Problem integritas kalangan aparat negara yang potensial memicu korupsi di Pemerintahan Kota Bandung tergolong di atas rata-rata. Masalah integritas masih banyak bercokol pada birokrasi dalam praktik kerjanya.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Baru saja seminggu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil dalam kasus dugaan korupsi sebagai penerima dan pemberi suap, kini giliran Wali Kota BandungYana Mulyana menjadi tersangka. Dua peristiwa beruntun ini semakin membuktikan jika praktik korupsi dalam pemerintahan daerah semakin masif terjadi.
Dalam lingkup pemerintahan Kota Bandung, peristiwa operasi tangkap tangan KPK pada wali kota, kepala dinas perhubungan, sekretaris dinas perhubungan, dan tiga pihak swasta sebagai pemberi suap itu jelas mengagetkan. Terlebih, pada kesempatan sebelumnya, dalam pelantikan pejabat baru di jajaran pemerintahan Kota Bandung, Yana Mulyana mengingatkan para pegawai mengenai kejujuran dan disiplin dalam bekerja.
Namun, jika mencermati laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan KPK dua tahun terakhir ini, peristiwa penangkapan itu sebenarnya bukan lagi perkara yang mengejutkan. Sebab, berbagai data yang terangkum dalam hasil survei tersebut secara nyata menunjukkan bahwa berbagai problem integritas yang terjadi di dalam pemerintahan Kota Bandung relatif tinggi. Dapat dikatakan, penangkapan aparat pemerintahan kota hanyalah persoalan waktu mengingat kebobrokan integritas yang potensial memancing praktik korupsi.
Berbeda dengan kebanyakan survei lainnya, SPI terbilang komprehensif lantaran merangkum tidak hanya pandangan masyarakat dan para ahli yang terkait, teapi secara khusus merangkum pandangan dan pengalaman dari sisi internal aparat birokrat di 640 instansi pemerintahan, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota, termasuk pemerintahan Kota Bandung.
Berdasarkan hasil survei, skor integritas Kota Bandung tahun 2022 sebesar 72,62 (dari skor tertinggi 100). Skor tersebut masih di atas rata-rata nasional yang pada tahun 2022 sebesar 71,92. Namun, jika dibandingkan dengan capaian pemerintahan kota lainnya di negeri ini, Bandung belum dapat dibanggakan. Posisinya berada pada urutan ke-55 dari 112 pemerintahan kota yang disurvei.
Kondisi Bandung menjadi memprihatinkan jika dicermati bagaimana problem-problem integritas masih banyak bercokol pada birokrasi dan segenap aparat dalam praktik kerjanya. Pada tujuh aspek integritas yang dikaji dari responden berlatar belakang aparatur negara (kalangan internal pegawai), sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, perdagangan pengaruh (trading in influence), sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas terbilang jamak diungkapkan.
Lebih memprihatinkan lagi, dalam berbagai indikator terkait dengan pengelolaan pembelian barang dan jasa, kondisi yang terjadi di pemerintahan Kota Bandung relatif lebih buruk dibandingkan dengan kondisi rata-rata seluruh pemerintahan kota, ataupun bahkan skor rata-rata pemerintahan kabupaten, kota, serta provinsi seluruh negeri ini.
Berdasarkan pengalaman para responden kalangan birokrat di pemerintahan Kota Bandung, mulai dari proses hingga penentuan pemenang pengelolaan pembelian barang dan jasa, sarat dengan praktik koruptif.
Dari sisi proses, misalnya, hampir sepertiga bagian (30,2 persen) dari responden pegawai pemerintah kota menyatakan jika ”proses pemilihan pemenang diatur untuk memenangkan penyedia barang/jasa tertentu”. Besaran proporsi di Bandung terbilang tinggi dan berada di atas rata-rata proporsi pemerintahan kota seluruh Indonesia dan seluruh pemerintahan daerah di negeri ini.
Selain itu, terkait keputusan pemenangan pengadaan barang dan jasa pun tidak lepas dari buruknya problem integritas, mulai dari hasil keputusan para pemenang yang tidak independen tetapi ”dipengaruhi pihak lain” dan penentuan pemenang yang dikondisikan pada hubungan ”kedekatan dengan pejabat (kekeluargaan, organisasi, pendukung politik/tim sukses”. Terkait dengan kedekatan ataupun nepotisme ini, yang cukup mengagetkan jika 41,4 persen responden aparat birokrasi menyatakan terjadi di pemerintahan kota. Proporsi sebesar itu di atas rata-rata kota ataupun kabupaten seluruh negeri ini.
Masih terkait dengan pengadaan barang dan jasa, persoalan suap dan uang pelicin pun bukan persoalan langka. Sebanyak sepertiga responden aparat menyatakan jika pemenang paket pengadaan barang atau jasa ”merupakan peserta yang memberikan sesuatu (uang, barang, fasilitas, dan sejenisnya) kepada pihak terkait”.
Besaran proporsi responden internal pemerintahan Kota Bandung yang mengakui adanya suap ini dalam keseharian aktivitas kerja mereka tergolong tinggi, berada di atas proporsi rata-rata seluruh pemerintahan kota dan secara nasional. Itulah mengapa, penangkapan Wali Kota Bandung Yana Mulyana dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan CCTV dan pengadaan jasa internet untuk layanan digital Bandung Smart City ini menjadi pembenaran dari sedemikian problematiknya korupsi pengadaan barang dan jasa di Bandung.
Selain persoalan pengadaan barang dan jasa, berbagai problem integritas juga terbilang tinggi pada aparat pemerintahan kota Bandung. Dalam menjalankan tugas layanan, misalnya, tidak kurang dari 31,3 persen responden aparat internal pemerintahan kota mengakui pernah punya pengalaman dalam ”melihat atau mendengar pegawai menerima pemberian dalam bentuk uang/barang/fasilitas” dari tugas layanannya.
Begitu pula dalam pengelolaan sumber daya manusia, seperti proses rekrutmen pegawai, promosi, hingga mutasi pun keberadaan nepotisme diakui responden. Seperti juga indikator-indikator integritas lainnya, proporsi yang terjadi di Bandung relatif lebih tinggi ketimbang rata-rata kota-kota lainnya atau secara nasional.
Paling mencolok dan tampaknya sudah menjadi pemandangan umum, terjadinya konflik kepentingan dalam diri aparat. Sebagai contoh, terkait dengan sedemikian besarnya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Di Bandung, hasil survei menunjukkan jika lebih dari separuh bagian responden aparat (55,8 persen) mengakui adanya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.
Tingginya konflik kepentingan yang terjadi menunjukkan masih begitu besarnya problem integritas dalam internal aparatur negara. Menggunakan fasilitas kantor guna kepentingan pribadi, secara tidak langsung menunjukkan bertumbuhnya bibit-bibit penyalahgunaan kewenangan dalam praktik kerja keseharian aparat.
Semakin diperparah pula dalam kasus-kasus lain yang lebih kentara bersifat koruptif. Terkait dengan penyalahgunaan anggaran kedinasan, seperti manipulasi biaya perjalanan dinas, biaya transportasi penugasan masih kerap terjadi. Hasil survei menunjukkan, jika di Bandung tidak kurang dari seperlima bagian responden aparat pemerintahan kota (22 persen) memiliki pengalaman dalam ”mendengar/melihat adanya pegawai yang membuat kuitansi, biaya transportasi, dan biaya lain dalam perjalanan dinas tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya”. (LITBANG KOMPAS)