Satgas BLBI akan memprioritaskan perampasan aset terhadap 46 obligor dan debitor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 di antaranya berada di dalam negeri, sedangkan 11 lainnya diketahui berada di luar negeri.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih kesulitan melacak dan mendeteksi aset obligor dan debitor penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 91,29 triliun. Karena itu, sinergi antara Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI dan otoritas terkait terus diperkuat.
Sejak pembentukan Satuan Tugas (Satgas) BLBI pada April 2021 hingga akhir Maret 2022, Kementerian Keuangan mencatat jumlah aset dari obligor dan debitor BLBI yang telah disita pemerintah baru mencapai Rp 19,16 triliun atau 17 persen dari target. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, total nilai aset BLBI mencapai Rp 110,45 triliun.
Nilai aset tersebut terdiri atas aset kredit eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan piutang Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 101,8 triliun, aset properti senilai Rp 8,06 triliun, dan aset surat berharga senilai Rp 489,4 miliar. Selain itu, terdapat juga aset saham senilai Rp 77,9 miliar, aset inventaris senilai Rp 8,47 miliar, dan aset nostro senilai Rp 5,2 miliar.
Aset dari obligor dan debitor BLBI yang telah disita pemerintah baru mencapai Rp 19,16 triliun. Padahal, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, nilai aset BLBI mencapai Rp 110,45 triliun.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Purnama T Sianturi mengatakan, masih terbatasnya cakupan sitaan aset disebabkan oleh sulitnya pemerintah mengakses para obligor dan debitor yang tidak kooperatif dan berupaya lari dari tanggung jawab.
”Beberapa obligor dan debitor yang berada di dalam negeri saja masih banyak yang belum diketahui keberadaannya,” ujarnya, Selasa (26/4/2022).
Ia menambahkan, pemerintah bersama dengan otoritas terkait telah berkomitmen untuk terus bersinergi dalam upaya mencari dan mendeteksi lokasi para obligor dan debitor yang hingga saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Satgas akan terus memikirkan strategi, termasuk dengan melakukan pengepungan di segala penjuru, baik dari segi hukum, perpajakan, kerjasama internasional, seperti melakukan gugatan keperdataan aset baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
”Selain itu, untuk mengejar aset di luar negeri, Satgas juga akan memaksimalkan mutual legal assistant (perjanjian timbal balik) dan perjanjian ekstradisi yang masih jarang dilakukan,” kata Purnama.
Saat ini, lanjut Purnama, Satgas BLBI akan memprioritaskan perampasan aset terhadap 46 obligor dan debitor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 di antaranya berada di dalam negeri, sedangkan 11 lainnya diketahui berada di luar negeri. Dari ke-46 obligor dan debitor tersebut, baru sebanyak 25 obligor dan debitor yang telah melalui proses pemanggilan, pemblokiran, atau penyitaan aset.
Dari jumlah sitaan senilai Rp 19,16 triliun, bentuk uang tunai yang disetorkan ke kas negara mencapai Rp 371,29 miliar. Selain uang tunai, hasil aset sitaan juga berupa barang jaminan atau harta kekayaan lain yang mencapai Rp 12,25 triliun.
Sementara itu, aset sitaan berupa aset properti tercatat mencapai Rp 5,38 triliun dengan luas tanah sebesar 19,12 juta meter persegi. Adapun aset yang disita Satgas dalam bentuk penetapan status penggunaan untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah mencapai Rp 1,14 triliun.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI pada 6 April 2021. Pemerintah memberikan waktu penugasan Satgas BLBI sampai 31 Desember 2023.
Melihat waktu yang semakin sempit, Ketua Panitia Khusus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Bustami Zainudin, memprediksi Satgas BLBI akan kesulitan untuk memenuhi target penagihan utang BLBI yang nilainya mencapai Rp 110,45 triliun.
”Hambatan utamanya karena masih ada beberapa aset BLBI yang berada di luar negeri. Kesulitan tersebut lantaran pandangan hukum Indonesia dan luar negeri yang berbeda,” ujar Bustami.
Ia menilai, Satgas BLBI tidak bisa bekerja sendiri untuk mengejar aset obligor. Menurut dia, diperlukan kerja sama antarlembaga dalam memburu aset para obligor pengemplang BLBI.
”KPK, Kejaksaan, Reskrim Polri, bahkan Pansus BLBI DPD siap membantu Satgas BLBI,” kata Bustami.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai hal yang penting dilakukan pemerintah dalam memenuhi target penyitaan aset BLBI yakni perlunya mengumpulkan data keuangan, termasuk laporan perpajakan para debitor maupun obligor.
Hal ini karena pergerakan atau perpindahan dana debitor dan obligor dapat dilacak melalui laporan pajak. Pemerintah pun bisa meminta bank untuk menyetorkan rekap transaksi para obligor hingga mencari data pelarian dana ke luar negeri lewat kerja sama dengan otoritas negara lain, salah satunya melalui Automatic Exchange of Information (AEOI).
”Pasca-BLBI memang dimulai tren aliran dana ke luar negeri untuk menghindari penyidikan hukum dan perpajakan. Itulah mengapa koordinasi dengan otoritas negara lain juga perlu diperkuat,” ujarnya.