Faktor ”Jokowi” Tertinggi di PDI-P, Terendah di Nasdem
Dalam pilihan politik, faktor ”Jokowi” tetap paling tinggi pada PDI-P. Sebaliknya, faktor itu kini menjadi terendah pada Nasdem. Apa konsekuensi politiknya?
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) bersama Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menghadiri puncak acara HUT Ke-50 PDI Perjuangan di Jakarta, Selasa (10/1/2023). Perayaan HUT ke-50 digunakan PDI-P sebagai bagian konsolidasi partai dalam rangka pemenangan pemilu.
Hasil survei periodik Kompas periode Mei 2023 mengungkapkan adanya perubahan peta persaingan yang dideterminasi oleh kinerja kepresidenan. Sejalan dengan terjadinya peningkatan kepuasan terhadap kinerja kabinet dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, maka pada sisi lain terdapat pula kecenderungan kenaikan elektabilitas pada sebagian partai-partai yang kini masih lekat dengan koalisi pemerintahan.
PDI-P tetap menjadi partai yang paling tinggi menguasai elektabilitas. Kali ini, 23,3 persen responden mengaku akan memilih PDI-P dalam pemilu. Gerindra menjadi partai paling terbesar menikmati lonjakan elektabilitas. Dengan tambahan 4,3 persen dukungan, Gerindra semakin kuat bertengger di posisi kedua setelah PDI-P.
Begitu pula pada PAN dan PPP. Dalam survei kali ini, kedua partai menunjukkan peningkatan elektabilitas meskipun belum mengangkat kedua partai tersebut ke posisi yang lebih tinggi. Namun, pada sisi lain, terdapat beberapa partai dalam koalisi pemerintahan yang kali ini agak tertekan elektabilitasnya. Golkar dan PKB agak menurun ketimbang periode survei Januari 2023.
Penurunan elektabilitas juga terjadi pada partai-partai yang berada berseberangan dengan koalisi pemerintahan, PKS dan Demokrat. PKS, misalnya, elektabilitasnya menjadi 3,8 persen atau susut sekitar 1 persen dari periode survei sebelumnya. Elektabilitas Demokrat pun terbilang melemah kendati masih belum signifikan perubahannya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berfoto bersama sukarelawan pendukung Presiden Jokowi di Angkringan Omah Semar, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (20/5/2023). Dalam kesempatan itu, Prabowo diberi dukungan oleh kelompok sukarelawan tersebut. Ia dinilai sebagai sosok yang mampu meneruskan program-program Jokowi.
Menariknya, dalam survei ini juga menguak posisi Nasdem yang juga menunjukkan indikasi penurunan. Partai yang menjadi bagian koalisi pemerintahan Jokowi, tetapi belakangan ini bersama PKS dan Demokrat membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan dalam Pemilu 2024 ini menguasai 6,3 persen dukungan publik. Padahal, pada survei periode sebelumnya, partai ini mampu mendapatkan dukungan 7,3 persen pemilih.
Pada posisi sebaliknya, juga menarik dicermati semakin menguatnya posisi politik PDI-P di mata pemilihnya, sejalan dengan peningkatan apresiasi pemerintahan Jokowi. Menjadi persoalan, apakah kecenderungan terjadinya penurunan pada Nasdem juga sejalan dengan posisinya yang kini berbeda dengan koalisi pemerintahan lainnya dalam pencapresan mendatang?
Lebih khusus lagi, sejalan dengan posisinya yang mulai ”berseberangan” dengan Jokowi dalam pencapresan mendatang, apakah dengan sendirinya keberadaan Jokowi mulai susut pada partai ini? Bagaimana pula sebaliknya dengan PDI-P?
Beberapa temuan dalam survei yang terjabarkan berikut ini setidaknya mampu menjawab relasi Jokowi dengan setiap partai politik yang berkonsekuensi pada performa politik partai di mata pemilih.
REBIYYAH SALASAH
Pertemuan perwakilan dari 18 kelompok sukarelawan pendukung Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto beserta jajarannya dalam acara silaturahmi di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, 7 November 2022. Dalam pertemuan tersebut, kelompok sukarelawan Jokowi menyampaikan hasil musyawarah rakyat kepada Airlangga.
Pertama, strategi politik yang dilakukan partai politik dalam penentuan capres yang bersinggungan dengan keberadaan Jokowi turut menentukan posisi dan capaian politik partai tersebut. Pada Nasdem yang telah menetapkan Anies Baswedan sebagai capres 2024 bersama Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang terbentuk mulai mengubah konfigurasi politik pemilih Nasdem. Sebaliknya, pada PDI-P relatif tidak berubah.
Hasil survei kali ini menunjukkan, jika para pemilih Nasdem mulai beranjak, sebagian bukan lagi mereka yang menjadi pemilih pasangan Jokowi-Amin dalam pemilu mendatang. Tinggal 41,4 persen saja yang menjadi pemilih Jokowi-Amin. Padahal, pada survei April 2021, masih 61 persen pemilih Nasdem merupakan pemilih Jokowi-Amin dalam Pemilu 2019. Sebaliknya, pada PDI P, 88,9 persen pemilih partai ini juga memilih Jokowi-Amin dalam Pemilu 2019.
