Publik Berharap Daftar Caleg Dibuka Lebih Awal
Pemilih akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengenal sosok dan rekam jejak calon wakil rakyat yang bakal dipilihnya jika KPU sejak awal membuka daftar caleg. Potensi lahirnya suara tidak sah juga dapat dikurangi.
Daftar bakal calon anggota legislatif yang diserahkan partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum diharapkan lebih awal dibuka kepada publik. Mengetahui rekam jejak calon wakil rakyat sejak awal diharapkan bisa membantu pemilih mempertimbangkan siapa yang pantas diberikan amanah mewakili aspirasi publik.
Keinginan publik agar daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) dibuka sejak awal ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas pada akhir Mei 2023. Mayoritas responden (90,9 persen) menilai masyarakat perlu mengetahui daftar bakal calon yang diserahkan parpol saat pengajuan bakal caleg pada 1-14 Mei 2023.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hanya saja, setelah tahapan pengajuan bakal caleg tersebut selesai, sampai saat ini belum ada satu pun data calon yang diunggah Komisi Pemilihan Umum (KPU) di laman resminya. Padahal, jika merujuk pada pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, KPU selalu memublikasikan data bakal calon, bahkan sebelum daftar calon sementara (DCS) diumumkan.
Saat ini KPU baru mengunggah rekapitulasi daftar bakal caleg melalui akun Instagram KPU pada 7 Juni 2023 atau tepat 30 hari setelah masa pengajuan bakal caleg ditutup. Dari data rekapitulasi tersebut diketahui semua parpol nasional peserta Pemilu 2024 mengajukan bakal caleg di 84 daerah pemilihan (dapil). Dari 18 parpol nasional peserta pemilu, hanya satu partai yang mengajukan total 463 bakal caleg (79,8 persen). Sementara itu, 17 parpol lainnya masing-masing mengajukan 580 bakal caleg atau 100 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diperebutkan.
Tentu pengumuman rekapitulasi ini tetap penting bagi publik, meskipun jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, KPU sebenarnya juga sudah memublikasikan nama-nama bakal caleg sehingga publik bisa langsung mengetahui siapa saja yang berniat maju di dapil tertentu.
Apalagi, jajak pendapat juga menangkap adanya keinginan publik mengetahui nama-nama bakal caleg tersebut lebih awal atau sejak daftarnya diajukan oleh parpol kepada KPU pada Mei. Hal ini diungkapkan oleh sebagian besar responden (73,7 persen). Sementara itu, seperempat bagian responden dari jajak pendapat lebih memilih menunggu saat KPU mengumumkan DCS pada Agustus.
Banyaknya responden yang berharap daftar bakal caleg ini dibuka sejak awal, atau sebelum adanya DCS, menjadi cerminan tingginya keinginan publik mengetahui nama-nama bakal caleg yang berniat mewakili mereka. Apalagi, salah satu prinsip penyelenggaraan pemilu, seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, adalah penyelenggaraan pemilu harus memenuhi prinsip terbuka.
Merujuk pada pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, KPU membuka daftar bakal caleg sebelum pengumuman DCS. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat pernah membuat Application Programming Interface untuk data Pemilu (API Pemilu) yang didapatkan melalui akses terhadap keterbukaan data KPU menjelang Pemilu 2019.
Baca juga: Elektabilitas Parpol Masih Dinamis
API Pemilu membantu pemilih memahami dan mengenali kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Program ini mendapatkan peringkat kedua penghargaan Open Government Awards (OGP) karena dinilai sukses meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pemilu melalui transparansi data pemilu. ”Dengan data dibuka bisa memicu kreativitas, inisiatif, inovasi, dan progresivitas para pihak dalam berkontribusi memperkuat kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu,” ungkap Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem.
Rekam jejak
Antusiasme publik agar data bakal caleg dibuka sejak diajukan oleh parpol kepada KPU tidak lepas dari upaya untuk lebih mengenal para calon wakilnya. Salah satu alasan yang paling banyak dikemukakan oleh 37 persen responden terkait dengan keinginan akan terbukanya daftar bakal caleg lebih awal ialah untuk mengetahui rekam jejak mereka sebelum memutuskan memilih pada hari pemungutan suara nanti.
Adapun sepertiga bagian responden lainnya menjawab, dengan terbukanya daftar caleg lebih awal, mereka bisa membandingkan profil antarsosok, baik dari parpol yang sama maupun yang berbeda. Pertimbangan berikutnya disampaikan oleh lebih kurang seperempat bagian responden. Mereka menilai pemilih bisa menentukan jauh-jauh hari siapa caleg yang akan dipilih.
Langkah pengenalan dan political tracking pada profil bakal caleg juga tidak lepas dari upaya mengurangi dampak pemilu serentak yang lebih menjadikan kontestasi pemilu presiden sebagai sorotan dibandingkan dengan pemilu legislatif. Hal ini tampak dari tingginya jumlah suara tidak sah (invalid vote) pada pemilu legislatif dibandingkan dengan pemilu presiden.
Dari buku laporan Penyelenggaraan Pemilu 2019 disebutkan, jumlah suara tidak sah tercatat sebanyak 17,5 juta atau 11,12 persen. Sementara di pemilihan presiden suara tidak sah mencapai 3,75 juta atau 2,38 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2014 di mana jumlah suara tidak sah di pemilu legislatif sebanyak 14,6 juta atau 10,46 persen. Sementara suara tidak sah Pemilihan Presiden 2014 hanya 1,38 juta (1 persen).
Kompleksitas pemilu legislatif dengan ribuan caleg membuat ”beban” bagi pemilih. Jika daftar caleg dibuka oleh KPU sejak awal, pemilih punya lebih banyak waktu untuk mengenal bakal calegnya. Dengan demikian, potensi lahirnya suara tidak sah bisa dikurangi. Sebab, bagaimanapun satu suara sangat bernilai bagi masa depan bangsa.
Kuota perempuan
Selain soal perlunya daftar bakal caleg dibuka sejak awal, separuh lebih responden juga berharap partai-partai politik memberikan kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menjadi caleg. Jajak pendapat merekam sikap responden menginginkan agar partai tidak sekadar memenuhi syarat minimal 30 persen bagi perempuan dalam daftar caleg seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu. Sementara sepertiga bagian responden lainnya justru menilai partai cukup memenuhi syarat minimal, tidak perlu lebih dari itu.
Wacana terkait dengan kuota perempuan dalam daftar bakal caleg menjadi polemik setelah KPU tidak merevisi aturan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 yang diikuti dengan Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan ini dinilai melanggar ketentuan undang-undang terkait syarat 30 persen kuota perempuan dalam daftar caleg. Salah satunya karena penggunaan rumus pembulatan ke bawah yang berdampak pada keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen di sejumlah dapil.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Ganjar Dipilih Pemilih Perempuan, Prabowo Populer di Pemilih Laki-laki
Dari rekapitulasi daftar bakal caleg yang dipublikasikan KPU di akun media sosialnya, tampak secara nasional semua parpol sudah memenuhi syarat kebijakan afirmasi 30 persen perempuan masuk dalam daftar caleg. Namun, jika mengacu pada PKPU Nomor 10/2023, terutama Pasal 8 Ayat (1) poin c, daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil, bukan sekadar secara nasional.
Kini, PKPU Nomor 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota tengah diajukan uji materi oleh Maju Perempuan Indonesia ke Mahkamah Agung karena dinilai melanggar UU Pemilu. Tentu, dengan daftar bakal caleg dibuka lebih awal akan semakin jelas bagi publik untuk bisa mengetahui sekaligus mengawal dapil mana saja yang belum memenuhi kuota perempuan.