Daerah Tujuan Migrasi Menyimpan Banyak Masalah
Daerah tujuan migrasi yang menjadi sentra perekonomian dan memiliki fasilitas pendukung lengkap ternyata belum mampu memberikan kehidupan layak bagi warganya, termasuk bagi para pendatang.
Daerah-daerah tujuan utama pelaku migrasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terbangun secara baik. Daerah tersebut belum mampu memberikan kehidupan yang layak huni bagi 27,8 juta jiwa penduduknya.
Minimnya kelayakan tersebut terlihat dari indeks layak huni hasil analisis Litbang Kompas. Indeks ini diolah dari data kuantitatif yang menjadi indikator pembangunan daerah layak huni. Hasilnya, semua daerah yang menjadi tujuan utama migrasi tahun 2021 belum layak huni. Daerah-daerah tersebut ialah Kota Depok, Kota Bekasi, Bogor, Bekasi, Deli Serdang, Bandung, Tangerang, Sleman, Kota Tangerang, dan Kota Bandung.
Fenomena ini menjadi ironi lantaran daerah tujuan migrasi yang juga menjadi sentra perekonomian dengan upah relatif tinggi dan fasilitas pendukung lengkap ternyata belum sepenuhnya memberikan kehidupan yang layak bagi warganya. Kemakmuran yang didapat dengan upah relatif tinggi pun menjadi kurang bernilai karena tidak disertai dengan kualitas kehidupan lebih baik.
Hampir semua daerah tujuan migrasi di Indonesia belum siap menerima kehadiran pendatang dalam jumlah masif. Pembangunan yang sporadis dan tidak terkontrol bermunculan seiring padatnya wilayah akibat serbuan para pendatang. Alih-alih hidup tenteram dan nyaman, warga setempat termasuk para perantau justru harus hidup berdampingan dengan sejumlah persoalan.
Menurut pengamat lingkungan perkotaan dari Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, mengatakan bahwa perkembangan kota yang acak mengakibatkan banyak persoalan. ”Perkotaan di Indonesia umumnya berkembang mengikuti pola urban sprawl (acak atau tidak terencana). Perkembangan kota tidak didukung dengan sarana-prasarana tepat pada waktunya sehingga terjadi keterlambatan pembangunan dan muncul banyak masalah sosial serta ekonomi,” ujar Rudy, Kamis (6/4/2023).
Potensi persoalan itu perlu disikapi dengan langkah mitigasi. Muhammad Cholifihani, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas, menyampaikan pentingnya kesiapan daerah dalam menghadapi fenomena migrasi tersebut. Menurut Cholifihani, kesiapan itu sangat penting karena salah satu tujuan utama RPJMN 2020-2024 ialah menciptakan pemukiman dan perkotaan yang layak huni. ”Pentingnya perkotaan dan pemukiman layak huni dengan mengembangkan infrastruktur pelayanan dasar, ekonomi, air bersih, sanitasi, dan infrastruktur penunjang lainnya,” ujarnya.
Indeks layak huni
Indeks layak huni disusun dari 16 indikator yang dikelompokkan ke dalam empat parameter utama, yakni sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur. Kompas menggunakan data tahun 2021 pada setiap indikator. Parameter sosial disusun oleh indikator rasio kejahatan yang dilaporkan, rasio tenaga pendidik, dan rasio tenaga kesehatan. Untuk parameter ekonomi terdiri dari jumlah pengangguran dan besaran upah minimum.
Parameter lingkungan diukur melalui tingkat kepadatan penduduk, kejadian bencana, dan ruang terbuka hijau. Terakhir, parameter infrastruktur meliputi akses air bersih, ketersediaan sanitasi, akses listrik, rasio jumlah bangunan sekolah, rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah rumah sakit, kualitas jalan yang baik, dan persentase luasan permukiman layak huni.
Baca juga: Kota Metropolitan Penyumbang Terbesar Arus Migrasi
Setiap parameter tersebut memiliki bobot nilai yang berbeda-beda. Tertinggi adalah parameter infrastruktur dengan bobot 33 persen. Selanjutnya, parameter ekonomi 24 persen, lingkungan 23 persen, dan sosial 20 persen. Indeks ini memiliki rentang penilaian 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1, maka tingkat layak huni daerah semakin tinggi. Artinya, daerah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk untuk tinggal menetap dan nyaman saat beraktivitas.
Analisis dilakukan pada 514 kabupaten/kota di Indonesia yang kemudian dibagi ke dalam empat kategori wilayah berdasarkan jumlah penduduknya. Kategori yang dipakai adalah metropolitan, perkotaan besar, perkotaan sedang, dan perkotaan kecil. Adapun 10 daerah tujuan utama migrasi termasuk dalam kategori metropolitan, yaitu daerah dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Hasil perhitungan indeks menemukan bahwa seluruh daerah di Indonesia memperoleh skor tidak lebih dari 0,7. Artinya, daerah-daerah di Indonesia belum sepenuhnya mampu menyediakan ruang hidup yang layak huni bagi penduduknya. Khusus untuk sepuluh daerah tujuan utama migrasi di Indonesia, capaian tertinggi diperoleh Kabupaten Sleman dengan skor hanya 0,59.