Terkait dengan pilihan partai politik pun menyimpulkan kondisi yang relatif sama, yaitu loyalitas para pemilih Nasdem dari para pemilih partai ini sebelumnya (Pemilu 2019) menyusut, tersisa 24,1 persen. Nasdem kali ini mulai diisi oleh para pemilih yang sebelumnya bukan pemilih partai ini. Sementara pada PDI-P tetap terbilang solid, 65,2 persen pemilihnya merupakan pemilih PDI P dalam Pemilu 2019.
Kedua, berkaitan langsung dengan keberadaan faktor ”Jokowi” pada setiap partai. Faktor Jokowi yang dimaksud sebenarnya merujuk pada suatu entitas kekuatan modal politik yang termanifestasikan dalam figur Presiden Joko Widodo. Sedemikian dominan manifestasi faktor ini, baik melalui gambaran sosok, karakter, maupun kinerja kepemimpinannya, sehingga entitas politik dalam format tokoh ini dapat menjadi kekuatan modal dan sekaligus menjadi variabel pendeterminasi preferensi pilihan para pemilih.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Presiden Jokowi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Menteri BUMN Erick Thohir saat menghadiri pembukaan Workshop dan Rakornas PAN 2023 di Semarang, Jateng, 26 Februari 2023.
Singkatnya, dalam ajang arena kontestasi politik semacam pemilu, misalnya, kehadiran sosok Jokowi menjadi pertimbangan bagi seseorang dalam menjatuhkan pilihan politik. Terlepas apakah sosok yang dipilih adalah memang Jokowi sendiri ataupun merupakan sosok ataupun partai politik yang merepresentasikan Jokowi, keduanya menjadi pertimbangan para pemilih.
Faktor Jokowi dalam survei kali ini dapat terlihat dari kesediaan responden untuk mengikuti sepenuhnya rujukan sosok yang ditampilkan Presiden Jokowi sebagai capres dalam pemilu mendatang. Pada para pemilih partai politik, faktor Jokowi tampak tertinggi di PDI-P, 41,1 persen dari pemilih partai ini yang mengaku akan mengikuti pilihan capres yang menjadi rujukan Presiden Jokowi. Selebihnya, pemilih menyatakan mempertimbangkan, tergantung dari siapa tokoh yang dirujuk dan sebagian kecil menolak sosok rujukan Jokowi.
Dari seluruh partai, justru Nasdem yang kini terkecil keberadaan faktor Jokowi-nya. Survei menunjukkan, kali ini hanya 8,5 persen mengindikasikan jika kekuatan pengaruh Jokowi pada pemilih partai ini semakin susut. Kondisi demikian sangat berbeda jika dibandingkan dengan survei bulan Oktober 2022, yang menempatkan pemilih Nasdem tertinggi kedua setelah PDI-P. Kala itu masih 23,9 persen pemilih Nasdem akan sejalan dengan rekomendasi Jokowi.
Apa yang terjadi pada PDI-P dan Nasdem berimplikasi pada persaingan dalam penguasaan pemilih pemilu mendatang. Bagi PDI-P, misalnya, ketergantungan pada Jokowi tidak dapat terhindarkan. Sedemikian signifikannya keberadaan faktor Jokowi pada partai ini dapat menjadi suatu benefit politik atau justru sebaliknya.
Menjadi suatu benefit yang saling menguatkan keduanya jika PDI-P dan Jokowi mampu menjaga hubungan politik yang mutualis, seperti yang selama ini telah ditunjukkan. Meningkatnya performa pemerintahan Jokowi, misalnya, potensial berelasi pada peningkatan elektabilitas PDI-P. Kondisi sebaliknya, penurunan performa pemerintahan turut pula menurunkan elektabilitas PDI-P. Di luar persoalan tersebut, relasi mutual keduanya pun akan terus-menerus teruji, khususnya dalam pencapresan kali ini. Perbedaan di antara kedua entitas dalam pencapresan, misalnya, akan mengurangi kekuatan mutualis keduanya.
Bagi Nasdem, perubahan posisi politik yang semakin mengecilkan keberadaan faktor Jokowi pada pemilih partai ini berkonsekuensi langsung pada sikap politik partai ini. Semakin susutnya faktor Jokowi, lebih banyak mengindikasikan posisi politik Nasdem yang kini berseberangan dengan pemerintahan Jokowi.
Terlebih, kabar terakhir yang mengejutkan, sejalan penangkapan Johnny G Plate, Menteri Kominfo dalam kabinet Jokowi, yang juga Sekjen Nasdem, dalam dugaan korupsi BTS.
Semua rentetan strategi pilihan politik yang dilakukan dan persoalan-persoalan yang dialami Nasdem semakin sulit memosisikan partai ini berada dalam barisan pemerintahan. Dengan posisi politik seperti ini, Nasdem tampaknya telah bersiap mengambil risiko politik yang akan dipertaruhkan pada Pemilu 2024. (LITBANG KOMPAS)
Edisi besok: Seberapa Besar Faktor ”Jokowi” terhadap Dukungan Setiap Calon Presiden?