Selama 2021, Satgas BLBI menyita aset obligor dan debitor BLBI senilai Rp 15 triliun dari target Rp 110,45 triliun. Upaya ini dinilai perlu diikuti transparansi karena ada sejumlah aset yang telah diserahkan ke BPPN.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI memiliki waktu singkat, terbatas 2,5 tahun, untuk mengembalikan utang negara. Pada tahun 2022, Satgas BLBI mengaku akan lebih galak menagih utang debitor dan obligor. Namun, satgas juga diharapkan lebih transparan kepada publik terkait dengan informasi aset yang disita ataupun langkah hukum yang akan ditempuh jika mekanisme perdata tak mempan dilakukan.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim, Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Satgas BLBI. Pasca-penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Sjamsul dan Itjih Nursalim, pemerintah beralih fokus untuk menagih dan memburu aset-aset terkait kasus BLBI.
Dibentuk pada 6 April 2021, menurut Ketua Pengarah Satgas BLBI yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, satgas mulai aktif bekerja bulan Juli. Satgas yang terdiri atas delapan kementerian dan lembaga negara itu bekerja secara maraton. Mereka menyisir aset untuk memulihkan hak negara dari dana talangan BLBI itu. Mereka juga melakukan upaya hukum, baik di dalam maupun di luar negeri, terhadap para debitor dan obligor. Selain itu, satgas juga merekomendasikan kebijakan sebagai peta jalan penanganan dana BLBI.
”Setelah satgas terbentuk, kami bersepakat menagihnya tidak seperti dulu lagi. Ini sudah 22 tahun berlalu. Jangan sampai orang-orang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara tidak kuat menghadapi para debitor dan obligor karena dilobi atau dijanjikan sesuatu,” ujar Mahfud kepada Kompas, Kamis (23/12/2021).
Satgas BLBI telah menyita 1.312 hektar tanah serta membukukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 313,9 miliar. Jika ditaksir, aset tanah yang disita mencapai Rp 15 triliun-Rp 17 triliun. Taksiran itu disesuaikan dengan nilai jual obyek pajak di lokasi sitaan.
Jika dilihat dari rentang waktu pembentukan hingga saat ini, upaya yang dilakukan oleh satgas sudah cukup banyak. Dalam waktu sekitar enam bulan, mereka sudah bisa bekerja menagih utang dan menyita aset. Walakin, jika dibandingkan dengan target Rp 110,45 triliun, jumlahnya masih sangat jauh panggang dari api.
Tahun 2022, kami akan semakin galak. Semakin galak dari sisi politik juga karena yang kami tagih ini adalah big man. (Mahfud MD)
Namun, Mahfud mengatakan, dalam konteks komitmen mengembalikan keuangan negara, jumlah itu cukup lumayan. Jika diproses dengan tindak pidana korupsi, dia memperkirakan obligor atau debitor hanya akan dihukum 5-10 tahun dengan nilai denda uang pengganti maksimal miliaran rupiah. Namun, dengan mekanisme pengembalian utang negara ini, aset dan uang yang dikumpulkan sudah berjumlah triliunan rupiah.
”Tahun 2022, kami akan semakin galak. Semakin galak dari sisi politik juga karena yang kami tagih ini adalah big man,” tegas Mahfud.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2020, total aset eks BLBI yang dikejar senilai Rp 110,45 triliun. Aset kredit senilai Rp 101,8 triliun dari 22 obligor dan sejumlah debitor dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Adapun BPPN telah dibubarkan pada 2004.
Selain itu, juga ada aset properti senilai total Rp 8,06 triliun, aset surat berharga Rp 498,4 miliar, aset saham Rp 77,9 miliar, aset inventaris Rp 8,47 miliar, dan aset nostro atau valuta asing senilai Rp 5,2 miliar.
Untuk linimasa penagihan utang, tahun 2022 satgas masih akan fokus menangani hak tagih obligor, debitor, dan aset properti mereka. Tahun 2023, mereka baru akan melakukan exit strategy, yaitu pengenaan sanksi kepada obligor/debitor berupa black list atau daftar hitam yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berupa pembatasan kebebasan berbisnis dan memperoleh pembiayaan dari badan usaha milik negara.
Menurut Mahfud, dari sejumlah obligor dan debitor besar yang ditagih, sebagian besar mengakui utangnya. Namun, ada sejumlah debitor yang mengoreksi nilai utang berdasarkan versi mereka. Bagi pemerintah, yang terpenting adalah obligor mengakui utangnya. Setelah itu, utang baru akan dikejar untuk dilunasi.
