Mahalnya biaya politik memperbesar kemungkinan tumbuhnya perilaku koruptif setelah kandidat tersebut terpilih. Kondisi ini menjadi siklus yang terus berputar untuk memenuhi kebutuhan tiap periode pencalonan.
Oleh
Eren Masyukrilla
·5 menit baca
Modus korupsi yang dilakukan oleh elite politik jelang Pemilu 2024 kembali terungkap. Kali ini menyeret Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Ibrahim S Bahat. Ben ditangkap bersama istrinya, Ary Egahni, yang juga seorang anggota DPR dari Fraksi Nasdem.
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap keduanya pada Selasa (28/3/2023) atas dugaan korupsi yang dilakukan. Diketahui modus penyelewengan yang digunakan Ben selaku Bupati Kapuas dengan memotong anggaran daerah. Kemudian Ary, diduga memerintahkan sejumlah kepala satuan kerja di Pemerintahan Kabupaten tersebut untuk memberikan uang dan barang mewah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
KPK memperkirakan uang yang diterima pasangan suami dan istri itu dari praktik korupsi mencapai Rp 8,7 miliar. Lebih lanjut dalam penjelasan KPK, Ben diduga juga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemkab Kapuas. Selain itu, berbagai penerimaan serupa juga didapat Ben dari pihak swasta.
Tak kalah dengan itu, sang istri, Ary, diduga juga aktif turut campur tangan dalam urusan pemerintahan di daerah Kapuas. Ary bahkan meminta beberapa kepala SKPD untuk memenuhi keperluan pribadi dalam bentuk uang dan barang-barang mewah.
Mahalnya biaya politik memperbesar kemungkinan tumbuhnya perilaku koruptif.
Hal yang membuat lebih miris, hasil kejahatan korupsi itu juga diperkirakan akan digunakan untuk membiayai keperluan politik keduanya. Dana hasil pemotongan anggaran serta suap itu diduga dipergunakan untuk mendanai kampanye pemilhan kepada daerah dan pemilihan anggota legislatif, termasuk keperluan membayar lembaga survei.
Pasangan politisi itu dijerat dengan Pasal 12 Huruf f dan Pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus korupsi yang menjerat Bupati Kapuas dan istrinya yang juga seorang anggota legislatif ini menjadi potret nyata betapa mahalnya biaya yang harus dipersiapkan oleh kandidat sehingga dapat mendorong perbuatan korupsi. Calon kepala daerah dan calon legislatif perlu persiapan kompleks di berbagai aspek yang tentunya memerlukan biaya yang tidak murah.
Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan riset, dalam sekali pencalonan kepala daerah biaya perlu dipersiapkan mencapai Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Terkait itu pula, angka temuan yang diungkap oleh KPK bahkan jauh lebih besar.
Pencalonan kepala daerah berdasarkan studi yang dilakukan KPK bisa mencapai Rp 150 miliar. Sementara, terkait dengan pemilihan legislatif, sejumlah hasil penelitian yang dilakukan memetakan besaran biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 5 miliar.
Dalam proses penyiapan pencalonan, kandidat perlu membangun konsolidasi tim sukarelawan dan sebagainya. Jumlahnya pun tentu tidak sedikit dan biasanya tersebar secara terstruktur dalam berbagai tingkatan wilayah. Ini tentu memerlukan biaya operasional yang tinggi untuk dapat memobilisasi massa dalam jumlah besar.
Belum lagi pada kebutuhan berbagai alat peraga kampanye mulai dari spanduk, brosur, hingga dalam berbagai bentuk aksesori penyemarak seperti kaos, rompi, dan lain sebagainya. Pengadaan berbagai perlengkapan tersebut juga perlu dipersiapkan dengan anggaran dana yang tidak sedikit karena dialokasikan dalam jumlah yang besar untuk menarik simpati pemilih.
Hal yang juga tidak kalah mahal untuk menyedot kebutuhan kampanye kandidat adalah membuat acara atau kegiatan. Pelaksanaan kegiatan baik dalam skala kecil maupun besar, seperti kampanye akbar tentu pula akan memakan banyak biaya.
