Ekonomi, Faktor Utama Migrasi
Pepatah ada gula ada semut masih berlaku hingga saat ini. Di mana ada pembangunan ekonomi yang masif, di situ orang-orang akan datang untuk tinggal dan menetap.
”Gula-gula” di daerah berkembang dan maju selalu tampak lebih manis dibandingkan dengan daerah yang relatif tertinggal. Gencarnya industrialisasi mendorong pembangunan daerah lebih masif dan diikuti tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini menarik masyarakat dari luar daerah untuk hadir bermigrasi dan bahkan tinggal menetap di daerah bersangkutan.
Secara umum, masyarakat melakukan migrasi demi mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Michael P Todaro, ekonom Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga menyebutkan migrasi lekat dengan urusan ekonomi.
Pelopor bidang ekonomi pembangunan itu menyatakan, kebijakan ekonomi atau sosial yang berdampak pada pendapatan riil penduduk akan memengaruhi terjadinya proses migrasi.
Besarnya pengaruh faktor ekonomi terhadap arus migrasi itu juga berlaku di Indonesia. Salah satunya tergambar dari hasil pemodelan ekonometrika untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi migrasi nasional.
Untuk mengukurnya, Litbang Kompas menggunakan regresi data panel yang menggabungkan data pada 34 provinsi dengan periode waktu tahun 2000, 2005, 2010, 2015, dan 2020.
Hasil dari persamaan itu menunjukkan sekitar 98 persen proses migrasi di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi. Sisanya disebabkan variabel lainnya di luar model.
Ditemukan ada empat variabel yang mendorong terjadinya arus migrasi seumur hidup di Indonesia. Secara berurutan dari yang terbesar pengaruhnya adalah variabel upah minimum provinsi (UMP), produk domestik regional bruto sektor industri (industrialisasi), angkatan kerja, dan terakhir adalah investasi.
Muhammad Cholifihani, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan, kuatnya pengaruh ekonomi tersebut sejalan dengan adagium ada gula ada semut.
Senada, Sukamdi, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, mengatakan, ekonomi menjadi motif orang bermigrasi, terutama karena upah. ”Motif migrasi itu ekonomi. Orang ingin mencari pendapatan yang lebih baik,” kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM itu.
Dari keempat variabel regresi itu semuanya bernotasi positif, kecuali investasi. Notasi positif menunjukkan bahwa variabel bebas mendorong terjadinya arus migrasi masuk ke suatu daerah.
Jadi, bisa diartikan bahwa kenaikan upah, maraknya industrialisasi, dan juga bertambahnya angkatan kerja mendorong masyarakat Indonesia bermigrasi ke suatu daerah dan bahkan kemungkinan tinggal menetap.
Untuk notasi negatif, berarti mengurangi laju migrasi masuk. Notasi negatif pada variabel investasi dapat diartikan semakin banyak investasi yang ditanamkan di daerah-daerah maka akan menghambat peningkatan jumlah arus migrasi ke daerah lain. Masyarakat suatu daerah tidak harus pergi bermigrasi ke daerah lainnya lantaran investasi dan perekonomian di wilayahnya juga berkembang.
Dari pemodelan data panel secara nasional, terdapat lima provinsi yang diproyeksikan akan menjadi tujuan migrasi di Indonesia. Kelima daerah tersebut ialah Jawa Barat, Banten, Riau, DKI Jakarta, dan Lampung.
Secara spesifik, dari analisis data Susenas 2021 ditemukan ada 10 kabupaten/kota yang menjadi tujuan utama migrasi risen terbesar di Indonesia. Daerah tersebut ialah Kota Depok, Kota Bekasi, Bogor, Bekasi, Deli Serdang, Bandung, Tangerang, Sleman, Kota Tangerang, dan Kota Bandung. Sebagian besar dari ke-10 daerah ini berada di provinsi yang diproyeksikan menjadi tujuan migrasi secara nasional.
Baca juga : Jakarta Bukan Lagi Tujuan Migrasi
Industri
Sebagaimana pemodelan di level provinsi, ekonomi juga menjadi faktor pendorong terkuat migrasi di 10 daerah tersebut. Hanya saja, di level kabupaten/kota ini variabel ekonomi yang signifikan memengaruhi arus migrasi risen masuk hanya sekitar 58 persen. Sisanya, 41 persen lainnya, dijelaskan oleh variabel lain di luar model yang diteliti.
Hasil regresi data panel di 10 daerah yang diteliti dengan input data tahun 2013, 2017, dan 2021 itu menunjukkan ada empat variabel yang berkorelasi signifikan terhadap arus migrasi risen masuk di wilayah tersebut.
Keempat variabel itu adalah pendapatan per kapita, industrialisasi, investasi, dan UMP. Industrialisasi dan investasi bernotasi positif, sedangkan untuk variabel pendapatan per kapita dan upah bernotasi negatif.