Meski demikian, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, dari sejumlah obligor/debitor yang ditagih melalui pengumuman di media massa, tidak semuanya hadir memenuhi panggilan. Per September 2021, obligor Setiawan dan Hendrawan Harjono yang dipanggil dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham Bank Aspac, PT Era Persada, Ronny HR dari PT Timor Putra Nasional (TPN), dan Agus Anwar tidak hadir memenuhi panggilan satgas. Sejumlah debitor juga ada yang belum hadir, tetapi sudah melakukan komunikasi dengan satgas.
Mahfud menjelaskan, sejumlah obligor atau debitor memang ada yang menolak asetnya disita karena mengaku tak memiliki utang. Misalnya, Tommy Soeharto. Dia menolak mengakui utang BLBI. Namun, pemerintah memiliki dokumen yang kuat bahwa utang BLBI milik Tommy sudah dialihkan kepada pihak ketiga. Kemudian, perjanjian itu dibatalkan oleh pemerintah karena ada ketentuan bahwa utang tidak bisa dialihkan. Tommy kemudian menggugat ke pengadilan. Oleh pengadilan, putusan malah dikuatkan bahwa Tommy memiliki utang sekian rupiah dan harus segera dibayar.
”Karena bunyi putusannya seperti itu, kami berani sita aset tanahnya yang ada di Karawang, Jawa Barat,” terang Mahfud.
Setelah sejumlah asetnya disita, Tommy mengklaim akan mengajukan gugatan balik kepada pemerintah. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan terkait gugatan itu. Kuasa hukum Tommy, Victor Simanjuntak, saat dihubungi, Minggu (26/12/2021), mengatakan tidak punya kapasitas untuk menjawab hal itu.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, pemerintah harus benar-benar transparan kepada publik terkait aset yang disita di beberapa lokasi beberapa waktu lalu. Apakah itu benar-benar aset baru yang diburu atau sebenarnya aset yang sudah diserahkan oleh BPPN. Menurut dia, karena penanganan kasus BLBI sudah cukup lama, yaitu 22 tahun, sudah banyak aset jaminan yang dijual BPPN. Kemungkinan, pemulihan aset BLBI dari jaminan yang diserahkan obligor dan debitor itu bisa mencapai 25-35 persen.
”Satgas BLBI harus lebih terbuka, nilai yang mau diuber Rp 110 triliun ini dari mana saja? Apakah termasuk aset dan jaminan yang sebelumnya memang telah diserahkan kepada BPPN/PPA? Harus jelas apa aset-aset yang disita itu,” kata Anthony.
Pemerintah disarankan tidak hanya fokus pada itikad baik debitor atau obligor jika memang berkomitmen ingin mengembalikan keuangan negara. Satgas seharusnya menempuh langkah hukum berupa gugatan perdata di pengadilan.
Anthony juga menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada itikad baik debitor atau obligor jika memang berkomitmen ingin mengembalikan keuangan negara. Satgas seharusnya menempuh langkah hukum berupa gugatan perdata di pengadilan. Dengan putusan pengadilan, penyitaan aset yang dilakukan pemerintah akan lebih kuat dibandingkan dengan penyitaan secara administratif. Penyitaan administratif jika tidak dilakukan dengan cara yang cermat juga bisa menjadi tindakan kesewenang-wenangan.
”Kalau pemerintah selama ini hanya mengeksekusi aset yang sebenarnya dulu sudah dijaminkan, itu menyita dong. Tetapi, hanya eksekusi aset yang sudah diserahkan dulu kepada negara. Jelaskan secara transparan kepada publik, jangan sampai Satgas BLBI menjadi ajang pencitraan politik,” ujar Anthony.
Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, juga meragukan langkah yang ditempuh pemerintah melalui Satgas BLBI dengan memanggil obligor akan efektif. Penagihan dengan jalur perdata, menurut dia, sangat bergantung pada itikad baik para debitor dan obligor itu sendiri. Kedudukan hukum Satgas BLBI yang hanya dibentuk dengan payung hukum keppres tidak cukup kuat.
”Jika memang ingin serius dan berkomitmen untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dalam dana BLBI, RUU Perampasan Aset harus kunjung serius ditindaklanjuti oleh pembentuk UU. Segera sahkan RUU yang sudah dibahas sejak tahun 2008 dan selesai pada 2012,” kata Alvin.
Ia juga mempertanyakan apa mekanisme hukum yang akan ditempuh satgas apabila aset debitor tidak cukup untuk membayar utang BLBI. Satgas seharusnya lebih terbuka kepada publik terkait proses itu. Terutama jika ada debitor yang sulit ditagih, apakah satgas akan mengalihkan menjadi perkara pidana. Alvin berharap, dengan pengalihan ke ranah pidana, posisi pemerintah akan lebih kuat secara hukum sehingga aset negara bisa dieksekusi.