Setelah Sleman, urutan skor tertinggi daerah tujuan utama migrasi berikutnya adalah Bekasi (0,564), Tangerang (0,56), Deli Serdang (0,553), Kota Depok (0,551), Kota Bekasi (0,539), dan Kota Tangerang (0,502). Selain itu, masih ada tiga daerah lainnya yang skornya masih di bawah angka 0,5. Daerah tersebut adalah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Bogor. Ketiga daerah ini belum mampu mencapai batas tengah rentang nilai indeks yang mengindikasikan bahwa tingkat layak huninya masih relatif rendah.
Salah satu daerah yang mencatat skor paling rendah adalah Kabupaten Bogor. Tak hanya di antara sepuluh daerah utama tujuan migran, Bogor juga menjadi yang terbawah dari 86 kabupaten/kota yang masuk kelompok daerah metropolitan. Dari semua parameter, skor lingkungan di Kabupaten Bogor tercatat sebagai yang terendah, yakni 0,30. Jika ditelusuri lebih detail, banyaknya kejadian bencana menjadi titik lemah Kabupaten Bogor. Sepanjang tahun 2021, tercatat 389 kejadian bencana oleh BNPB dan menjadi yang terbanyak secara nasional.
Belum memadai
Selain Kabupaten Bogor, skor indeks layak huni yang juga tergolong rendah adalah Kota Bandung dengan poin 0,46. Parameter ekonomi tercatat menjadi yang paling lemah. Salah satunya disebabkan karena masih relatif tingginya pengangguran di Kota Bandung. BPS Jawa Barat mencatat, tingkat pengangguran Kota Bandung tahun 2021 sebesar 11,46 persen.
Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi, mengindikasikan bahwa daerah tujuan migrasi belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua pendatang. Tanpa pekerjaan, pendatang tak memiliki pendapatan sehingga relatif sulit mengakses kehidupan yang layak.
Baca juga: Ekonomi, Faktor Utama Migrasi
Idam Rahmat, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Bappeda Jawa Barat, mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki program pendidikan vokasi dan mengoptimalkan balai lapangan kerja di masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Program ini untuk mempertemukan antara pencari kerja dengan penyedia lapangan kerja. Langkah serupa dilakukan oleh Pemda Deli Serdang yang menyiapkan program pelatihan melalui kelompok atau UMKM.
Tak hanya indikator ekonomi dan lingkungan saja, parameter sosial dan infrastruktur di sepuluh daerah utama tujuan migrasi juga relatif masih kurang. Sarana-sarana pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan hingga kesehatan belum semuanya tersedia secara lengkap dan merata. Skornya masih ada di kisaran angka 0,10 hingga 0,40.
Dengan skor secara keseluruhan yang relatif masih rendah itu, maka kesiapan daerah tujuan dalam menghadapi fenomena migrasi menjadi suatu keharusan. Jika terlambat, pembangunan menjadi tidak terkontrol. Serbuan para pendatang yang tidak terbendung akan berpotensi memperparah persoalan lama dan menimbulkan persoalan baru.
Idam menambahkan, untuk memastikan kabupaten/kota di Jawa Barat terbangun secara layak, pemda menggunakan stimulus berupa program kota sehat dan indeks desa membangun. Secara nasional, Budi Situmorang, Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian ATR/BPN, menekankan pentingnya pengembangan kawasan dan perencanaan ruang secara obyektif serta dinamis.
Potret masalah di daerah tujuan migrasi menjadi pelajaran baik untuk melihat kembali rancangan ibu kota baru yang digadang-gadang akan menjadi tujuan baru para pelaku migrasi. Cholifihani mengatakan, hingga 2045, diperkirakan 1,8 juta-2 juta jiwa akan tinggal di kawasan pusat ibu kota baru.
Bukan tidak mungkin, jumlahnya akan jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Sebab, fenomena ada gula ada semut masih berlaku sampai kapan pun. Pembangunan kawasan pemerintahan pun akan diikuti perkembangan sektor lainnya, seperti pendidikan, hunian, industri dan jasa lainnya.
Perkiraan jumlah pendatang perlu dihitung lebih mendetail agar tidak terjadi kegamangan seperti yang terjadi selama ini. Daerah tujuan lain yang nantinya akan diserbu pendatang pun perlu diperhitungkan agar dapat mempersiapkan segala fasilitas pendukung yang diperlukan. Kesiapan pemerintah daerah menjadi penting agar harapan warga kota dan para pendatang untuk hidup lebih layak tak hanya angan-angan belaka. (LITBANG KOMPAS)