Memperkuat Afirmasi Kuota Caleg Perempuan
Kebijakan afirmasi terhadap perempuan untuk menjadi calon legislatif dijamin oleh undang-undang pemilu. Jaminan ini harus dijaga demi kelangsungan masa depan keterwakilan perempuan di pemilu.
Langkah Komisi Pemilihan Umum mengembalikan penghitungan pembulatan ke atas untuk kuota bagi perempuan dalam daftar calon anggota legislatif menjadi langkah yang harus diambil untuk meneguhkan komitmennya dalam melaksanakan undang-undang.
Setidaknya langkah ini menjadi sinyal bahwa semua pemangku kepentingan memiliki komitmen yang sama untuk menjalankan kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam menjaga kesempatannya menjadi calon anggota legislatif di pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Langkah KPU ini menjadi jawaban atas kritik dan masukan publik, terutama yang diwakili oleh sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Kritikan ini tertuju pada Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10/2023 yang kemudian diikuti dengan Keputusan KPU No 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal tersebut memberikan petunjuk soal penghitungan kuota perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg). Dari aturan di atas disebutkan, dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Aturan ini kelihatannya wajar karena secara umumnya perlakuan terhadap pembulatan memang seperti itu. Namun, seperti yang disampaikan oleh Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan bahwa KPU seharusnya tetap berpegang pada amanah konstitusi, yakni Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memberikan afirmasi pada perempuan untuk mendapatkan kesempatan menjadi calon legislatif, yakni minimal 30 persen dari daftar calon legislatif dari partai politik di setiap dapil.
Aturan di Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10/2023 justru dinilai bertentangan dengan amanah undang-undang tersebut. Hal ini karena penggunaan rumus pembulatan ke bawah yang berdampak pada keterwakilan perempuan justru berpotensi kurang dari 30 persen pada sejumlah dapil.
Jika disimulasikan dengan kursi DPR, penerapan angka pecahan pembulatan ke bawah tersebut berdampak pada pencalonan perempuan pada 38 daerah pemilihan yang kurang dari 30 persen. Setelah desakan inilah, kemudian KPU mengembalikan penghitungan pembulatan ke atas.
Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam pernyataan pers bersama Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) setelah melakukan rapat koordinasi bersama, Selasa (9/5/2023).
Menurut Ketua KPU, Pasal 8 Ayat (2) diubah menjadi ”dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.
Ketentuan ini sama dengan aturan penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan dalam draf uji publik sebelum dilakukan konsultasi dengan Komisi II DPR. Penghitungan ini juga sama dengan yang diterapkan di Pemilu 2019, yakni pembulatan ke atas.
Atas langkah KPU ini, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dalam pernyataan sikapnya pada 10 Mei 2023 menyebutkan bahwa kebijakan KPU melakukan koreksi terhadap ketentuan Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 harus dimaknai sebagai pengakuan adanya pelanggaran hukum dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 245 UU No 7 Tahun 2017 yang secara tegas menjamin paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan juga menuntut KPU memiliki sence of urgency dengan segera menetapkan revisi PKPU No 10 Tahun 2023 dengan menyampaikan pemberitahuan kepada DPR dan pemerintah.
Baca juga : KPU Diminta Konsisten Revisi PKPU Terkait Kuota Caleg Perempuan
Kebijakan afirmasi
Langkah KPU ini sedikit banyak melegakan, tentu tidak saja bagi perempuan yang berniat maju sebagai calon legislatif di Pemilu 2024, tetapi juga bagi publik secara umum. Bagaimanapun, perjuangan kebijakan afirmasi 30 persen kuota bagi perempuan dalam daftar calon legislatif bukanlah perjuangan yang mudah.
Lahirnya kebijakan afirmasi perempuan dalam daftar calon legislatif ini sedikit banyak terbukti mampu meningkatkan jumlah kursi DPR yang berhasil diduduki oleh perempuan. Data Litbang Kompas menunjukkan ada peningkatan jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR dari pemilu ke pemilu.
Jika mengacu pada data saat pelantikan, ada tren peningkatan jumlah anggota DPR dari perempuan. Pada Pemilu 1999 jumlahnya tercatat ada 9 persen. Di pemilu awal reformasi ini memang perempuan belum secara optimal masuk dalam gelanggang politik alias masih didominasi calon legislatif dari laki-laki. Namun, di Pemilu 2004 jumlahnya merangkak naik, yakni mencapai 10,7 persen.
