Publik Apresiasi Pelayanan Kesehatan JKN-KIS
Layanan BPJS Kesehatan diapresiasi publik meski ada sejumlah perbaikan yang diharapkan, apa saja?
Publik mengapresiasi pelayanan kesehatan yang diberikan untuk peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Opini positif ini harapannya menyumbang optimisme bagi pemangku kepentingan ataupun petugas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan berpegang pada prinsip kesetaraan.
Tujuh dari 10 responden mengakui pelayanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) telah memenuhi unsur cepat dan mudah. Separuh responden juga menyampaikan, pelayanan kesehatan sepenuhnya gratis dan tak lagi ada diskriminasi.
Rangkuman ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Juni 2023. Dari 507 responden yang diwawancarai, 69,6 persen menyebutkan, dokumen yang dibutuhkan untuk berobat hanya KIS atau kartu tanda penduduk (KTP).
Potret kemudahan administrasi ini memiliki validitas tinggi karena disampaikan oleh mayoritas responden yang memang secara langsung berobat menggunakan KIS.
Secara terperinci, mudahnya syarat dokumen tersebut disampaikan oleh 93,4 persen responden yang rutin berobat dan 87,2 persen yang telah beberapa kali memanfaatkan KIS untuk pengobatan dirinya sendiri.
Tidak hanya soal ringkasnya dokumen, publik juga menyepakati bahwa pelayanan kesehatan bagi pemegang KIS telah sepenuhnya gratis. Hal ini disampaikan oleh 57,7 persen responden yang menyebut tak ada pungutan biaya dalam pengurusan administrasi, konsultasi dokter, ataupun penebusan obat.
Pelayanan yang ringkas dan terjangkau ini salah satunya dirasakan oleh Dewi Ratnasari (36) dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebagai peserta JKN yang rutin berobat, ia menyebut pelayanan kesehatan bagi peserta JKN mudah, cepat, dan sepenuhnya gratis. ”Tidak ada lagi yang perlu diperbaiki, sudah bagus pelayanannya,” ujarnya kepada Kompas, Rabu (21/6/2023).
Selain kemudahan dan keterjangkauan, pelayanan kesehatan bagi peserta JKN-KIS juga dianggap tidak ”pandang bulu”. Separuh responden di jajak pendapat (51,6 persen) mengakui tidak merasakan adanya perbedaan perlakuan saat menerima pelayanan kesehatan. Temuan ini menjadi bukti positif makin lunturnya asumsi adanya diskriminasi bagi pasien yang mengakses fasilitas kesehatan dengan KIS.
Di tengah potret baik yang terekam dari aspirasi publik ini, sejumlah catatan perlu diperhatikan demi meningkatkan kualitas jaminan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Terkait kesetaraan perlakuan antara pasien JKN dan non-JKN, misalnya, 30 persen responden yang rutin berobat dan 26,3 persen yang sesekali menggunakan KIS mengaku masih merasakan adanya diskriminasi dalam waktu pelayanan dan jenis obat yang diberikan.
Sebut saja Wahyu Restiarini (31) dari Kota Bekasi, Jawa Barat. Wahyu menyebut waktu pelayanan pasien BPJS Kesehatan lebih lama dibandingkan dengan pasien yang bukan BPJS. Soal waktu turut dikeluhkan Siti Kartini (62) dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang berharap pelayanan obat tidak memakan waktu seharian. ”Proses penebusan obatnya harus dipercepat. Menunggu obat bisa sampai sore, kurang maksimal,” ujarnya kepada Kompas, Rabu (21/6/2023).
Adapun seperempat responden dari kelompok yang beberapa kali berobat menggunakan KIS menyebut masih ada komponen biaya yang perlu dikeluarkan oleh pasien.
Tambahan biaya ini khususnya untuk membeli obat yang tidak tercakup dalam jenis obat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Kelompok ini berharap adanya perluasan jenis obat yang ditanggung, mengingat obat yang biasanya diminta untuk ditebus mandiri harganya relatif mahal.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Mengawal Digitalisasi Pelayanan BPJS Kesehatan
Pemanfaatan
Upaya negara untuk memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah memasuki tahun ke-9. Sebelum program JKN dimulai pada 1 Januari 2014, pemerintah merintis berbagai bentuk jaminan kesehatan.
Di antaranya adalah Askes Sosial untuk PNS, pensiunan, dan veteran; JPK Jamsostek untuk pegawai BUMN dan swasta; Jaminan Kesehatan untuk TNI dan Polri; dan Askeskin atau Jamkesmas untuk masyarakat miskin.
Kini, semua jaminan tersebut telah melebur dan terintegrasi di bawah payung Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan). Per 1 Maret 2023, BPJS Kesehatan melaporkan kepesertaan JKN-KIS mencapai 252,17 juta jiwa atau 90,79 persen dari total penduduk Indonesia.
Tidak hanya soal cakupan, jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah ini harapannya juga digunakan oleh masyarakat untuk mendukung kehidupan sosial yang sejahtera. Sejalan dengan baiknya kualitas pelayanan kesehatan bagi pemegang KIS, masyarakat diharapkan tak sungkan lagi berobat sebagai peserta JKN-KIS.
Jajak pendapat pun memotret kepercayaan publik untuk memanfaatkan JKN-KIS sebagai jaminan kesehatan relatif cukup tinggi. Sebanyak 71,6 persen responden yang mengikuti kepesertaan JKN-KIS menggunakannya untuk berobat. Rinciannya, 24,1 persen menggunakannya secara rutin dan 27,5 persen telah memanfaatkannya beberapa kali.
Jika dilihat dari aspek domisili, lebih banyak peserta JKN-KIS dari wilayah perkotaan yang berobat secara rutin dibandingkan dengan peserta JKN-KIS dari perdesaan. Ada 30,4 persen dari wilayah perkotaan dan hanya 16,9 persen dari perdesaan atau berselisih hampir dua kali lipat. Responden di perdesaan lebih banyak memanfaatkan JKN-KIS untuk sesekali waktu.
Terlepas dari tingkat kesehatan masing-masing wilayah, temuan di atas dapat berarti masih adanya keengganan warga di perdesaan untuk memanfaatkan KIS sebagai jaminan untuk berobat. Anggapan pengguna jaminan dari BPJS Kesehatan akan mendapatkan perlakuan tidak adil, misalnya, perlu konsisten dikikis.
Tak hanya itu, standar pelayanan juga perlu dikawal dengan sungguh-sungguh. Amir Achmad (56) dari Merangin, Jambi, misalnya, menyoal perlunya ada standar pelayanan yang berkualitas antara fasilitas kesehatan di luar Jawa yang masuk belum sebaik di Jawa.
Adapun jika melihat latar sosial-ekonomi responden, kalangan atas cenderung lebih sering menggunakan jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan ini dibandingkan dengan kalangan menengah ataupun bawah.
Sebagai gambaran, hanya 16,6 persen peserta JKN-KIS dari kalangan atas yang belum pernah memanfaatkan jaminan ini untuk mengakses pelayanan kesehatan. Sementara pada kalangan menengah proporsinya mencapai 35,6 persen dan 21,4 persen pada kalangan bawah.
Temuan hasil jajak pendapat di atas meniupkan angin optimisme sekaligus pesan perbaikan agar penyelenggara jaminan sosial di bidang kesehatan semakin baik.
Optimisme ini pun diperkuat dengan dukungan separuh lebih responden yang berkomitmen untuk rutin membayar iuran JKN-KIS meski tidak pernah digunakan. Publik meyakini asas gotong royong menjadi nyawa dari suksesnya pemenuhan hak sehat dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Data Kesehatan Diintegrasikan