Apalagi harus menyuguhi panggung hiburan serta hadiah-hadiah menarik. Saat ini, hal lain yang juga tidak kalah menelan biaya yang mahal terkait dengan ongkos iklan politik yang juga dilakukan di media mainstream maupun berbagai platform media sosial.
Mahalnya biaya politik juga kerap dikaitkan dengan praktik untuk ”membeli” suara pemilih. Praktik politik uang dalam sistem pemilihan yang ada saat ini, dengan tingkat persaingan perebutan suara yang begitu kuat, menjadi begitu lumrah dilakukan.
Tindakan ini pun didukung untuk terus tumbuh subur dengan rendahnya pendidikan politik masyarakat yang masih sangat permisif dengan politik uang.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum mengatur bahwa biaya kampanye kandidat dapat dimungkinkan bersumber dari berbagai pihak di luar partai dan pribadi.
Pasal 13 PKPU No 24/2018, misalnya, mengatur secara sah sumber anggaran kampanye kandidat anggota DPR dan DPRD dapat berasal dari keuangan partai politik, harta pribadi dan berasal dari sumbangan perseorangan atau kelompok, dan/atau badan usaha nonpemerintah.
Meskipun demikian, realitas yang berjalan justru menunjukkan bahwa posisi kandidat bisa dibilang berdiri sendiri untuk mempersiapkan semua kebutuhan kampanye. Kondisi ini membawa pada tuntutan yang tidak mudah dan kerap dikaitkan pula dengan terbukanya potensi korupsi untuk mengumpulkan pundi-pundi pemenuhan keperluan pencalonan kandidat.
Jika berkaca pada kasus yang menjerat Bupati Kapuas dan istrinya yang seorang anggota legislatif, hal ini pun sepertinya sejalan dengan kondisi krisis integritas para elite saat ini.
Berdasarkan catatan KPK, dalam hal penanganan perkara korupsi, jumlah tersangka korupsi berlatar belakang sebagai anggota legislatif meliputi DPR dan DPRD menduduki yang paling tinggi dengan 21 orang pada 2020 lalu. Di tahun itu, ada 10 kepala daerah tingkat dua (bupati dan wali kota) yang juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan korupsinya.
Pada tahun 2021, tersangka korupsi dari kalangan anggota legislatif pun justru terus bertambah menjadi 30 orang. Bahkan, pada periode kinerja ini KPK juga harus menangkap seorang gubernur. Untuk tersangka korupsi setingkat kepala daerah bupati/wali kota pun jumlahnya meningkat menjadi 19 orang.
Hal ini membuktikan bahwa memang penyelenggaraan pemilu dengan tuntutan biaya yang tinggi ini menyisakan berbagai persoalan setelahnya. Posisi kandidat setelah terpilih menjadi kepala daerah dan anggota legislatif justru akan rentan tergoda untuk mengembalikan ongkos politik yang dikeluarkannya selama masa pencalonan.
Kasus yang terjadi di Kapuas tentu bisa saja serupa menggoda banyak elite politisi di berbagai ranah dan wilayah untuk kepentingan mengumpulkan biaya politik. Persoalan ini selayaknya berada pada lingkaran siklus yang terus berputar.
Seorang kandidat akan terus berupaya mengikuti kontestasi pada periode setelahnya meskipun saat ini telah berada dalam jabatan kepala daerah dan anggota legislatif. Alhasil, dalam batasan jabatan yang tengah diemban, berbagai cara pun dilakukan guna mengumpulkan dana untuk memenuhi termasuk lewat cara-cara penyelewengan yang tidak dibenarkan.
Pada akhirnya, lingkaran kontestasi yang menuntut biaya tinggi dan mendorong terjadinya tindakan korupsi dapat diputus dengan terus menumbuhkan integritas baik pada kandidat, masyarakat, dan penyelenggara Pemilu itu sendiri.
Dengan demikian, upaya untuk dapat saling menjaga proses berdemokrasi lewat pemilu dapat berjalan dan tentunya tak lagi berorientasi pada uang, tetapi lebih pada gagasan yang dibawa untuk kemaslahatan bersama. (LITBANG KOMPAS)