Anggota DPR dari kalangan perempuan kembali meningkat di Pemilu 2009 dengan capaian 17,6 persen. Jumlah ini relatif bertahan di Pemilu 2014 yang berada di angka 17,7 persen. Terakhir, di Pemilu 2019 lalu jumlahnya tercatat lebih tinggi lagi dengan menorehkan angka 20,9 persen. Artinya, ada peningkatan sekitar dua kali lipat lebih jumlah perempuan yang masuk ke Senayan dibandingkan awal reformasi.
Baca juga : KPU Kembalikan Penghitungan Pembulatan ke Atas untuk Caleg Perempuan
Distribusi dapil
Meskipun jumlah perempuan yang menduduki kursi DPR mengalami tren kenaikan, jika dilihat dari distribusi kursi yang diraih berbasis daerah pemilihan (dapil), jumlahnya relatif masih stagnan. Hal ini terekam dari hasil analisis Litbang Kompas yang menemukan tren jumlah dapil yang kursinya dimenangi oleh perempuan masih banyak yang di bawah kuota pencalonannya (30 persen).
Jika dibagi dalam empat kategori persentase kursi DPR yang berhasil diraih perempuan, kategori dengan jumlah kursi yang diraih perempuan jauh di bawah kuota pencalonannya masih mendominasi. Lihat saja, kategori paling minim, yakni 0-29 persen kursi DPR yang diraih perempuan jumlahnya masih lebih banyak dari kategori lainnya, bahkan trennya meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2009, misalnya, di kategori ini jumlahnya ada 57 dapil atau 74 persen dari total dapil dimana rata-rata perempuan meraih 0-1 kursi di dapil tersebut. Kategori ini makin kukuh di Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 karena jumlahnya makin meningkat, yakni berada di angka 77 persen.
Sementara kategori kedua, yakni dapil dimana jumlah kursi DPR yang diraih perempuan relatif sama dengan kuota pencalonannya cenderung naik turun alias tidak stabil. Di Pemilu 2009 jumlahnya mencapai 7,8 persen dari total dapil.
Angkanya sedikit meningkat di Pemilu 2014 dengan 11,7 persen, namun kembali menurun di Pemilu 2019 lalu dengan 7,5 persen. Hal ini menjadi gambaran tidak mudah bagi perempuan untuk merebut kursi minimal sama dengan kuota pencalegannya, yakni 30 persen.
Sementara itu kategori ketiga dan keempat adalah dapil yang berhasil direbut kursinya oleh perempuan melebihi kuota pencalegannya. Kategori ketiga melebihi, tetapi masih di kisaran 50 persen dari total kursi yang diperebutkan di dapil. Kategori keempat angkanya jauh di atas 50 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan.
Hampir sama dengan kategori kedua, kategori ketiga dan keempat ini juga belum stabil diraih oleh perempuan dalam perebutan kursi. Untuk kategori ketiga, di Pemilu 2009 ada 13 dapil yang kursinya berhasil direbut oleh perempuan dengan kisaran angka 36-50 persen.
Jumlahnya menurun di Pemilu 2014 dengan hanya 5,1 persen dapil yang kursinya berhasil direbut. Jumlahnya kembali meningkat di Pemilu 2019 dengan 12,5 persen dapil dari total dapil yang kursinya, yakni sebanyak 36-50 persen dari total kursi, berhasil direbut perempuan.
Hal yang sama juga terjadi di kategori keempat, yakni dapil yang kursinya berhasil direbut perempuan dengan kisaran 51 persen lebih dari total kursi di dapil tersebut. Dari tiga pemilu terakhir, rata-rata masih kurang dari 5 persen jumlah dapil yang menempatkan perempuan meraih kursi lebih dari separuh kursi yang disediakan di dapil tersebut.
Dari kategori ketiga dan keempat ini, setidaknya ada sejumlah dapil yang di tiga pemilu terakhir ini konsisten proporsi jumlah kursi DPR yang berhasil direbut perempuan melebihi kuota pencalegannya. Dapil-dapil tersebut adalah Bengkulu, Jawa Barat IV, Jawa Barat VII, Banten I, Sulawesi Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Jika berpijak ada tren kenaikan jumlah kursi DPR secara nasional yang berhasil diraih perempuan, tetapi secara distribusinya cenderung belum merata di tiap dapil, hal itu menandakan perjuangan politik kaum perempuan tetap harus menjadi agenda ke depan.
Kebijakan afirmasi kuota perempuan dalam pencalegan di pemilu tetap harus menjadi agenda yang harus terus dikuatkan dan dijaga demi keberlangsungan penguatan peran perempuan di panggung politik nasional. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Revisi PKPU Tak Akan Ganggu Tahapan Pencalonan Anggota Legislatif