Urgensi Mengelola Arus Migrasi dari Tingkat Kota/Kabupaten
Fenomena migrasi di Indonesia penting untuk diperhatikan karena turut berperan dalam pembangunan daerah. Agar berdampak optimal, pengawasan dan pengelolaan arus migrasi perlu ditingkatkan mulai dari kabupaten/kota.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Pentingnya mengelola migrasi tidak dapat dilepaskan dari peran penting mobilitas penduduk sebagai faktor utama penyusun demografi, selain kelahiran dan kematian. Hal itu menentukan berapa banyak penduduk yang harus dilayani di suatu daerah, bagaimana kondisi daerah yang ditinggalkan dan dituju, dan bagaimana struktur demografi suatu daerah sehingga memengaruhi perekonomian dan pembangunannya.
Namun, fenomena migrasi seringkali terlewatkan begitu saja. Hal itu kontras dengan arus migrasi di Indonesia yang cukup besar lantaran jumlah penduduk yang banyak dan wilayah kepulauan yang luas.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menyebutkan, ada 30,3 juta migran seumur hidup di Tanah Air. Ini artinya ada 11,1 persen penduduk yang sudah berpindah tempat dari daerah kelahirannya ke tempat baru. Dalam periode lima tahun terakhir, setidaknya ada 5,2 juta orang atau 2,1 persen dari total penduduk Indonesia yangberpindah tempat tinggal ke domisilinya saat ini (migrasi risen).
Angka tersebut tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2020 ada 2 persen penduduk Indonesia berstatus migran risen.Pada 2019, tepat setahun sebelum pandemi Covid-19 melanda, jumlah penduduk yang bermigrasi jauh lebih besar, yaitu sekitar 5,9 juta jiwa atau 2,2 persen dari total penduduk Indonesia.
Perpindahan tersebut memang wajar adanya. Namun, hal ini akan menjadi masalah apabila perpindahan itu menuju ke daerah-daerah tertentu yang sudah padat penduduknya. Ini mengakibatkan bertambahnya ketimpangan distribusi penduduk, seperti yang selama ini sudah terjadi antara Jawa dan pulau-pulau lain.
Hal itu juga menjadi cerminan adanya ketimpangan pembangunan antardaerah. Daerah dengan pusat perekonomian menjadi daya tarik bagi migran. Sementara daerah yang kesulitan secara ekonomi cenderung ditinggalkan warganya, terutama mereka yang termasuk kelompok usia produktif.
Hal ini menjadikan Jawa yang menyumbang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi nasional menjadi ”gula-gula” bagi para migran. Ditambah lagi sejak zaman kolonialisme, Jawa memang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian sehingga aktivitas penduduk tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Menurut Hasil Sensus Penduduk 2020, Pulau Jawa dihuni oleh 151,6 juta jiwa atau 56,1 persen penduduk Indonesia. Padahal, luas wilayah pulau ini hanya 7 persen dari total wilayah Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan pulau-pulau lain yang memiliki wilayah lebih luas, tetapi jumlah penduduknya sedikit. Misalnya Pulau Kalimantan, dengan luas 28,39 persen dari total wilayah Indonesia, hanya dihuni 6,15 persen penduduk Indonesia.
Jawa menjadi semakin padat dengan hadirnya para pendatang. Hingga 2021, menurut hasil pengolahan data mikro Susenas oleh Litbang Kompas, sembilan dari sepuluh daerah tujuan migrasi masih berada di Jawa. Jumlah migran masuk dari sembilan daerah itu mencapai 1,5 juta jiwa atau 14,4 persen dari total migran risen pada 2021.
Indonesia timur
Namun, dalam beberapa tahun terakhir mulai terlihat perubahan arah migrasi internal di Indonesia. Menurut Sukamdi, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, seiring berkembangnya waktu, migrasi mulai mengarah ke Indonesia timur. Ia menambahkan, terjadinya fenomena tersebut karena ada tendensi orang ingin mencari peluang baru. Apalagi ditambah adanya pembangunan transportasi sehingga konektivitas semakin mudah dan hambatan migrasi menjadi lebih kecil.
