Jakarta Bukan Lagi Tujuan Migrasi
Dalam satu dekade terakhir, daerah tujuan perpindahan penduduk di Indonesia berubah. Kota-kota utama seperti Jakarta bukan lagi menjadi tujuan pelaku migrasi. Sebagian besar migran telah bergeser ke daerah penyangga.
Secara umum, pengertian migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan melewati batas administrasi daerah atau batas negara dengan tujuan untuk tinggal menetap.
Penduduk atau masyarakat yang melakukan migrasi ini disebut dengan kaum migran. Di Indonesia, arus balik Lebaran menjadi salah satu momentum yang banyak membuka migrasi. Para pemudik membawa sanak saudara atau kolega saat kembali dari tempat asal.
Fenomena migrasi di Indonesia sangat dinamis dan cenderung bergeser ke daerah penyangga kota utama. Fakta tersebut didapat dari hasil analisis Litbang Kompas tentang data migrasi penduduk di 514 kabupaten/kota. Data migrasi diambil dari data Susenas dalam kurun 2013-2021 dengan membandingkan jawaban dari pertanyaan lokasi tempat tinggal saat ini dengan tempat tinggal lima tahun lalu.
Hasilnya, kota-kota utama seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan tidak lagi menjadi primadona para migran. Daerah penyangga di sekitar kota-kota utama itulah yang kini menjadi tujuan pendatang. Hal ini salah satunya dipicu berkembangnya daerah penyangga yang memiliki sejumlah daya pikat yang mengarah seperti halnya kota-kota besar tujuan utama migrasi.
Direktur Fasilitasi Penataan Persebaran Penduduk di Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Wibowo Puji Raharjo mengatakan, perpindahan penduduk ke daerah sekitar kota utama terjadi karena ada daya tarik yang kuat, seperti pembangunan, ekonomi, dan pendidikan.
Hal senada juga disampaikan Budi Situmorang, Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. ”Kota satelit (daerah penyangga) berkembang menjadi tujuan migrasi karena letaknya relatif dekat dan ada layanan fasilitas perkotaan serta transportasi yang semakin andal,” ujar Budi saat ditemui di Jakarta, Jumat (28/4/2023).
Pergerakan penduduk yang masuk ke daerah-daerah penyangga itu setidaknya terlihat pada hasil olahan data Susenas 2013. Saat itu, ada enam daerah yang menjadi tujuan pendatang, yaitu Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Depok.
Sementara itu, masih ada empat kota utama yang menjadi tujuan prioritas para migran, yaitu Kota Jakarta Timur, Kota Surabaya, Kota Batam, dan Kota Jakarta Barat.
Empat tahun berselang, daerah penyangga tidak hanya mendominasi daerah-daerah tujuan migrasi, tetapi juga mulai menggeser kota-kota tujuan utama. Hanya tersisa tiga kota utama yang menjadi tujuan migrasi terbesar, yaitu Kota Jakarta Timur, Kota Jakarta Barat, dan Kota Surabaya.
Selanjutnya, pada tahun 2021 seluruh kota utama yang menjadi 10 besar tujuan migrasi telah digantikan oleh daerah penyangga di sekitarnya. Ke-10 daerah baru dengan jumlah migrasi masuk terbanyak ialah Kota Depok, Kota Bekasi, Bogor, Bekasi, Deli Serdang, Bandung, Tangerang, Sleman, Kota Tangerang, dan Kota Bandung. Mayoritas tujuan migrasi ini masih didominasi daerah-daerah di Pulau Jawa.
”Ada pergeseran tujuan migrasi secara umum. Apabila dilihat di tingkat perkotaan, kota-kota di Pulau Jawa masih menjadi tujuan utama, tetapi juga ada kecenderungan pergeseran ke pinggirannya. Contohnya, migrasi neto ke DKI Jakarta minus sejak tahun 1990-an,” ujar Sukamdi, dosen Fakultas Geografi UGM dan Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan daerah penyangga itu dipilih menjadi tujuan migrasi. Salah satu contohnya adalah Kota Bekasi yang memiliki beberapa variabel penarik yang mendorong masifnya arus perantau di kota ini.
