Satgas BLBI Telah Sita 1.312 Hektar Lahan dan Bukukan Rp 313,9 Miliar
Satgas BLBI terus berupaya mengembalikan harta milik negara melalui pemblokiran dan penyitaan. Satgas pun menyiapkan sanksi pidana jika terjadi penggelapan aset yang telah diserahkan kepada pemerintah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI telah menyita 1.312 hektar lahan serta membukukan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 313,9 miliar. Terakhir, Satgas BLBI menyita aset dari Grup Texmaco yang memiliki utang Rp 29 triliun dan 80,5 juta dollar AS.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam jumpa pers, Kamis (23/12/2021), memaparkan, pada penagihan tahap I, Satgas BLBI telah membukukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 313,9 miliar. Untuk penguasaan dalam bentuk aset fisik, Satgas BLBI telah menguasai 8.329.412,346 meter persegi lahan.
Terhadap aset-aset eks BLBI tersebut, Satgas BLBI melakukan penetapan status penggunaan (TSP) dan hibah kepada delapan kementerian/lembaga serta Pemerintah Kota Bogor berupa tanah seluas 443.970 meter persegi senilai Rp 1,14 triliun. Adapun dari penagihan tahap II, Satgas telah memperoleh aset jaminan dari salah satu obligor, yakni SS, berupa lahan yang berlokasi di Jakarta Barat dan Dompu, Nusa Tenggara Barat, seluas 100.848 meter persegi.
Kemudian, hari ini pula Satgas BLBI menyita aset jaminan dari Grup Texmaco berupa 587 bidang tanah yang berlokasi di lima daerah, yakni Subang, Sukabumi, Pekalongan, Batu, dan Kota Padang. Total lahan milik Grup Texmaco yang disita seluas 4.794.202 meter persegi.
”Itu penyitaan tadi pagi. Jadi, ini serentak di lima kota di empat provinsi. Dengan demikian, sampai hari ini, karena ada tambahan penyitaan baru seluas 4.794.202 meter persegi yang ini semuanya dari Grup Texmaco, keseluruhan yang sekarang sudah disita oleh negara adalah 13.123.614,346 meter persegi atau 1.312 hektar,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, Satgas BLBI akan terus berupaya mengembalikan harta milik negara tersebut melalui berbagai upaya hukum, seperti pemblokiran dan penyitaan. Satgas juga menyiapkan sanksi administratif dan keperdataan, termasuk pidana, jika di kemudian hari terjadi penggelapan dan pemalsuan terhadap berbagai aset yang sudah diserahkan kepada negara.
Saat bank-bank diberi kucuran dana (bailout) oleh pemerintah, hak tagih utang tersebut diambil alih pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, asal-muasal piutang terhadap Grup Texmaco tersebut adalah ketika grup itu meminjam uang ke beberapa bank milik pemerintah dan bank swasta sebelum krisis ekonomi terjadi pada 1997-1998. Saat itu, pinjaman Grup Texmaco sebesar Rp 8,058 triliun dan 1,24 juta dollar AS untuk divisi engineering, Rp 5,28 triliun dan 256.000 dollar AS untuk utang dari divisi tekstil, serta utang dalam bentuk mata uang lain, seperti franc dan yen.
Ketika terjadi krisis 1997-1998, utang tersebut macet. Saat bank-bank diberi kucuran dana (bailout) oleh pemerintah, hak tagih utang tersebut diambil alih pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam proses, saat itu Grup Texmaco setuju bahwa utang tersebut akan direstrukturisasi dan dialihkan ke dua perusahaan yang baru dibentuk, yakni PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana. Untuk kewajiban pembayaran yang dimiliki, Grup Texmaco menerbitkan exchangeable bond atau obligasi yang dapat dipertukarkan. Namun, dalam perkembangannya, Grup Texmaco gagal membayar kupon obligasi tersebut.
”Pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang telah dikonversi menjadi exchangeable bond tersebut,” kata Sri Mulyani.
Kemudian, pada 2005, pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya dan melalui Akta Kesanggupan Nomor 51 ia menyatakan kesanggupannya untuk membayar utang sebesar Rp 29 triliun ditambah tunggakan surat kredit (L/C) yang sudah diterbitkan pemerintah untuk mendukung perusahaan tekstil Grup Texmaco sebesar 80,5 juta dollar AS dan Rp 69,9 miliar. Di dalam akta tersebut, pemilik Grup Texmaco juga menyatakan tidak akan mengajukan gugatan kepada pemerintah.
Namun, lanjut Sri Mulyani, pemilik Grup Texmaco sekali lagi tidak memenuhi apa yang tertuang di dalam Akta Kesanggupan No 51 tersebut. Bahkan, perusahaan yang berkewajiban membayar utang sebesar Rp 29 triliun justru dijual oleh Texmaco. Pemilik Grup Texmaco melalui beberapa publikasi mengatakan hanya memiliki utang Rp 8 triliun. Padahal, utangnya adalah Rp 29 triliun dan 80,5 juta dollar AS.
”Pada hari ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset ini sesudah lebih dari 20 tahun memberikan ruang dan waktu, kesempatan, dan bahkan mendukung dengan memberikan L/C, jaminan, dan bahkan jaminannya itu terambil. Penyitaan aset yang dilakukan hari ini hanya sedikit saja pemulihan dari jumlah utang Rp 29 triliun plus 80,5 juta dollar AS,” ujar Sri Mulyani.
Penyitaan aset yang dilakukan hari ini hanya sedikit saja pemulihan dari jumlah utang Rp 29 triliun plus 80,5 juta dollar AS. (Sri Mulyani Indrawati)
Terkait penyitaan lahan Grup Texmaco tersebut, ada lahan yang di dalamnya terdapat sekolah tinggi teknik dan sekolah kejuruan yang didirikan Grup Texmaco. Sri Mulyani memastikan proses belajar-mengajar di sekolah tersebut tetap berjalan seperti biasa, tetapi asetnya telah diambil alih negara.