Muhammad Cholifihani, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, juga melihat pola serupa. Mulai terlihat pola pergeseran arah migrasi ke luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Tampak pula mobilitas penduduk menuju ke lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Salah satu daerah yang menjadi tujuan utama warga perantau di Indonesia timur adalah Kota Jayapura, Papua. Perpindahan penduduk ke kota itu membawa dampak signifikan terhadap jumlah penduduk di daerah itu. Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Avelinus Lefaan, menyebutkan, salah satu faktor pendorongnya ialah Papua masih menawarkan daya tarik berupa tanah luas dan kesempatan memperoleh pekerjaan lebih luas (Kompas, 5/5/2023).
Tidak hanya di Jayapura, hadirnya para migran secara besar-besaran juga terlihat di pusat-pusat perekonomian dan industri baru di Kawasan Indonesia timur. Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menjadi salah satu destinasi populer para migran, khususnya untuk pencari kerja. Perusahaan berbasis industri nikel yang dibangun pada 2013 ini terbukti menarik para pendatang di kawasan industrinya.
Pada 2022 tercatat ada 77.000 pekerja di kawasan itu. Tidak hanya berasal dari daerah setempat, para pekerja juga berasal dari daerah lain bahkan negara lain. Masifnya arus migrasi ke Kabupaten Morowali, terutama Kecamatan Bahadopi, telah membuat pemerintah daerah kewalahan. Infrastruktur dan fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas tidak mampu menampung lonjakan jumlah penduduk karena banyaknya pendatang di wilayah tersebut.
Manajemen kota
Contoh arus migrasi di Kawasan IMIP tersebut dapat menjadi gambaran serta pelajaran untuk pengembangan pusat-pusat perekonomian baru terutama di daerah yang sebelumnya tidak menjadi destinasi utama migrasi. Apalagi, pemerintah telah mencanangkan berbagai program dan kebijakan pengembangan pusat- pusat perekonomian baru, terutama di luar Jawa. Upaya ini selain untuk pemerataan pembangunan, juga untuk memecah kepadatan di Jawa.
Tujuannya memang baik, yakni mengendalikan distribusi penduduk agar tidak terpusat di Jawa dan Sumatera. Namun, perlu disiapkan pengawasan dan monitoring dari arus migrasi itu sendiri. Sebab, aliran pendatang ke suatu daerah seringkali lalai diperhatikan sehingga muncul masalah baru di perekonomian daerah, penataan kawasan, dan penyediaan fasilitas bagi masyarakat.
Penataan persoalan kependudukan sedang diupayakan dalam Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK). GDPK disusun berdasarkan lima pilar, yaitu pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk, penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk, pembangunan keluarga berkualitas, serta penataan data dan informasi kependudukan. Isu tentang migrasi masuk ke dalam pilar ketiga dan kelima terkait penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk serta penataan data kependudukan.
Terkait dengan GDPK, Cholifihani mengatakan, banyak daerah belum membuat GDPK. Idealnya lima pilar GDPK ditangani. Namun, sejauh ini hanya pilar pertama, kedua, dan kelima yang banyak dibuat. Sesuai dengan panduan penyusunannya, GDPK seharusnya disusun mulai dari tingkat kabupaten/kota.
Terkait dengan isu migrasi, pemerintah kabupaten/kotasudah seharusnya turun tangan dalam penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk. Dalam dokumen Panduan Penyusunan GDPK, beberapa upaya yang perlu dilakukan ialah mengurangi mobilitas ke kota besar serta menyediakan fasilitas publik di daerah yang diproyeksikan sebagai daerah tujuan mobilitas penduduk.
Selain itu, pada pilar kelima, arah kebijakan dilaksanakan dengan pengelolaan database kependudukan hingga penguatan data dan informasi kependudukan di tingkat desa. Data migrasi sudah seharusnya tercatat dan tersedia untuk pengambilan keputusan berdasarkan isu kependudukan. Ketersediaan data migrasi ini perlu diupayakan di level kabupaten/kota.
Mengingat dinamisnya mobilitas penduduk Indonesia, dengan jumlah yang besar dan arah pergerakan yang kian berubah, perhatian terhadap isu migrasi perlu ditingkatkan. Perlu pendekatan dari tingkat kabupaten dan kota yang mendetail terkait isu migrasi agar dapat memotret fenomena ini serta menghindari permasalahan yang ditimbulkan, seperti pengalaman daerah-daerah tujuan migrasi selama ini. (LITBANG KOMPAS)