Notasi positif pada sektor industri dan investasi itu menunjukkan bahwa kedua faktor ini menjadi variabel penarik masuknya para migran. Soerjono Herlambang, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Tarumanagara, menyebut hal ini sebagai fenomena migrasi industri.
Hal senada diutarakan dosen Sosiologi dan Ilmu Sosial Politik Universitas Sumatera Utara, Prof Badarrudin, yang mencontohkan fenomena migrasi industri yang terjadi di Deli Serdang. Daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan itu kini menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara.
Letak Deli Serdang yang dekat dengan pelabuhan membuat posisinya sangat strategis. Industri pengolahan pun berkembang pesat. ”Pembangunan industri di Medan tidak memungkinkan lagi sehingga lebih dikembangkan di Deli Serdang. Akhirnya saat ini lebih banyak orang datang ke Deli Serdang,” ujar Badarrudin.
Industri menjadi salah faktor utama pendorong migrasi karena sektor ini membutuhkan banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Dengan konsep padat karya seperti ini, daerah sentra-sentra industri akan menjadi magnet penarik migrasi masyarakat dari banyak daerah.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, sektor industri di 10 daerah tujuan migran nasional itu cukup mendominasi perekonomian di daerah bersangkutan. Rata-rata sumbangan sektor industri pada PDRB daerah setempat mencapai 37 persen. Artinya, sepertiga ekonomi daerah tersebut disumbang oleh industrialisasi. Bahkan, di Kabupaten Bekasi kontribusinya mencapai 77,21 persen pada tahun 2021.
Secara teori, sektor industri berkaitan erat dengan investasi. Kapitalisasi yang masuk di suatu daerah maka akan mendorong hadirnya industri atau usaha yang membuka lapangan pekerjaan. Tingginya serapan kerja ini mengakselerasi hadirnya para pendatang dari banyak daerah.
Variabel signifikan lainnya, yakni pendapatan per kapita dan UMP, berpengaruh negatif terhadap arus migrasi masuk. Adanya notasi negatif mengindikasikan bahwa ada daerah lain di luar 10 daerah yang dianalisis memiliki tingkat pendapatan per kapita dan upah yang lebih besar.
Akibatnya, peningkatan penghasilan secara rata-rata nasional justru menyebabkan ke-10 daerah itu menurun daya tariknya untuk bermigrasi. Apalagi, ke-10 daerah itu mayoritas adalah daerah industri yang tingkat upah minimumnya relatif ”terukur” dan tidak akan meningkat secara signifikan.
Motif Lain
Selain motif ekonomi, Sukamdi menjelaskan adanya kemungkinan faktor lain yang mempengaruhi orang untuk bermigrasi, yakni pendidikan. Contoh nyata ada di Provinsi DIY, dan Kabupaten Sleman secara spesifik. “Migran masuk di DIY itu selalu positif, tapi kebanyakan yang datang adalah pelajar atau mahasiswa,” tegasnya.
Hal ini mengingat DIY dan Sleman dikenal sebagai kota pendidikan. Secara ekonomi, kontribusi sektor pendidikan Sleman pun cukup kuat, yakni mencapai 10,23 persen. Kendati kontribusi industri juga menjadi yang terbesar, namun besarannya tak terpaut jauh, yakni hanya 12,56 persen.
Cholifihani juga mengatakan bahwa sektor pendidikan yang cukup menarik para migran juga tergambar dari hasil sensus terbaru yang dilakukan oleh BPS. “Ada yang menarik di Long Form Sensus Penduduk 2020. Ekonomi memang masih menjadi daya tarik terkuat orang bermigrasi. Tapi saat ini, pendidikan menduduki posisi kedua setelah ekonomi sebagai alasan orang bermigrasi,” tuturnya.
Ferry Hadiyanto, Staf Ahli Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mencontohkan Jawa Barat menjadi daerah tujuan migrasi karena memiliki lebih dari 400 perguruan tinggi.
Faktor lain yang mungkin menjadi penarik orang bermigrasi adalah lingkungan, namun tidak bisa tertangkap dalam model karena keterbatasan penyajian data secara matematis. Deka (27) mengaku memilih Bandung sebagai tujuan pertama rantaunya karena karakteristik kotanya sama seperti tempat tinggalnya.
“Memang aku milihnya Bandung. Karena Bandung ‘kan kurang lebih suasananya nggak jauh dari kota asalku, Salatiga,” ungkap guru sekolah swasta di Kota Bandung itu.Deka menambahkan, Bandung juga memberikan ruang gerak yang dinamis khususnya bagi kelompok muda untuk menyalurkan kreativitas mereka.
Dari deskripsi hasil analisis itu ditemukan sejumlah hal penting yang patut diantisipasi pemerintah terkait fenomena migrasi di Indonesia. Todaro menyatakan bahwa pemahaman terhadap penyebab dan faktor penentu migrasi menjadi bekal yang penting untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat terkait fenomena tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kota Metropolitan Penyumbang Terbesar Arus Migrasi