”Selain ada tren pembangunan ke arah timur, industri-industri juga memikat, termasuk harga hunian yang masih terjangkau. Para pendatang banyak berasal dari wilayah sekitar, seperti Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bogor,” ujar Taufiq R Hidayat, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi, Jawa Barat.
Baca juga : Gambaran Urbanisasi yang Perlu Dipertanyakan
Daerah penyangga
Meningkatnya arus migrasi ke daerah penyangga tersebut salah satunya berkaitan dengan proses aglomerasi wilayah yang kian mengaburkan batas-batas antardaerah. Aglomerasi merupakan kawasan yang saling berkaitan satu sama lain sehingga dapat disatukan dalam satu wilayah meski secara administrasi berbeda.
Aglomerasi dapat juga diartikan sebagai kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa pusat kota dan kabupaten yang saling terhubung. Misalnya, aglomerasi Jabodetabek yang menempatkan kota Jakarta sebagai kota utama dan didukung daerah penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Selain Jabodetabek, ada kawasan Mebidangro dengan kota utama Kota Medan dan daerah penyangganya Kabupaten Binjai, Deli Serdang, dan Karo. Di timur Pulau Jawa terdapat kawasan Gerbangkertosusila dengan kota utama Surabaya dan daerah penyangganya Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, dan Kota Mojokerto.
Meningkatnya arus migrasi ke daerah penyangga tersebut salah satunya berkaitan dengan proses aglomerasi wilayah yang kian mengaburkan batas-batas antardaerah.
Di Jawa Barat, terdapat Bandung Raya dengan Kota Bandung sebagai kota utama dan daerah penyangganya Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Kota Cimahi.
Prof Wiwandari Handayani, Ketua Departemen Perencanaan Wilayah Kota Universitas Diponegoro, mengatakan, dengan aglomerasi itu, sejumlah daerah penyangga dapat memperoleh manfaat bagi kemajuan wilayahnya. Namun, hal ini perlu pengelolaan yang baik dari pemerintah daerah setempat agar tidak berdampak negatif bagi masyarakat yang bermukim di daerah tersebut.
”Daerah tujuan migrasi harus cek daya tampung dan daya dukung lingkungan yang dilihat dari aspek lahan, air, dan energi. Pengelolaan wilayah aglomerasi itu lebih penting” tutur Wiwandari saat dihubungi pada Senin (3/4/2023).
Persiapan daya dukung ini penting dilakukan terutama di wilayah aglomerasi yang arus migrasi antardaerahnya cukup besar. Misalnya saja seperti wilayah Bodetabek yang ”menampung” aliran penduduk yang keluar dari Jakarta yang mencapai 69.000 jiwa pada 2021.
Baca juga : Ekonomi, Faktor Utama Migrasi
Antisipasi daerah
Peningkatan arus migrasi dapat menjadi peluang besar untuk mendorong pembangunan wilayah. Muhammad Cholifihani, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan, 62,49 persen penduduk yang bermigrasi adalah penduduk usia kerja. Usia produktif ini berpotensi menguntungkan daerah tujuan migrasi, khususnya dalam peningkatan perekonomian daerah.
Namun, hal tersebut bagaikan dua sisi mata uang. Potensi positif tersebut juga berpeluang memiliki dampak negatif. Masifnya migrasi penduduk turut menambah beban daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Akibatnya, muncul permukiman kumuh, polusi udara, pencemaran lingkungan, hingga konflik sosial antarmasyarakat. Budi Situmorang menilai, ketidaksiapan daerah tujuan migrasi akan menyebabkan munculnya fenomena kemacetan dan kawasan kumuh.
Dengan memahami akibat-akibat yang ditimbulkan dari migrasi itu, pemerintah daerah dapat menyiapkan sejumlah solusi kebijakan yang tidak berdampak negatif secara sosial akibat pergeseran manusia antarwilayah ini.
Jadi, pergeseran masyarakat dari kota-kota utama seperti halnya Jakarta ke daerah penyangganya tidak akan menimbulkan dampak yang buruk wilayah hinterland tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kota Metropolitan Penyumbang Terbesar Arus Migrasi