Kota Metropolitan Penyumbang Terbesar Arus Migrasi
Pendatang yang masuk ke 10 tujuan utama migrasi nasional tahun 2021 berasal dari daerah-daerah di sekitarnya. Kota-kota besar justru menjadi penyumbang terbesar arus migrasi masuk di 10 daerah itu.
Hasil analisis data Susenas 2021 oleh Litbang Kompas menemukan 10 daerah utama tujuan migrasi. Kesepuluh daerah itu ialah Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Sleman, Kota Tangerang, dan Kota Bandung.
Mayoritas pendatang berasal dari kota-kabupaten yang berbatasan langsung dengan daerah itu. Kota-kota utama di sekitarnya justru menjadi penyumbang migran terbesar. Fenomena ini salah satunya terjadi di kawasan Jabodetabek.
Mayoritas pendatang di daerah tujuan migrasi yang berada di kawasan Bodetabek berasal dari DKI Jakarta yang notabene merupakan kota utama (primate city). Contohnya, separuh migran di Kota Depok datang dari Jakarta. Di Kota Bekasi, pendatang asal Jakarta berjumlah 87.700 jiwa atau 42 persen dari total pendatang di kota ini.
Tidak hanya di kawasan Bodetabek, pola serupa juga terjadi di empat daerah utama tujuan migrasi lainnya. Di Deli Serdang, mayoritas pendatang merupakan penduduk dari Medan. Kabupaten Bandung menerima sekitar 75.000 pendatang yang berasal dari Kota Bandung. Serupa dengan itu, Kabupaten Sleman menerima mayoritas pendatang dari Kota Yogyakarta.
Fenomena tersebut menarik untuk dicermati mengingat selama ini kota-kota utama dianggap sebagai tujuan prioritas bagi para pendatang. Namun, sekarang justru kota-kota utama ini menjadi penyumbang migran ke daerah di sekitarnya.
Di Jakarta, tren perpindahan warga Ibu Kota keluar daerah itu sudah terjadi sejak 1990-an. Menurut Sukamdi, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, hal itu dikuatkan dengan data migrasi risen neto DKI Jakarta yang tercatat minus. Artinya, lebih banyak orang yang berpindah dari Jakarta daripada yang masuk ke Ibu Kota.
Salah satu penyebab terjadinya pola ini adalah kota-kota utama sudah terlalu padat dan berkembang sehingga menjadi ”jenuh”. Kepadatan penduduk tinggi, harga lahan mahal, dan harga-harga cenderung tinggi membuat sebagian penduduk memilih berpindah ke daerah-daerah penyangga. Di daerah hinterland itu, harga lahan lebih terjangkau dan kualitas ruang hidup juga dirasa masih lebih baik.
Di kota-kota utama banyak pendatang yang sifatnya temporer atau tidak memiliki hunian tetap. Ketika para pendatang ini mulai membutuhkan hunian tetap, mereka cenderung memilih daerah penyangga sebagai tempat tinggal.
Selain dari kota-kota besar utama, kaum migran yang berpindah ke 10 daerah itu juga berasal dari ”kota-kota kecil” di sekitarnya. Misalnya, Deli Serdang menjadi tujuan migran bagi warga dari Langkat dan Tebing Tinggi.
Kabupaten dan Kota Bandung menampung banyak pendatang dari Garut, Sumedang, Cianjur, Ciamis, dan Bandung Barat. Kabupaten Sleman menerima pendatang cukup banyak dari Bantul, Gunungkidul, Kota dan Kabupaten Magelang.
Sukamdi menyebutkan, pola ini sudah terjadi sewajarnya sesuai dengan teori migrasi bahwa orang cenderung bermigrasi ke daerah yang jaraknya dekat dengan tempat asalnya. Namun, ekonomi tetap menjadi alasan utama di balik perpindahan tersebut.
Apalagi, 10 daerah tersebut berbatasan langsung dengan kota-kota utama yang notabene merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan. Berkembangnya sarana dan prasarana transportasi, infrastruktur, dan fasilitas publik membuat kota utama dan pinggiran kota tidak jauh berbeda. Daerah-daerah penyangga ini menjadi gerbang masuk pendatang untuk mencari peruntungan di kota utama.
Taufiq R Hidayat, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi, mengatakan, Kota Bekasi merupakan gerbang timur Jakarta. Mereka yang ingin bekerja di Jakarta biasanya masuk ke Bekasi dulu. Setelah mendapatkan KTP Jabodetabek untuk melamar pekerjaan, para pendatang kemudian tinggal di kota itu atau bisa jadi berpindah ke kota-kota lain di sekitarnya.
Pola serupa terjadi di Kabupaten Deli Serdang. ”Memang Deli Serdang ini daerah yang strategis di Sumatera Utara. Jika di Jakarta ada Jabodetabek yang mengelilingi, kami tidak bersama kabupaten lain. Jadi, sepenuhnya Medan dikelilingi oleh Deli Serdang sehingga ini menjadi potensi untuk orang bergerak ke Deli Serdang,” kata Remus Hasiholan Pardede, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan Kabupaten Deli Serdang, saat dihubungi pada Selasa (18/4/2023).
Dosen Sosiologi dan Ilmu Sosial Politik Universitas Sumatera Utara, Prof Badarrudin, juga melihat bahwa arus migrasi ke Deli Serdang didukung letak daerah itu yang berbatasan dengan Kota Medan. Para pendatang tidak langsung menetap di Kota Medan. Mereka tinggal sementara dahulu bersama sanak keluarga yang ada di Deli Serdang.
Daerah tujuan utama migrasi dipandang cukup menjanjikan bagi pendatang untuk meningkatkan perekonomiannya. Elis (43), pemilik warung makan di Desa Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung, merasa di tempat tinggalnya saat ini lebih memberikan kemudahan untuk membuka usaha dibandingkan dengan daerah asalnya, Garut. ”Di sini jualan lebih gampang. Dulu (pernah) ada usaha konfeksi, soalnya pasar dadakan di Bandung, kan, banyak,” ungkapnya saat ditemui di warungnya, Senin (17/4/2023).
Sektor informal memang menjadi peluang usaha bagi para pendatang di daerah utama tujuan migrasi. Menurut Sukamdi, sektor informal berkembang karena banyak pendatang yang tidak terserap ke lapangan kerja di daerah tujuan migrasi.
Mudahnya berusaha di sektor informal membuat para pendatang mulai membuka usaha kecil-kecilan dengan modal seadanya. Apalagi, di daerah utama tujuan migrasi, terbuka lebar peluang untuk menjajakan aneka dagangan. Hal ini dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan penghidupan pendatang di daerah asalnya.
Hal tersebut dapat menjadi keuntungan bagi daerah yang dituju dengan maraknya jasa perdagangan informal itu. Namun, peluang ini bisa juga menjadi beban bagi daerah yang dituju.
Hal itu bergantung pada kesiapan daerah mengatur dan mengelola kehadiran para migran. Tidak sekadar pencatatan kependudukan, tetapi juga termasuk bagaimana memastikan keberlangsungan hidup mereka, salah satunya di sektor informal.
”Tapi, kalau kita mau masuk ke sektor informal, regulasi tentang sektor informal harus ada. Misal daerah mana saja yang bisa untuk dagang kaki lima, daerah mana yang tidak. Dengan demikian, kedatangan para migran walaupun mereka bekerja di sektor informal kemudian tidak menimbulkan masalah di kota tersebut,” ucap Sukamdi. (LITBANG KOMPAS)