Revisi PKPU Tak Akan Ganggu Tahapan Pencalonan Anggota Legislatif
KPU yang kini tengah merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota diminta konsisten dengan ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30 persen yang diatur undang-undang.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diyakini tidak akan mengganggu tahapan pencalonan anggota legislatif yang saat ini sedang berjalan. Sebab, selain masa tahapan yang relatif panjang, partai politik juga diberi kesempatan untuk mengajukan penggantian calon sementara anggota legislatif hingga bulan November saat penetapan daftar caleg tetap.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota masih sangat memungkinkan. Dari segi waktu, tahapan pencalonan anggota legislatif (caleg) masih sangat panjang dan partai politik masih cukup waktu menyiapkan pengganti.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Tinggal komitmen KPU saja untuk menyelenggarakan pemilu yang tidak melanggar undang-undang dan konstitusi,” ujar Fadli di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Mengacu pada jadwal dan tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, pengajuan bakal caleg berlangsung pada 1-14 Mei. Selanjutnya dilakukan verifikasi administrasi, perbaikan dokumen persyaratan, dan verifikasi administrasi perbaikan dokumen persyaratan bakal calon.
Tahapan penyusunan daftar calon sementara (DCS) baru dimulai pada 6-11 Agustus, dilanjutkan penyusunan dan penetapan DCS, pengumuman DCS, serta masukan dan tanggapan masyarakat. Pada tahap ini, parpol bisa mengganti bakal caleg yang sudah didaftarkan menjadi DCS karena ada tahapan pengajuan pengganti calon sementara (14-20 September) dan verifikasi atas pengajuan pengganti calon sementara (21-23 September). Adapun penetapan daftar caleg tetap (DCT) dijadwalkan pada 3 November.
Oleh karena itu, menurut Fadli, revisi PKPU No 10/2023 masih sangat memungkinkan. Sebab, revisi hanya minor, terkait Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 yang mengatur penghitungan jumlah bakal caleg perempuan. Jika revisi dilakukan lebih cepat, parpol bisa segera mengantisipasi perubahan dengan menyiapkan bakal caleg di beberapa daerah pemilihan yang jumlah minimalnya perempuan bertambah.
Ia pun berharap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera memberikan rekomendasi kepada KPU untuk merevisi pasal tersebut. Jika tidak dilakukan, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan mengambil langkah dengan menguji PKPU 10/2023 ke Mahkamah Agung (MA). Mereka juga akan mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). ”Pilihan membawa ke MA merupakan pilihan terakhir jika Bawaslu tidak segera memberikan rekomendasi revisi,” katanya.
Dalam Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 diatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan. Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Pembulatan ke bawah tersebut membuat persentase keterwakilan perempuan di dapil yang jumlah calegnya 4, 7, 8, dan 11 kurang dari 30 persen. Akibatnya, terdapat pengurangan 1 caleg perempuan di 38 dapil dari 84 dapil dibandingkan dengan di Pemilu 2019 yang menerapkan pembulatan ke atas. Jika PKPU direvisi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, parpol hanya perlu menambah bakal caleg perempuan di dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen.
”KPU tidak perlu mencari alasan pembenaran untuk menjelaskan rumus matematika penghitungan pembulatan desimal. Cukup konsisten dengan undang-undang yang mengharuskan keterwakilan perempuan minimal 30 persen,” tutur Fadli.
Ia menilai, aturan yang dibuat KPU merupakan pelanggaran serius karena telah menyimpangi undang-undang. Padahal, aturan minimal caleg perempuan 30 persen sudah sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Penghitungan matematika pemilu tidak diperlukan karena justru membuat tidak terpenuhinya hak khusus sementara atau affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen.
KPU tidak perlu mencari alasan pembenaran untuk menjelaskan rumus matematika penghitungan pembulatan desimal. Cukup konsisten dengan undang-undang yang mengharuskan keterwakilan perempuan minimal 30 persen,
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, tiga penyelenggara pemilu akan membahas isu keterwakilan perempuan dalam forum tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Selasa malam. Diharapkan ada solusi cepat tanpa menganulir affirmative action dan tidak mengganggu tahapan pemilu yang berjalan.
Parpol sudah siap
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Yanuar Prihatin mengatakan, seandainya ada revisi aturan penghitungan jumlah minimal caleg perempuan, parpol sudah siap terhadap perubahan tersebut. Parpol akan mengikuti ketentuan pemilu yang berlaku. Namun, yang harus diperhatikan, revisi harus memperhatikan waktu agar tidak mengganggu tahapan pencalegan yang sudah berjalan. ”Kalau sekarang, masih mungkin kalau ada perubahan," ujarnya.
Ia menuturkan, aturan penghitungan pembulatan ke bawah mengemuka saat rapat konsinyering pembahasan PKPU pencalegan. Rapat di awal April lalu muncul pembahasan tentang penghitungan 30 persen jumlah minimal caleg perempuan. Sebab, diperlukan rumus matematika untuk menghitung jumlah 30 persen tersebut karena dalam beberapa pemilu penghitungannya tidak selalu persis 30 persen.
”Itu yang ditanyakan oleh hampir semua fraksi, termasuk oleh KPU. KPU juga kan sebetulnya hanya meneruskan tradisi yang lama,” katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa meminta publik agar tidak memahami aturan pembulatan ke bawah sebagai proses kemunduran demokrasi. Pilihan itu diambil sebagai titik temu dalam menghitung keterwakilan perempuan yang sesuai dengan amanat undang-undang. Komisi II DPR ingin tetap menjaga dan merawat demokrasi agar berkembang semakin kuat.
Menurut dia, ada dilema yang dihadapi hampir semua parpol dalam menghadirkan caleg perempuan. Di satu sisi ada aturan jumlah minimal bakal caleg perempuan, tetapi yang memiliki kualitas masih terbatas. Akibatnya, kehadiran caleg perempuan sebagian hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi. Padahal, parpol ingin kehadiran caleg perempuan yang bisa berkontribusi untuk negara.
”Ketika ada dilema pemenuhan kuota caleg perempuan, dan kaidah universal pembulatan matematika. Maka, tolong pahami tentang kesulitan yang dialami partai. KPU juga memahami dinamika yang dialami parpol,” kata Saan.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan, pembahasan mengenai pembulatan ke bawah justru diawali dari perhatian kepada keterwakilan 30 persen perempuan dalam politik. Ada soal afirmasi, partisipasi, kesetaraan jender, dan semangat untuk tidak sekadar menempatkan caleg perempuan sebagai pelengkap. Semua fraksi pun akhirnya sepakat dengan aturan pembulatan tersebut.
Dari beberapa pemilu sebelumnya, lanjutnya, selama ini kecukupan jumlah caleg perempuan sebagian tidak memiliki kemampuan memadai dan kurang mampu bertarung merebut suara dalam pemilu. Kalaupun yang terpilih sebagian besar merupakan keluarga dari kepala daerah maupun pemilik modal. Oleh karena itu, perlu aturan yang lebih substantif agar mampu meningkatkan kualitas politik perempuan.
”Kalau aturan di pemilu sebelumnya diteruskan, tidak akan menguatkan aktivis politik perempuan di parlemen,” ucap Arif.