionald, ada aset tertentu yang tidak mudah dijual lantaran valuasinya terlalu besar. Salah satu aset milik Tommy yang sepi peminat adalah tanah seluas lebih dari 120 hektar yang nilainya ditakar Rp 2,4 triliun. Proses lelang itu semakin sepi pembeli di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak pasti.
“Kita bisa saja mengusahakan agar aset-aset itu bisa segera dimanfaatkan, tapi kita juga harus memastikan langkahnya sesuai aturan. Karena memang tidak mudah melakukan asset disposal (pelepasan aset) sebesar Rp 2,4 triliun di masa-masa seperti ini,” tuturnya.
Dalam waktu enam bulan, aset-aset bersangkutan itu akan kembali dievaluasi penilaiannya, sehingga harganya bisa saja turun. “Saya tidak akan menyuruh penilai untuk melakukan revisi, tapi nanti kita lihat perkembangan yang ada. Karena secara natural, setelah enam bulan, seharusnya aset-aset itu dilakukan penilaian kembali,” kata Rionald.
Pemerintah juga menghadapi kendala untuk menjual aset obligor BLBI lainnya yang sudah disita dan dilelang, tetapi tak kunjung laku.
Meregulasi penilai
Sementara itu, untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan mendorong penerimaan negara, pemerintah sedang menggodok regulasi yang khusus mengatur tentang profesi penilai. Undang-Undang tersebut akan diusulkan untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan.
Direktur Penilaian DJKN Kemenkeu Arik Hariyono mengatakan, sampai saat ini, belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang profesi penilai. UU Penilai yang diusulkan Kemenkeu akan menjadi satu-satunya payung hukum mengenai penilai.
Harapannya, regulasi yang jelas dapat mengatur pembentukan pusat data transaksi properti, mendukung optimalisasi penerimaan negara, dan mencegah krisis ekonomi. “Kami akan meregulasi dari banyak sisi, ini tentunya terkait kepentingan negara dan masyarakat juga,” ujar Arik.
Menurutnya, penilai memiliki peran yang sangat strategis untuk menyajikan dan menilai aset secara wajar. Hasil analisa mereka akan menjadi acuan dalam kegiatan transaksi jual beli aset. “Nilai yang ditetapkan oleh penilai juga akan mendukung optimalisasi penerimaan negara, baik dari sektor perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak,” katanya.
Saat ini, total jumlah penilai di Indonesia mencapai 1.579 orang, yang terdiri dari 521 orang penilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, 276 orang penilai DJKN Kemenkeu, 26 orang penilai pemerintah daerah (pemda), dan 782 orang penilai publik (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia/MAPPI). Jumlah tersebut masih jauh dari ideal.
Arik mengatakan, RUU Penilai akan mengatur tentang standarisasi profesi penilai, yang ke depan dijadikan landasan untuk menambah jumlah penilai. “Dari studi banding dengan negara lain, idealnya jumlah penilai itu 1:40, tetapi di kita masih 1:200. Ini perlu ditambah terus,” katanya.
Ekonom Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dilihat dari potensi kontribusinya terhadap kas negara, rasio piutang dari obligor BLBI hanya sekitar 8 persen dari penerimaan negara yang diproyeksikan mencapai Rp 2.400 triliun pada tahun depan.
Namun, ia menilai, jika dikaitkan dengan konteks mendorong konsolidasi fiskal pada tahun 2023, kontribusi sekecil apapun akan sangat bermanfaat untuk mendongkrak penerimaan negara, termasuk dari piutang.
"Akan sangat bermanfaat jika penerimaan dari piutang ini bisa dialokasikan untuk pos-pos belanja yang membantu menopang daya beli masyarakat," katanya.
Terkait upaya pengejaran aset obligor yang sudah kabur ke luar negeri, Yusuf menilai momentum kerja sama pertukaran data atau Automatic Exchange of Information (AEOI) lintas negara yang sedang gencar didorong dapat dimanfaatkan untuk mengungkap data aset obligor yang berada di luar negeri. "Ini bisa menjadi pintu masuk pemerintah," ujarnya.