Selain Sosok, Popularitas Partai Makin Diperhitungkan Publik
Basis publik dalam memilih parpol masih bertumpu pada sosok kuat dalam partai. Di luar itu, calon pemilih makin memperhitungkan popularitas partai, baik dari sisi akseptasi (penerimaan) maupun resistensi pilihannya.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·6 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Pedagang baju partai di depan tokonya di Pasar Senen Blok 3, Jakarta Pusat, 26 Mei 2023. Permintaan atribut partai mulai meningkat walaupun masa kampanye Pemilu 2024 masih akan berlangsung pada November 2023.
Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi publik untuk menjatuhkan pilihannya terhadap partai politik. Namun, dari beberapa kali survei periodik Kompas, tampak sosok dalam partai relatif kuat melandasi alasan seseorang menjatuhkan pilihan partai politik. Dalam survei Kompas Mei 2023, terlihat bahwa tokoh dalam partai masih menjadi alasan paling tinggi yang mendasari pilihan politik publik.
Tak kurang dari 34,1 persen responden mengaku mendasari pilihan partainya karena tokoh yang berpengaruh dalam partai. Temuan data ini masih menguatkan fakta bahwa partai-partai yang memiliki elektabilitas tinggi cenderung memiliki tokoh berpengaruh dalam partainya. Pilihan ini bisa dipandang primordial tetapi juga rasional.
Di satu sisi, tatkala tokoh dipandang berdasarkan modal simbolik, pembawaan, ataupun karakter, maka pilihan ini bisa dikategorikan sebagai pilihan yang primordial. Di sisi lain, ketika seorang tokoh menjadi alasan memilih partai dan dipandang berdasarkan rekam jejaknya, pilihan ini bisa dipandang rasional.
Apa pun itu, data ini menunjukkan bahwa memanggungkan tokoh yang kuat dalam sebuah partai politik masih seirama dengan preferensi publik dalam memilih partai. Apalagi, berdasarkan survei Litbang Kompas Januari 2023, terdapat 35,9 responden yang mengaku memilih partai politik berlandaskan sosok.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Meski belum memasuki masa kampanye, baliho dan poster partai politik dan tokoh partai politik mulai banyak menghiasi ruang-ruang publik, seperti di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 10 Maret 2023.
Popularitas
Namun, sosok bukanlah satu-satunya alasan publik dalam memilih partai. Di luar sosok, muncul sejumlah alasan yang menarik dilihat dari pola pilihan publik setelah faktor ketokohan.
Sebanyak 14,2 persen responden mengaku memilih sebuah partai politik dengan alasan popularitas. Padahal, jika dibandingkan dengan survei sebelumnya pada Januari 2023, popularitas partai hanya menjadi alasan sekitar 8,7 persen responden saja. Pada survei Januari 2023, alasan kedua publik dalam memilih parpol terkait program kerja partai yang angkanya 14 persen.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran bahwa popularitas partai makin diperhitungkan dalam konteks pemilu makin dekat. Hal ini mengindikasikan pula adanya upaya-upaya lebih giat yang dilakukan berbagai parpol untuk merebut perhatian publik. Hal ini tampaknya bisa menjelaskan juga adanya partai-partai yang tidak memiliki sosok sentral, tetapi tetap mendapatkan elektabilitas yang mapan.
Dalam era digital dan media sosial seperti sekarang, sosialisasi partai terhadap calon pemilihnya bisa dilakukan secara masif. Meskipun di sisi lain persaingan makin ketat, prosesnya bisa berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, meningkatkan engagement antara partai dan publik demi mendulang popularitas dapat menjadi langkah alternatif partai-partai yang belum memiliki tokoh kuat untuk memantapkan posisi politiknya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua KPU Hasyim Asyari menyalami perwakilan partai politik saat rapat pleno terbuka rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024 di kantor KPU, Jakarta, 18 April 2023. Partai-partai peserta pemilu akan bersaing memperebutkan 204.278.781 suara pemilih di 38 provinsi.
Berbicara soal program kerja partai, alasan ini berada di posisi ketiga dalam survei Litbang Kompas Mei 2023 dengan angka 12,3 persen. Artinya, ketika berbicara soal sosialisasi, bahkan kampanye, memaparkan program kerja partai masih menjadi hal yang dinantikan khalayak.
Meskipun bisa disikapi secara kritis dalam beberapa waktu terakhir, program partai tampak semakin menjadi tempelan parpol-parpol peserta pemilu. Menyusun program partai yang inovatif dan berbeda (distinguish) dibandingkan parpol lain bisa menjadi cara lebih kuat meraih atensi publik.
Selain program kerja partai, publik masih memperhitungkan visi dan misi serta ideologi partai. Tak kurang dari 10,7 persen responden mengaku memilih parpol dengan alasan visi dan misi. Sementara 10 persen responden menyatakan memilih parpol berlandaskan ideologi partai. Dua hal ini tetap tidak bisa dilupakan parpol dalam usahanya menarik simpati publik demi mendulang suara.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Komisioner KPU, Idham Holik, menunjukkan contoh lembar rekapitulasi suara pemilu saat rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dan KPU di ruang sidang Komisi II DPR, Jakarta, 29 Mei 2023. Untuk memenangkan pemilu, partai-partai berlomba unjuk popularitas untuk menggaet pemilih.
Usia
Menjadi makin menarik ketika membedah alasan memilih partai dengan kacamata kategori usia responden. Berbicara soal tokoh, di semua kategori usia responden mengedepankan alasan ini. Namun, responden berusia 35-49 tahun menjadi kelompok usia yang paling memperhitungkan tokoh, angkanya 36,1 persen.
Di sisi lain, kelompok usia ini menjadi kelompok yang paling tidak memperhatikan soal popularitas partai. Hanya 9,9 persen responden kelompok usia 35-49 tahun yang memilih partai dengan alasan popularitas.
Popularitas partai cenderung menjadi perhatian kelompok responden berusia relatif muda. Terdapat 17 persen responden berusia 25-34 tahun yang memilih parpol berdasarkan popularitas. Dengan alasan yang sama, ada 16,8 persen responden berusia 17-24 tahun. Namun, kedua kelompok usia ini yang paling sedikit menunjukkan perhatiannya pada soal ideologis.
Terdapat 8,7 persen responden kelompok usia 17-24 tahun dan 8,2 persen kelompok usia 25-34 tahun yang mendasari pilihan parpolnya karena soal ideologi. Sebaliknya, kelompok usia 35-49 tahun yang paling besar menunjukkan perhatiannya terhadap ideologi partai, angkanya 13,1 persen.
Berbicara responden kelompok usia paling senior, yakni 50-65 tahun, berada dalam posisi rata-rata dalam setiap alasan. Jika dirangkum, tokoh berpengaruh menjadi perhatian utama di setiap kelompok usia responden. Selanjutnya, responden menjelang usia senior lebih memfokuskan pilihan parpol berdasarkan ideologi dibandingkan popularitas.
Sementara responden berusia relatif muda cenderung mementingkan popularitas partai dibandingkan soal ideologis. Dengan temuan ini, maka menjadi penting ketika sebuah partai politik melakukan komunikasi politiknya mempertimbangkan sasaran usia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) melakukan pencocokan dan penelitian data Pemilu 2024 di RT 001 RW 002 Kelurahan Jurang Mangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, 5 Maret 2023.
Resistensi
Setelah melihat sisi alasan akseptasi publik terhadap sebuah partai, menarik juga melihat sisi sebaliknya, alasan tak memilih sebuah partai politik. Dalam survei Litbang Kompas Mei 2023, ketidakpopuleran sebuah partai menjadi alasan teratas resistensi publik. Sekitar 24,8 persen responden mengaku tidak memilih sebuah parpol tersebut karena kurang populer ataupun belum terkenal.
Dengan selisih yang tak terlalu jauh, 24,6 persen responden mengaku tidak memilih partai politik karena alasan tidak menyukai tokoh partai ataupun karena tidak ada tokoh berpengaruh dalam partai. Menarik jika membandingkan alasan ini dengan survei sebelumnya. Pada survei Januari 2023, ada 31,4 persen responden yang mendasari alasan resistensinya terkait dengan tokoh. Sementara untuk alasan ketidakpopuleran angkanya mirip, yakni 25,5 persen.
Angka ini makin menguatkan hipotesis dari sisi akseptasi bahwa popularitas partai tetap diperhitungkan. Tampak dari sisi resistensi, meskipun alasan tokoh menurun terdistribusi ke alasan lain, seperti ideologi (12,7 persen), ketidakcocokan sejak dulu (8,7 persen), dan kurang jelasnya visi dan misi (8,1 persen), alasan popularitas partai tetap mendapat tempat penting.
Sesudah melihat alasan di balik akseptasi dan resistensi, hal terakhir yang menarik diperhatikan adalah pihak-pihak yang berpengaruh terhadap pilihan politik responden. Masih dari hasil survei yang sama, tampak bahwa keluarga masih menjadi basis kuat dari pembentukan pilihan politik. Tak kurang dari 47,6 persen responden mengakui bahwa keluarga menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan partai politik.
Keluarga yang dimaksud adalah orang tua, suami atau istri, anak, dan saudara. Dengan demikian, apabila berbicara soal popularitas partai, maka basis pengenalan hingga tingkat struktur sosial paling kecil, yakni keluarga, perlu diperhatikan. Selain keluarga, 18 persen responden mengaku mendasarkan pilihan parpolnya dipengaruhi tokoh-tokoh masyarakat terdekat.
Setelah dua alasan berada di ranah yang kecil, barulah 16,3 persen responden mengaku pilihan parpol dipengaruhi figur publik, seperti influencer, artis, dan selebgram. Selanjutnya kembali ke lingkaran dekat, 11,3 persen responden mengaku pengaruh berasal dari teman dan 6,9 persen lainnya mengaku terpengaruh tokoh agama.
Akhirnya, berbicara tentang alasan memilih dan pihak-pihak yang memengaruhi, tampak bahwa ada struktur yang mungkin disimpulkan sekaligus mengambang. Di satu sisi tampak bahwa tokoh berpengaruh dan popularitas partai menjadi dua hal yang paling diperhitungkan. Catatan khususnya mendekati pemilu fenomena yang muncul bahwa publik makin memperhitungkan soal popularitas partai.
Namun, sedeterminan apa pun alasan itu, tetap perlu diperhitungkan lingkungan tempat pemilih tinggal. Bagaimana keluarganya, seperti apa preferensi politik tokoh-tokoh di sekelilingnya, turut menentukan pilihan partai politik.
Karena hal inilah, relasi antara calon pemilih dan partai politik akan berlangsung dialektik. Bagaimana parpol menampilkan wajahnya akan memengaruhi benak publik. Sebaliknya, bagaimana calon pemilih berpikir dan memandang politik akan memengaruhi parpol dalam menampilkan wajahnya. (LITBANG KOMPAS)